Kado Manis untuk Hari Jadi Bogor dari Pulo Geulis
Bogor merayakan hari jadinya yang ke-539 pada 3 Juni kemarin. Hadiah terindah diberikan oleh Kampung Pulo Geulis yang tak putus menyebarkan pesan kebersamaan dan toleransi.
Pada masa Sri Baduga Maharaja atau Prabu Jayadewata atau yang lebih dikenal Prabu Siliwangi (1482-1521), Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran mengalami masa kejayaan. Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat disebut menjadi bagian dari kawasan kekuasaan Pakuan kala itu. Hari penobatan Siliwangi sebagai pemimpin Pakuan pada 3 Juni pun dikukuhkan sebagai hari jadi Kota dan Kabupaten Bogor.
Siliwangi membangun kerajaan dengan konsep atau falsafah silih asah, silih asih, dan silih asuh. Manifestasi kepemimpinan Prabu Siliwangi membuat kerajaan dan masyarakat hidup dalam situasi teratur, tenteram, dan harmonis.
Konsep kehidupan silih asah (saling mempertajam pengetahuan), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling menjaga dan melindungi) tersebut kini masih tampak jejaknya begitu jelas di Kampung Pulo Geulis, Babakan Pasar, Bogor Tengah, Jawa Barat.
Di dalam Wihara Maha Brahma Phan Ko Bio, delapan anak-anak berusia 7-10 tahun dari Kampung Pulo Geulis duduk di kursi plastik memegang alat tulis dan kertas. Mata mereka tertuju ke depan menyimak Lazyra Amadea Hidayat dan lima temannya mengajari aksara Sunda. Anak-anak itu belajar begitu antusias karena pelajaran aksara Sunda tidak mereka dapatkan di sekolah.
Bukan tanpa maksud Lazyra dari Komunitas Sekolah Pulo Geulis bersama teman-temannya dari Urban Sakola mengajak anak-anak itu belajar di dalam kelenteng. Selain mengajari aksara Sunda, Lazrya ingin mengajak anak-anak itu mengenal lagi makna keberagaman dan toleransi.
”Kami ajak untuk mengenal identitas mereka melalui pelajaran aksara Sunda yang mulai jarang didapat anak-anak di Bogor. Lalu, kenapa di wihara, agar mereka juga merasakan langsung, melihat, dan mengerti nilai keberagaman dan toleransi itu seperti apa, tentang keterbukaan dan saling menerima. Bahwa identitas itu penting bagi mereka sebagai pegangan hidup mereka nanti. Identitas tentang manusia yang bertoleransi, saling menjaga, dan menghormati,” tutur Lazyra, Kamis (3/6/2021).
Melalui aksara Sunda, kata Lazrya, penyampaian kembali kepada anak-anak untuk mengingat sejarah Kota Bogor yang pada Kamis berulang tahun ke-539.
Secara historis sejak abad ke-16, Sunda memiliki kekayaan peninggalan kebudayaan berupa benda-benda bertulis, seperti prasasti, piagam, serta naskah kuno, yang cukup banyak.
Hal itu menunjukkan adanya kecakapan tradisi tulis-menulis di kalangan masyarakat Sunda. Selain itu, membuktikan adanya kesadaran yang tinggi dari para pendahulu masyarakat Sunda mengenai pentingnya penyampaian informasi hasil ketajaman wawasan, pikiran, dan perasaan mereka berupa gagasan atau ide-ide yang terekam melalui sarana bahasa dan aksara. Maka dari itu, penyampaian kembali aksara Sunda kepada anak-anak menjadi momentum untuk dapat mengenalkan budaya setempat serta melestarikan kearifan lokal.
Mereka harus dipupuk sedari dini arti keberagaman dan perbedaan bukan halangan untuk hidup harmoni. (Chandra Kusuma)
Menurut Lazyra, anak-anak di sekitar Pulo Geulis memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan banyak bakat yang bisa dikembangkan. Selain belajar aksara Sunda, mereka juga belajar fotografi menggunakan ponsel.
Media ponsel menjadi salah satu cara yang dinilai tepat dan digemari anak-anak karena alat komunikasi itu menjadi perangkat yang dekat dengan mereka. Untuk mengimbangi aktivitas anak-anak menggunakan ponsel agar lebih positif, di sela-sela waktu luangnya mereka bisa belajar bercerita lewat visual dengan mengambil gambar, membuat satu cerita mengenai lingkungan sekitarnya yang syarat dengan sejarah dan toleransi.
