Puasa bisa dimaknai sebagai benang tak kasatmata: merajut persaudaraan antarumat beragama. Bisa memantik gerakan besar.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Ibadah puasa tidak hanya menjadi momen meningkatkan ibadah personal, tetapi juga ibadah yang berdimensi sosial. Momen menahan diri terhadap godaan duniawi bisa juga dimaknai sebagai refleksi untuk menahan diri dari konflik sesama manusia, sekalipun berbeda keyakinan. Di dalam konteks itu, puasa bak benang tak kasatmata yang merajut persaudaraan antarumat beragama.
Momen itu tampak pada Kamis (21/3/2024) di Jakarta dalam pertemuan tokoh lintas agama dan buka puasa bersama yang diselenggarakan Majelis Hukama Muslimin (MHM) Indonesia. Ini adalah lembaga yang menghimpun para intelektual Muslim yang fokus pada isu global, seperti perdamaian, persaudaraan, dan kesejahteraan bersama.
Kegiatan bertajuk "Bhinneka Rasa, Satu Persaudaraan" itu dihadiri oleh tujuh tokoh agama di Indonesia, yakni Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan, Khonghucu, dan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hadir di dalam kegiatan tersebut mantan Menteri Agama RI dan salah satu pendiri MHM Quraish Shihab, Direktur MHM Indonesia Muchlis M Hanafi, Direktur Kantor-Kantor Cabang Luar Negeri MHM Omar Obeidat, Koordinator Kantor-Kantor Cabang Luar Negeri MHM Saeed Khattab, dan sejumlah tokoh lain.
Sebelum berbuka puasa bersama, ada dialog singkat yang disampaikan oleh masing-masing tokoh agama yang hadir. Mereka menyampaikan kesan dan kesamaan nilai dalam puasa dari sudut pandang agama masing-masing.
Misalnya pesan yang dikemukakan oleh Sekretaris Umum Persekutuan Gereja di Indonesia Pendeta Jacklevyn Manuputty. Ia punya kesan mendalam pada momen Ramadhan saat konflik yang melibatkan latar belakang agama di Maluku dua dekade silam. Saat konflik sedang panas-panasnya, ia diam-diam menghubungi salah satu tokoh Muslim di sana.
Mereka sepakat bertemu saat buka puasa di rumah tokoh Muslim tersebut. Ia menyebut pertemuan itu sebagai perjumpaan bawah tanah karena dilakukan diam-diam. Jacklevyn membawa serta beberapa pemuda Kristen.
Suasana yang semula tegang, berubah cair saat momen buka puasa bersama. Dari sana, tercipta obrolan-obrolan ringan. Menurut Jacklevyn, momen itu yang kemudian berkembang lebih luas.
"Buka puasa bersama yang cair itu berkembang dan terus berkembang menjadi pembahasan yang lebih luas sampai akhirnya merumuskan jalan perdamaian bersama,” kenangnya, disambut tepuk tangan peserta lain.
Momen Ramadhan juga menjadi pengalaman yang mempersatukan bagi Romo Agustinus Heri Wibowo dari Konferensi Waligereja Indonesia. Ia bercerita, hal itu amat dirasakan saat Lebaran setiap tahun. Seusai umat Muslim menjalankan Shalat Idul Fitri, semua warga turut bersalaman dan saling memaafkan, termasuk umat Katolik.
Hal tersebut, kata dia, menjadi momen pertemuan sekaligus perdamaian di tingkat individu bagi setiap manusia. Menurut Heri, hal itu bisa berkembang ke arah yang lebih luas, yakni persaudaraan sesama manusia tanpa melihat latar belakang keyakinan atau yang lainnya.
I Wayan Kantun Mandara dari Parisada Hindu Dharma Indonesia mengatakan, nilai-nilai puasa sesungguhnya banyak dijumpai pula dalam agama Hindu. Salah satunya, menahan godaan diri dari amarah yang memicu kerusakan dan persaudaraan. Menurutnya, dengan melihat kesamaan itu, puasa bisa menjadi semacam tali tak terlihat yang bisa menghubungkan sesama manusia.
