Hari Perempuan Sedunia, Jadi Ibu Tak Harus Sempurna
Seorang ibu rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena rendahnya dukungan dari keluarga dan lingkungan.
Peringatan Hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret 2024 ditandai dengan peristiwa yang mengentak publik. Seorang anak tewas diduga dibunuh oleh ibunya. Kesehatan mental menjadi isu yang perlu diperhatikan karena ibu dan anak merupakan korban.
AAMS ditemukan tewas pada Kamis (7/3/2024) pukul 10.30. Bocah itu diduga dibunuh oleh ibunya, Siti Nurul Fazila atau SNF (26). Ditemukan luka tusuk di tubuh korban, salah satunya di bagian dada.
Terduga pelaku menusuk tubuh korban menggunakan pisau dapur saat korban tidur. Siti mengaku membunuh putranya karena mendapat bisikan dari pihak yang tak kasatmata.
Atas tindakannya itu, kepolisian akan memeriksa kejiwaan Siti. Terduga pelaku juga sempat tertawa saat dimintai keterangan.
Baca juga: Ibu Kandung Terduga Pembunuh Bocah di Bekasi
”Tentunya nanti kami akan mengadakan pemeriksaan psikologi terhadap terduga pelaku,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wira Satya Triputra, Kamis (7/3/2024).
Kasus pembunuhan seorang anak oleh ibunya ini bukan yang pertama. Berdasarkan pemberitaan Kompas, kasus serupa kerap berulang, seperti yang terjadi di Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Minggu (20/3/2022). Kanti Utami atau KU (40) mencoba mengakhiri nyawa tiga anaknya, yakni KSZ (10), ATR (7), dan E (5), menggunakan sebilah silet.
Setelah mendapat pertolongan medis, KSZ dan E yang menderita luka berat dapat diselamatkan, sementara ATR meninggal. Tindakan itu dilakukan Kunti karena ingin menyelamatkan anak-anaknya agar tidak hidup susah.
Dari hasil pemeriksaan psikologi, Kunti menderita gangguan jiwa berat sejak enam bulan terakhir sejak percobaan pembunuhan terhadap ketiga anaknya. Ia mengalami halusinasi, seperti mendengar bisikan. Gangguan jiwa itu telah menurunkan kemampuan fungsi sosial, ekonomi, atau fungsinya sebagai ibu.
Kunti secara konsisten bercerita, dirinya sudah mengalami kekerasan fisik dan verbal serta pelecehan oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Kunti menyimpan cerita itu, termasuk rasa dendam kepada orang-orang di masa lalunya.
Peristiwa lainnya, SS (24) menjatuhkan anaknya, AF, yang masih berusia 20 hari, ke dalam sumur, Kamis (3/8/2023) dini hari, di Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
SS diduga mengalami depresi karena tidak kuat dengan beban kehidupan dan cemas keluarganya tidak bisa membiayai perawatan kesehatan pascaoperasi caesar. Suaminya pun baru saja terkena pemutusan hubungan kerja. SS merasa tidak memiliki teman untuk bercerita tentang apa yang dia rasakan.
Dukungan
Beberapa peristiwa itu memperlihatkan rentannya seorang ibu mengalami gangguan kesehatan mental sehingga bisa bertindak di luar akal sehat terhadap anaknya. Dalam hal ini, ibu dan anak sama-sama menjadi korban dari kondisi yang luput dari perhatian keluarga dan lingkungan.
Psikolog Ayoe Sutomo menilai, perlu ada pemeriksaan lebih lanjut terkait kejiwaan Siti, ibu yang membunuh anaknya di Bekasi. ”Ada kemungkinan ke arah psikosis jika melihat konteks mendengar bisikan yang membuat ibu melakukan pembunuhan. Kondisi psikosis adalah depresi mayor yang cukup berat,” kata Ayoe, Jumat (8/3/2024).
Adapun psikosis terjadi karena gangguan mental, penyalahgunaan obat-obatan, atau cedera kepala yang memengaruhi cara kerja otak dalam memproses informasi. Kondisi ini dapat mengubah cara berpikir, sikap, dan perilaku seseorang. Gejala utama psikosis adalah munculnya delusi dan halusinasi.
Berkaca pada kasus terbaru dan kasus lainnya, seorang ibu yang tidak mendapatkan dukungan atau perhatian dari keluarga atau lingkungan sangat rentan mengalami gangguan kejiwaan dengan tingkatan yang berbeda.
Jika dibedah lebih lanjut, secara umum gangguan kejiwaan seorang perempuan, termasuk yang menjadi ibu, disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, pengalaman masa lalu, relasi komunikasi dengan suami dan orangtua, stigma atau pandangan lingkungan, termasuk penghargaan dari lingkungan, dan lainnya.
”Akumulasi emosi perasaan, tekanan, ketakutan terus memuncak membuat menjadi tidak bisa berpikir jernih sehingga berpikir tindakan yang dipilihnya merupakan jalan keluar dari masalah. Semuanya akan menjadi kompleks jika tidak ada dukungan dari keluarga atau lingkungan. Ibu dan anak sama-sama korban,” paparnya.
Jika dibedah lagi lebih dalam, seorang perempuan rentan mengalami depresi atau stres biasanya saat setelah melahirkan. Seperti baby blues syndrome, bahkan berlanjut pada postpartum depression atau depresi pascamelahirkan.
Ibu yang mengalami baby blues syndrome memiliki perubahan suasana hati secara cepat. Biasanya, kondisi ini bisa berlangsung sekitar dua minggu hingga tiga bulan. Jika sang ibu tidak mendapat dukungan dari suami, keluarga, dan lingkungan, ia bisa mengalami depresi pascamelahirkan.
