Tradisi Toleransi Pulo Geulis dalam Cap Go Meh di Kota Bogor
Pulo Geulis menjadi tema perayaan karena warga kampung di delta Ciliwung di Kota Bogor selalu menjaga toleransi.
Masih berlangsungnya rangkaian Pemilihan Umum 2024 membuat perayaan Cap Go Meh Bogor Street Festival atau 15 hari setelah tahun baru Imlek urung terlaksana di Kota Bogor, Jawa Barat.
Baru pada Kamis (29/2/2024), perayaan dilakukan di Mal Botani Square dengan tema Cap Go Meh ala Kampung Pulo Geulis.
Tak seperti perayaan tahun sebelumnya yang berlangsung meriah, kali ini Cap Go Meh di Kota Bogor digelar sederhana.
”Cap Go Meh tetap harus terselenggara karena ini bagian dari merawat keberagaman dan toleransi warga Kota Bogor. Kegiatan ini sekaligus mengangkat sejarah budaya di wilayah Kampung Geulis,” kata Ketua Jabar Bergerak Kota Bogor Yantie Dedie Rachim, Kamis sore.
Baca juga: Kado Manis untuk Hari Jadi Bogor dari Pulo Geulis
Penjaga toleransi
Genderang simbal dan drum mengiringi atraksi barongsai menghibur para pengunjung Mal Botani Square. Kemeriahan itu jelas jauh berbeda dengan ingar-bingar di sepanjang jalan raya seperti pada perayaan Cap Go Meh Street Festival.
Wali Kota Bogor Bima Arya menuturkan, kesederhanaan perayaan Cap Go Meh itu tidak melunturkan pesan toleransi dan keberagaman di Kota Bogor. Pulo Geulis diusung menjadi tema perayaan karena warga kampung di delta Sungai Ciliwung di tengah Kota Bogor itu sejak lama telah mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
”Tidak ada yang rela saat kota tercinta kita ini masuk dalam kota intoleran. Kita selesaikan berbagai masalah seperti GKI Yasmin. Saat dinilai kota intoleran, warga Pulo Geulis tetap menjaga nilai luhur dan DNA Kota Bogor yang harmonis toleransi hingga saat ini,” ujar Bima.
Tak hanya sebagai penjaga DNA toleransi, Kampung Pulo Geulis juga menjadi penjaga nilai peradaban Kota Bogor. Di kampung itu ditemukan sejumlah benda bersejarah yang menjadi jejak abadi perjalanan warga dengan berbagai kepercayaan ataupun keyakinan. Di sana hidup warga bersuku Sunda, orang penganut Islam, juga pemeluk Buddha dan Khonghucu.
Baca juga: Kota Bogor Bertransformasi Jadi Kota Toleran
Selain itu, keberagaman Pulo Geulis diiringi upaya tak putus dari warga menjaga kebersihan Ciliwung. Contoh itu diharapkan ditularkan kepada seluruh warga lain di Bogor dan kawasan lain.
”Warga Pulo Geulis telah menjaga sungai karena sungai merupakan sumber peradaban hingga saat ini. Ini tugas bersama untuk menjaga toleransi dan peradaban di Kota Bogor. Semangat warga Pulo Geulis harus dilakukan oleh semua warga,” ujar Bima.
Bima yakin, jika semua warga bersatu saling menjaga, Kota Bogor akan berdiri sejajar dengan Kota Salatiga dan Singkawang. Indonesia pun akan semakin harmonis dalam keberagaman.
Jejak sejarah dan budaya di Kampung Pulo Geulis yang menunjukkan keberagaman serta toleransi bisa dilihat dari Wihara Maha Brahma Pan Kho Bio atau Kelenteng Pan Kho Bio.
Kelenteng yang ditemukan pada 1703 oleh Abraham van Ribeck itu oleh warga setempat menjadi rumah bersama untuk kegiatan sosial dan rumah bagi tiga agama, yakni Buddha, Khonghucu, dan Islam.
Di halaman teras di sisi kiri kelenteng ada tempat wudu. Tak jauh dari tempat wudu ada sebuah ruang, yaitu makam Embah Imam. Di dalam ruang itu terdapat benda-benda tua seperti kendi, batu-batuan, bendera Merah Putih, hingga patung dan lukisan harimau.
Dalam bahasa Sunda, harimau disebut maung, simbol kegagahan dan keberanian pada masa Kerajaan Pajajaran. Di ruangan makam Embah Imam yang dipercaya sebagai leluhur penyebaran Islam di Bogor, terdapat patung kura-kura sebagai simbol ketekunan dan panjang umur. Ada pula yoni, salah satu simbol dalam agama Hindu.
Di dalam kelenteng, di sisi kiri ada sebuah meja atau altar dengan ornamen kuning yang di atasnya terdapat sejumlah patung Buddha. Di bagian tengah kental dengan ornamen merah dihiasi lampion gantung, deretan lilin, dan patung dewa dewi di atas altar.
Adapun di sisi kanan ada sebuah batu monolitik besar yang berhadapan dengan sebuah pintu. Di balik pintu ada sebuah ruangan dengan ornamen hijau untuk umat Islam menunaikan shalat dan mengaji.
Batu besar yang menghadap pintu mushala itu sudah ada bersama saat Kelenteng Pan Kho Bio ditemukan.
Batu itu diyakini sebagai petilasan Embah Raden Mangun Jaya yang merupakan leluhur masyarakat Sunda. Di dalam mushala juga ada dua batu besar yang diyakini sebagai petilasan Eyang Jayadiningrat dan Embah Sakee, tokoh penyebaran agama Islam.
Kulit boleh beda, tetapi hati satu rasa.
Satria Anwar (30), warga Kampung Pulo Geulis yang ikut meramaikan Cap Go Meh di Botani Square, menilai, ia bersyukur lahir dan besar di lingkungan yang meresapi dan menjalankan nilai para leluhur tentang toleransi.
”Nilai itu saya dapat dari orangtua dan lingkungan. Memang tidak diajarkan apa itu arti toleransi, tetapi dengan melihat dan menjalankan kehidupan sosial yang saling membantu, berbagi, dan menghormati. Jadi itu sudah dilakukan dulu oleh orangtua, kakek nenek,” kata Satria.
Hal senada disampaikan Nizar (28). Secara turun-temurun hidup sosial dengan latar belakang berbeda di kampungnya, membuatnya harus ikut andil berkontribusi untuk menjaga toleransi lebih luas di Kota Bogor.
”Mau perayaan agama apa pun, kami saling berbagi. Seperti Lebaran, kami bikin ketupat untuk warga lainnya, silaturahmi. Begitu pula saat perayaan Imlek kemarin, kami yang Muslim ikut terlibat. Kulit boleh beda, tetapi hati satu rasa,” ujar Nizar yang juga tergabung dalam kelompok Barongsai Kie Lie PGB Pulo Geulis.
Nizar berharap, dari kesederhanaan perayaan Cap Go Meh ini, semangat keberagaman dan toleransi bisa tertular ke warga Kota Bogor, bahkan masyarakat Indonesia lainnya.