Ikut ”Ferienjob”, FA Justru Terjerat Utang Puluhan Juta
Alih-alih dapat pengalaman dan uang, program ”ferienjob” di Jerman menjadi jeratan utang bagi mahasiswi FA.
Pengalaman mengikuti program ferienjob di Jerman justru membuat FA (22) terjerat utang puluhan juta. Meski begitu, masih tersisa rasa syukur karena FA tidak mengalami hal buruk berupa kerja di luar batas.
FA, mahasiswi semester 7 Universitas Binawan, Jakarta Timur, salah satu orang yang tertarik untuk merasakan pengalaman bekerja di Jerman. Sosialisasi ferienjob dari PT Sinar Harapan Bangsa (PT SHB) dan PT CVGEN, perusahaan agensi yang menghubungkan peserta magang dengan penyalur di Jerman, membuatnya dan sekitar 200 mahasiswa lain di kampus yang sama ikut mendaftar.
”Sosialisasi ferienjob dari SHB membuat kami tertarik ikut. Banyak yang mendaftar, tapi yang berangkat ada sekitar 100 mahasiswa. Ini jadi pengalaman bisa bekerja di luar negeri. Kapan lagi kesempatan seperti ini,” ujar FA, Selasa (26/3/2024).
Baca juga: ”Ferienjob”, Modus Sindikat Perdagangan Orang Memangsa Mahasiswa Indonesia
FA mengeluarkan sekitar Rp 40 juta untuk semua keperluan, mulai dari awal pendaftaran, visa, tiket pesawat, cek kesehatan, pakaian, hingga lainnya.
Namun, bayangan untuk mendapatkan pengalaman kerja di luar negeri yang baik dan layak terempas sejak sehari tiba di Jerman. Saat mendarat pada 29 Oktober 2023, ia langsung menempuh perjalanan 18 jam menuju kota kecil bernama Syke. FA tiba di kota itu sudah larut malam.
Keesokan harinya, ia mendatangi perusahaan tempatnya akan bekerja untuk tanda tangan kontrak. Kontrak itu berbahasa Jerman. Padahal, FA mengaku hanya bisa sedikit berbahasa Jerman.
”Bisa bahasa Jerman sedikit. Ada yang saya ngerti, tapi saya ngeh-nya pas sudah selesai tanda tangan habis baca lagi,” katanya.
Meski sudah tanda tangan kontrak, ia tak kunjung segera bekerja di bidang food and beverage di restoran cepat saji itu. Upayanya untuk meminta konfirmasi pihak agensi selalu direspons lama.
Lihat juga : Dua Tersangka Kasus “Ferienjob” Terancam Buron
”Tapi, yang didapat enggak sesuai ekspektasi. Saya sempat luntang lantung 15 hari, sebelum masuk kerja. Saya bekerja satu bulan lebih. Bersih pendapatan kerja mulai pertengahan November sekitar Rp 25 juta. Itu setelah dipotong agensi untuk bayar uang sewa apartemen,” ujarnya.
Selama 15 hari itu, ia berusaha menghemat pengeluaran. Beruntung ia sudah membawa banyak persediaan dari rumah sehingga sangat membantunya untuk tidak banyak mengeluarkan uang. Praktis FA hanya mengeluarkan Rp 800.000 untuk keperluan harian, seperti tiket kereta dan makan.
”Orangtua sudah minta saya pulang karena khawatir. Tapi, saya bilang jadwal pulang sudah diatur. Jalani saja dulu. Saya akhirnya menyelesaikan kontrak. Pulang 31 Desember 2023,” ujarnya.
Baca juga: Dijadikan Kuli dan Ditelantarkan, Kisah Mahasiswa Indonesia Ikut ”Ferienjob” di Jerman
Selama bekerja di restoran cepat saji sebagai kasir dan pramusaji, FA bersyukur tidak mengalami pengalaman buruk. Dari apartemen ke tempatnya bekerja hanya sekitar 10 menit berjalan kaki. FA bersyukur karena jika dibandingkan dengan cerita yang ia dengar, ada mahasiswa yang bekerja di luar kemampuan fisik dan mengalami lebam.
Pengalaman yang tidak menyenangkan dan masih menjadi beban hingga saat ini, yaitu utang Rp 32 juta kepada pihak universitas. Uang itu untuk membayar biaya pesawat, cek kesehatan pembuatan visa, dan foto visa. Padahal, pendapatan bersih selama bekerja di Jerman hanya sekitar 25 juta.
Terkait masalah yang menjerat mahasiswi itu, Kompas berusaha mengonfirmasi langsung ke Universitas Binawan.