Pengurus Wihara Maha Brahma Phan Ko Bio, Chandra Kusuma, menceritakan, kegiatan pendidikan bagi anak-anak di lingkungan Kampung Pulo sering dilakukan di dalam kelenteng. Keterbukaan Kelenteng Phan Ko Bio tidak hanya untuk anak-anak atau untuk kegiatan pendidikan. Namun, kelenteng yang ditemukan pada 1703 oleh Abraham Van Ribeck itu juga menjadi ruang untuk kegiatan sosial masyarakat setempat dan rumah ibadah bagi tiga keyakinan, yaitu Buddha, Khonghucu, dan Islam.
”Entah siapa dan apa latar belakang anak-anak itu, tidak penting. Kelak dengan pengetahuan, nilai ajaran, dan perhatian orangtua, agama, dan lingkungan, merekalah kelak penerus bangsa. Mereka harus dipupuk sedari dini arti keberagaman dan perbedaan bukan halangan untuk hidup harmoni. Toleransi di sini sudah tumbuh sejak lama dan turun-menurun. Perbedaan agama mengajari kami kehidupan. Hidup untuk saling mengasihi, berbagi, saling menjaga, meski kami berbeda,” ujar Chandra.
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan Kelenteng Phan Ko Bio. Saat pengunjung atau warga luar Kampung Pulo Geulis ke kelenteng mungkin akan heran dengan keberadaan tempat wudu di sisi kiri halaman teras. Masuk ke dalam kelenteng, ada sebuah pemandangan yang tidak biasa. Di dalam ruangan itu ada tiga tempat ibadah sekaligus.
Di sisi kiri ada sebuah meja atau altar dengan ornamen kuning yang di atasnya terdapat sejumlah patung Buddha. Sementara di bagian tengah kental dengan ornamen merah dihiasi lampion gantung, deretan lilin, dan patung dewa dewi di atas altar.
Adapun di sisi kanan ada sebuah batu monolitik besar yang berhadapan dengan sebuah pintu. Di balik pintu ada sebuah ruangan dengan ornamen hijau untuk kaum Muslim shalat dan mengaji. Batu besar yang menghadap pintu mushala itu sudah ada bersama saat Kelenteng Phan Ko Bio ditemukan.
Batu itu diyakini sebagai petilasan Embah Raden Mangun Jaya yang merupakan leluhur masyarakat Sunda. Dan di dalam mushala juga ada dua batu besar yang juga diyakini sebagai petilasan Eyang Jayadiningrat dan Embah Sakee, tokoh penyebaran agama Islam.
Tak berhenti di situ saja, di sisi kiri halaman kelenteng dekat tempat wudu ada sebuah ruang, yaitu makam Embah Imam. Di dalam ruang itu, terdapat benda-benda tua seperti kendi, batu-batuan, bendera merah putih, hingga patung dan lukisan harimau.
Dalam bahasa Sunda, harimau berarti maung, simbol kegagahan dan keberanian pada masa Kerajaan Pajajaran. Di ruangan makam Embah Imam yang juga dipercaya sebagai leluhur penyebaran Islam di Bogor, juga terdapat patung kura-kura sebagai simbol ketekunan dan panjang umur. Ada pula yoni yang merupakan simbol bagian kandungan perempuan bagi pemeluk agama Hindu.
Di Kelenteng Phan Ko Bio, kata Chandra, keberagaman dan toleransi sudah muncul dari berbagai simbol dan jejak kehidupan lampau. Meski bernama Kelenteng Phan Ko Bio, kelenteng tertua di Kota Bogor itu menjadi rumah bersama untuk seluruh kalangan dari latar belakang agama dan keyakinan. ”Ini rumahnya warga Kota Bogor, rumah bagi siapa saja, rumahnya keberagaman dan toleransi,” lanjutnya.
Bagi masyarakat Kampung Pulo Geulis, Kelenteng Phan Ko Bio bukan sekadar sarana rumah ibadah bagi tiga keyakinan sekaligus, melainkan lebih dalam sebagai rumah budaya dan ruang publik.
Badri Yasin (50), warga Kampung Pulo Geulis, sudah sejak kecil bermain atau sekadar menghabiskan waktu di Kelenteng Phan Ko Bio. Di kelenteng itu berbagai kegiatan lintas agama sering diselenggarakan, seperti pengajian mingguan, buka puasa bersama, dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
”Sejumlah tokoh agama sering ke sini. Saya sering ikut kegiatan, tidak hanya jika hari kegiatan keagaman Islam, tetapi juga kegiatan agama lain. Saya juga sering shalat di sini,” kata Badri.
Jika tidak dalam masa pandemi Covid-19, lanjut Badri, warga dari latar belakang agama kerap berkumpul, entah itu sekadar ngopi atau berbincang-bincang. Saat ini di Kelenteng Phan Ko Bio, pengunjung atau warga yang ingin masuk untuk beribadah dibatasi agar lingkungan tetap aman dan menghindari penyebaran virus.