Tidak hanya pada masa pascamelahirkan, depresi seorang perempuan bisa saja muncul saat anak mulai tumbuh kembang, bahkan saat anak mulai sekolah dan terus bertambah usia.
Dari sejak melahirkan, perempuan sekaligus ibu harus mengurus semua urusan rumah tangga, anak dan suami. Sementara dalam posisi itu, suami tidak membantu dan berpikir ia telah bekerja untuk mencari nafkah.
Jika dibedah lagi lebih dalam, seorang perempuan rentan mengalami depresi atau stres biasanya saat setelah melahirkan. Seperti baby blues syndrome, bahkan berlanjut pada postpartum depression atau depresi pascamelahirkan.
Belum lagi omongan dari luar atau keluarga yang mendikte cara mendidik harus seperti yang mereka katakan. Saat cara mendidik anak dinilai salah, perempuan akan disalahkan dan menjadi pembicaraan. Begitu pula, jika tidak bisa mengurus rumah dan anak, yang disalahkan adalah sang ibu.
”Dalam peran sosial, ekspektasi terhadap peran ibu memang demikian besar. Namun, apresiasi terhadap peran yang dilakukan tidak sebesar itu. Hal itu rentan membuat Ibu merasa tidak berharga dan apa yang sudah ia lakukan jadi tidak bernilai,” ujar Ayoe.
Perempuan sempurna
Dalam buku Ada Serigala dalam Diri Setiap Perempuan, karya Ester Lianawati, masalah kesehatan mental perempuan telah dimulai lebih dari 100 tahun lalu. Pertama kali oleh Charlotte Perkins Gilman lewat cerpennya ”The Yellow Wallpaper” yang terbit di New Englan Magazine pada 1892.
Buku Women Who Run with the Wolves: Myths and Stories of the Wild Women Archetype karya Clarissa Pinkola Estés mengingatkan Ester tentang perempuan yang cenderung terperangkap dalam perannya sebagai ibu. Seolah, ketika perempuan sudah menjadi ibu, ia tidak lagi punya hak atas feminitasnya sebagai perempuan.
Baca juga: Ibu Bunuh Anaknya di Indramayu, Paman dan Kakek Korban Terlibat
Berapa banyak ibu yang tidak lagi memikirkan dirinya sendiri karena berfokus kepada anak? Sebagai ibu, seorang perempuan pasti memahami untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya dan rela mengorbankan apa pun untuk mereka.
Berapa banyak ibu stres, tetapi sungkan mengatakannya karena ibu dituntut untuk tidak boleh stres; karena perempuan seharusnya bahagia telah menjadi ibu. Padahal, siapa pun yang pernah menjaga anak (beberapa jam saja) paham bahwa anak tidak selalu lucu dan menyenangkan.
Seorang ibu seolah tidak punya hak untuk memiliki kesenangannya sendiri selain mengasuh anak (yang tidak selalu menggemaskan itu). Padahal, anak juga tidak membutuhkan ibu yang menjalankan ”tugas-tugas keibuannya” dengan sempurna. Anak membutuhkan ibu yang bahagia.
Untuk menjadi ibu yang bahagia, seorang perempuan berhak dan perlu melakukan hal-hal lain yang dapat membuatnya senang. Hendaknya ibu tidak merasa bersalah jika meninggalkan anak sejenak untuk melakukan aktivitas pribadi yang dapat menyegarkan.
Frustrasi yang terjadi tidak hanya karena perempuan tidak diberi kesempatan untuk bertumbuh, tetapi juga karena masyarakat telah menancapkan dalam diri perempuan sebuah mitos yang dinamakan mitos kesempurnaan.
Masyarakat menetapkan definisi perempuan, standar ideal feminitas yang harus dipenuhi perempuan: karakter-karakter fisik dan psikologis, termasuk di dalamnya adalah sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan ditampilkan seorang perempuan.
Disadari atau tidak, perempuan berusaha mengikuti standar ini untuk menjadi ”normal” sesuai dengan standar kenormalan yang telah ditentukan, untuk menjadi sempurna dengan memenuhi tuntutan-tuntutan yang sesungguhnya tidak realistis.
Mitos kesempurnaan dapat mengakibatkan gangguan kondisi mental pada sebagian perempuan. Sebagian lagi, dan ini lebih umum terjadi, mitos kesempurnaan dapat membawa perempuan dalam jebakan harga diri yang rendah.
Ketidakmampuan perempuan untuk memenuhi standar ideal feminitas yang ditetapkan masyarakat berpotensi menurunkan harga diri si perempuan dan membuatnya menilai negatif diri sendiri.
Frustrasi yang terjadi tidak hanya karena perempuan tidak diberi kesempatan untuk bertumbuh, tetapi juga karena masyarakat telah menancapkan dalam diri perempuan sebuah mitos yang dinamakan mitos kesempurnaan.
Menjadi perempuan yang sejahtera bukanlah menjadi perempuan yang sempurna. Menjadi perempuan yang sejahtera justru menjadi perempuan yang bebas dari kompleks kesempurnaan yang standarnya diciptakan dan dipaksakan masyarakat terhadap diri perempuan.
Menjadi sejahtera adalah menjadi diri yang telah bebas dari upaya mencapai kesempurnaan, dari kekhawatiran untuk menjadi tidak normal karena berbeda atau menyimpang dari apa yang sudah ditentukan masyarakat. Menjadi sejahtera adalah menjadi diri sendiri dengan menerima ”ketidaksempurnaan” yang dimiliki.
Hari Perempuan Sedunia menjadi momen perayaan pencapaian dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Lebih dari itu, Hari Perempuan Sedunia juga perlu menjadi momentum untuk melihat kembali aspek paling mendasar, yaitu kesehatan mental.