Kedatangan awak Kompas bersama media lainnya, Rabu pagi, untuk meminta konfirmasi ke bagian kehumasan atau bidang kemahasiswaan tidak berhasil. Petugas keamanan mengatakan, mereka belum mendapatkan izin dari otoritas kampus dan tidak bersedia mengantar ke bagian humas atau bidang kemahasiswaan.
Pernyataan Universitas Binawan terkait hal ini sangat diperlukan untuk mengonfirmasi keterlibatan kampus dalam kasus ini.
Pada Rabu siang, saat kembali mencoba menghubungi pihak kampus, petugas keamanan meminta surat yang nanti akan mereka antar ke bagian humas.
Setelah sekitar satu jam Kompas bertemu anggota staf bagian kemahasiswaan. Anggota staf itu mengatakan, pihaknya belum mendapatkan arahan terkait kasus ferienjob. Saat Kompas kembali meminta diantarkan ke humas, bidang kemahasiswaan, atau menemui salah satu dosen, anggota staf itu tidak bersedia.
”Kalau di luar mungkin ramai ya, tapi di sini biasa saja. Saya tahu itu (ferienjob dan SHB), tapi kami belum ada arahan dan kabar dari atas,” ujar anggota staf yang tidak mau disebut namanya.
Terpisah, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, Selasa (26/3/2024), mengatakan, kasus ferienjob terungkap setelah sejumlah mahasiswa mengadu ke Kedutaan Besar RI (KBRI) di Berlin dan Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Frankfurt pada akhir 2023. Mereka merasa ditipu.
Sebelum berangkat, para mahasiswa dijanjikan ikut program magang yang katanya dapat dikonversi menjadi satuan kredit semester (SKS). Namun, setelah tiba di Jerman, mereka malah dijadikan buruh kasar yang pekerjaannya tidak berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki mahasiswa.
Baca juga: Pemerintah Bakal Tegur 33 Kampus Pengirim Mahasiswa Kerja Magang di Jerman
”Atas pengaduan tersebut, KBRI di Belin dan KJRI di Frankfurt kemudian membantu para mahasiswa melaporkan hal ini kepada kementerian dan lembaga (terkait) di Jakarta,” kata Judha lewat pesan tertulis.
Ia mengimbau masyarakat untuk berhati-hati terhadap tawaran program magang di luar negeri. Masyarakat diminta melakukan verifikasi dan mengecek ulang tawaran magang ke kementerian terkait.
Minister Counsellor Penerangan, Sosial, dan Budaya KBRI di Berlin Devdy Risa mengatakan, KBRI telah memasang imbauan kepada publik terkait ferienjob sejak 6 Desember 2023. Imbauan itu ditampilkan di laman resmi KBRI di Berlin.
Dalam laman itu disebutkan, KBRI telah menerima berbagai pengaduan sejumlah masalah terkait ferienjob dari sejumlah mahasiswa peserta dan perwakilan kampus. Kebanyakan mengadukan soal kontrak kerja yang tidak dimengerti karena ditulis dalam bahasa Jerman.
Selain itu, juga disebutkan, sejumlah mahasiswa mengeluhkan pemutusan kontrak sepihak, pengaturan akomodasi yang tidak jelas, dan masalah penggajian. Ada pula mahasiswa yang sakit karena kelelahan fisik dan mental akibat bekerja terlalu berat.
Hapus jerat utang
Atas kasus itu, Beranda Perempuan dan Beranda Migran menyampaikan keprihatinan terkait eksploitasi dan praktik perdagangan orang yang menyasar mahasiswa.
Direktur Beranda Perempuan Zubaidah dalam keterangan tertulis yang telah dimuat dalam pemberitaan sebelumnya mengatakan, sekitar 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok program magang kerja selama tiga bulan melalui program ferienjob di Jerman.
RM merupakan salah satu korban dari Universitas Jambi yang merasa yakin untuk mengikuti tawaran program ini setelah mengetahui bahwa salah satu guru besar Fakultas Ekonomi merupakan partner program ferienjob. Universitas Jambi (Unja) juga telah melakukan MOU dalam periode 10 tahun.
Setelah mengikuti proses perekrutan, seleksi, dan penempatan yang memakan waktu berbulan-bulan, RM, mahasiswa jurusan pemerintahan, bekerja di Jerman sebagai buruh bangunan dan buruh angkut barang di salah satu perusahaan jasa pengiriman paket di Jerman.
”RM mengangkat beban paket mencapai 0,5-30 kg secara manual dan bekerja dalam jam kerja panjang yang mengakibatkan RM sering mengalami kelelahan,” ujar Zubaidah.
Tak hanya itu, upah kerja yang diterima jauh lebih rendah daripada nominal yang ditawarkan dan tertera dalam kontrak. Upah per bulan tidak cukup untuk membayar biaya penginapan dan transportasi lokal yang harus ia tanggung sendiri.