"Kita semua bersaudara. Ikatkan tali persaudaraan itu penting agar bangsa Indonesia lebih maju dan jaya,” katanya.
Cerita serupa juga dituturkan oleh Nina Rustina, perwakilan Penghayat Kepercayaan; Wandi Suwardi, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia; Bhikku Dhammasubho Mahathera dari Saṅgha Theravāda Indonesia; dan Guru Besar Sejarah Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Burhanuddin Umar Lubis.
Buka puasa bersama yang cair itu berkembang dan terus berkembang menjadi pembahasan yang lebih luas sampai akhirnya merumuskan jalan perdamaian bersama
Melalui pertemuan dan berbagi cerita itu, diharapkan hubungan antarumat beragama di Indonesia semakin kokoh. Saat pemeluk agama saling menjaga perdamaian, hal-hal lain yang lebih besar untuk kepentingan bersama bisa dilakukan.
Direktur MHM Indonesia Muchlis Muhammad Hanafi mengatakan, pada hakikatnya semua pemeluk agama adalah manusia penghuni bumi. Ada hal mendesak yang saat ini perlu diselesaikan bersama di tingkat dunia, satu di antaranya ancaman krisis iklim yang sudah mulai dirasakan.
Berangkat dari persoalan itu, MHM Indonesia membuat Muktamar Agama dan Perubahan Iklim Asia Tenggara (CORSEC) pada Oktober 2023. Kegiatan itu dihadiri oleh tokoh dan intelektual dari seluruh agama di Asia Tenggara. Pada muktamar tersebut, mereka membahas pentingnya menjaga lingkungan dari perspektif agama masing-masing.
Setelahnya, lanjut Muchlis, mereka mendeklarasikan pentingnya menjaga alam dari kerusakan. Itu bisa dilakukan mulai dari kegiatan keagamaan masing-masing. Sebab, jika bumi ini rusak, kata dia, semua umat beragama pun pasti merasakan dampaknya.
“Kita bisa angkat isu-isu itu dalam khotbah Jumat atau pesan-pesan keagamaan di masing-masing agama,” ujar Muchlis.
Ia mengatakan, untuk terus menumbuhkan dan menjaga persaudaraan antarumat beragama, MHM Indonesia telah melakukan sejumlah hal, seperti penerjemahan buku, dialog, seminar, sampai pemberian penghargaan.
Pada Februari lalu, MHM pusat, komite tertinggi persaudaraan manusia di Abu Dhabi menganugerahkan Zayed Award For Human Fraternity 2024 kepada dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua organisasi itu dinilai turut menghidupi semangat kemanusiaan bagi perdamaian dunia.
Menindaklanjuti pemberian penghargaan itu, menjelang pertengahan tahun ini, MHM Indonesia berencana mengadakan kegiatan lanjutan agar gaung Zayed Award itu bisa turut dirasakan di Indonesia. Dalam kegiatan itu, penghargaan akan diberikan kepada pimpinan wilayah NU dan Muhammadiyah dan memberi penghargaan bagi inisiatif atau program berkualitas yang dijalankan kedua organisasi tersebut.
Selain itu, periode September-Oktober 2024, MHM Indonesia akan menginisiasi pembentukan aliansi regional Asia Tenggara untuk toleransi, koeksistensi, dan harmoni. Kegiatan itu akan melibatkan semua agama di Asia Tenggara. Menurut rencana, aliansi itu akan berkantor pusat di Indonesia. Kegiatan itu pun akan diikuti dengan konferensi besar yang diikuti oleh perwakilan agama di Asia Tenggara.
Di luar rencana itu, saat ini pun MHM pusat mengirimkan enam orang qari dan da’i dari Al-Azhar, Mesir. Mereka disebar ke tujuh provinsi di Indonesia untuk menebarkan pesan kedamaian dan kemanusiaan selama bulan puasa.