Saat ini, Beranda Perempuan menjadi saksi dan mendampingi RM serta delapan mahasiswa dari Unja. Dari laporan kasus TPPO yang dilaporkan oleh mahasiswa korban dari Universitas Sebelas Maret menjelaskan, selama bekerja di Jerman, mereka mengalami biaya berlebih, beban kerja berat, dan jam kerja panjang.
Seleksi perekrutan dilakukan dalam beberapa tahap dari tingkat universitas hingga nasional. Berdasarkan proses seleksi di Unja, mahasiswa yang berhasil melewati seleksi tingkat universitas kemudian mendapatkan surat penetapan dari pihak universitas untuk melanjutkan ke tahap seleksi administratif.
Utang ini harus dibayar dengan cara dicicil dari upah yang diterima oleh mahasiswa setelah bekerja.
Dalam tahap itu, PT SHB berperan dalam proses pengurusan dokumen, mendapatkan surat penerimaan dari perusahaan di Jerman (Letter of Acceptance), kontrak kerja dari perusahan, working permit, dan pengajuan visa ke otoritas Jerman.
Mahasiswa yang telah lolos seleksi kemudian disalurkan melalui agen Runtime, RAJ, dan Brisk yang berada di Jerman untuk bekerja di perusahan-perusahan penempatan.
Proses pemberangkatan menjebak mahasiswa dalam jeratan utang melalui skema dana talangan. Mahasiswa dibebankan utang biaya tiket pesawat dengan harga dua kali lipat dari harga normal dengan tambahan 5 persen bunga dan pinjaman untuk biaya akomodasi dengan total mencapai Rp 30 juta-Rp 50 juta.
”Utang ini harus dibayar dengan cara dicicil dari upah yang diterima oleh mahasiswa setelah bekerja,” katanya.
Para mahasiswa itu magang sebagai pekerjaan kasar, meliputi pelayan restoran, sortir paket, mengemas dan mengantar paket. Mahasiswa bekerja di beberapa perusahaan yang mengalami kekurangan tenaga fisik di Jerman, seperti restoran cepat saji, kafe, perusahaan pengiriman barang, dan e-commerce.
Baca juga: ”Ferienjob” dan Fenomena Gunung Es Perdagangan Orang
Jenis pekerjaan ini sama sekali tidak berhubungan dengan konsentrasi kuliah mahasiswa. Tekanan dan intimidasi dihadapi korban. Beberapa korban mendapat somasi dari agensi karena tidak mampu membayar utang.
Bahkan, salah satu mahasiswi dari Universitas Binawan diistirahatkan sementara (cuti) karena tidak membayar dana talangan. Hingga saat ini, banyak korban yang belum berani menyuarakan kasus karena mengalami tekanan dan belum ada jaminan keamanan dari universitas untuk memastikan mereka mendapatkan hak atas perlindungan sebagai mahasiswa.
Meskipun polisi telah menetapkan lima tersangka dari PT SHB dan PT CVGEN, kasus eksploitasi dan TPPO, Beranda Perempuan meminta kepolisian harus mengusut hingga ke akar-akarnya.
Pengusutan itu karena ada ribuan korban kasus ini masih berstatus mahasiswa. Mereka terjebak pada program magang bodong karena ada campur tangan dari universitas tempat mahasiswa menuntut ilmu.
Baca juga: Dua Tersangka Kasus ”Ferienjob” di Jerman Berpotensi Jadi Buron
Mahasiswa diperlakukan sebagai obyek percobaan pendidikan dan mobilisasi untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja manual di Jerman. Hal itu merupakan cerminan dari sistem pendidikan yang menempatkan universitas sebagai mesin pencetak tenaga kerja murah.
Dengan program magang ini, universitas telah abai dan lalai dalam menjamin keamanan dan perkembangan proses belajar mahasiswa. Oleh sebab itu, universitas seharusnya juga mempertanggungjawabkan kebijakan dan program yang diberlakukan kepada mahasiswa korban.
Oleh karena itu, Beranda Perempuan menuntut pihak universitas untuk menghapus jeratan utang bagi semua korban.
Selain itu, menuntut akuntabilitas universitas untuk menghentikan seluruh program magang di luar negeri yang merugikan mahasiswa dan keluarganya. Pihak universitas juga menyediakan pendampingan kasus secara gratis kepada para korban dan keluarganya.
Tuntutan lainnya, memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi korban untuk melanjutkan kuliah. Lalu, memberi jaminan pemulihan dan kompensasi korban dan keluarganya. Terakhir, lindungi korban dari segala bentuk intimidasi.