Kegiatan keagamaan, terutama saat peringatan hari Waisak, Imlek, dan Natal, atau perayaan hari besar lainnya, merupakan hari yang paling dinanti Badri. Saat itu, semua saling berbaur dan membantu menyiapkan kebutuhan warga yang merayakan.
”Kami umat Muslim biasa kumpul membantu persiapan perayaan hari raya. Begitu pula sebaliknya, saat Lebaran atau Maulid Nabi, warga lainnya juga bantu,” kata Badri.
Baca juga : Bima Arya: Kota Bogor Memiliki DNA Toleransi dan Akar Kuat Keberagaman
Senada dengan Badri, Lim Siang Ling July (66) menuturkan, selain kegiatan keagamaan, yang memperkuat silaturahmi adalah kegiatan sosial seperti berbagi sembako kepada keluarga yang membutuhkan, mengecat tembok, dan bersih-bersih kampung. Kegiatan sosial itu menjadi ruang interaksi antarwarga dan kehangatan pun terus terjaga.
”Saya sejak lahir sudah di sini. Ayah ibu asli sini. Sebagai umat Buddha, tinggal di lingkungan mayoritas Muslim merasa senang karena kami saling mengenal, bersahabat, dan berinteraksi. Itu tidak saja terbangun dari ajaran orangtua untuk saling peduli, tetapi semakin tumbuh dengan dinamika sosial warga di sini,” kata July.
Begitu pula dengan warga lainnya, Anita (43). Tumbuh di lingkungan yang saling terbuka dan memahami perbedaan menjadi pelajaran hidup yang berharga. Nilai kebaikan itu tidak hanya membuat warga bersatu, tetapi menjadi lebih bermakna ketika nilai itu dibawa di lingkungan yang lebih luas lagi.
”Kita hidup dalam keyakinan kita masing-masing. Pemahaman keterbukaan satu sama lainnya menimbulkan rasa aman dan harmonis,” kata perempuan pemeluk keyakinan Khonghucu itu.
Menularkan
Seakan membawa keluar dan menyebarkan semangat dari Pulo Geulis, sekitar 4 kilometer dari Kampung Geulis, tepat di Taman Ekspresi, Sempur, enam tokoh agama bersama tokoh adat dan masyarakat serta jajaran Pemerintah Kota Bogor berkumpul untuk merayakan Hari Ulang Tahun Ke-539 Kota Bogor. Mereka bersama berdoa untuk kesatuan dan perlindungan di masa pandemi Covid-19.
Di momen hari ulang tahun Kota Bogor dan hari lahir Pancasila, Wali Kota Bogor Bima Arya menyampaikan, ruang komunikasi, dialog, dan kolaborasi antarelemen masyarakat sangat dibutuhkan. Ruang-ruang itu seperti di Kelenteng Phan Ko Bio sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan kebersamaan, keberagamaan, dan toleransi hingga ke akar rumput. Pesan dan nilai-nilai itu harus selalu disampaikan secara konsisten tidak hanya melalui pesan saat acara keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Bima pun tak sungkan untuk masuk ke rumah-rumah ibadah saat perayaan besar keagamaan. Meski menimbulkan pro-kontra, kedatangannya ingin memberikan pesan kerukunan dan kebersamaan.
”Penghormatan kepada keyakinan lain itu bisa dilakukan tanpa mengurangi keimanan kita. Jadi, hari ini kita semestinya mengurangi, bahkan menghilangkan perdebatan soal ucapan, kunjungan, dan lainnya. Seharusnya kita sudah melewati itu karena founding father kita, pendiri bangsa, dan tokoh besar sudah memberikan dan menunjukkan pesan yang luar biasa terkait persatuan,” tutur Bima.
Untuk semakin menguatkan persatuan dan menjaga semangat toleransi, Pemkot Bogor pun menggelar berbagai festival kebudayaan, festival Merah Putih, dan berbagai agenda keagamaan lainnya. Acara itu bertujuan agar warga semakin merangkul dan menunjukkan sejarah panjang kehidupan toleransi yang tumbuh sejak lama.
”Inilah Bogor yang memiliki DNA toleransi dan akar kuat keberagaman dalam persatuan antar-umat dan suku bangsa,” ujar Bima.
Bima berpesan, semua elemen, khususnya generasi muda, harus belajar dari sejarah bahwa harga yang paling utama adalah persatuan. Persatuan yang diperjuangkan oleh para pejuang, tokoh muda, dan para pemimpin harus dipertahankan dan diperjuangkan di tengah isu intoleransi, ujaran kebencian, dan semua hal yang bisa memecah kesatuan bangsa.
”Kita harus berpikir jauh. Ucapan dan postingan kita di media sosial menentukan apakah mengoyak atau menguatkan persatuan. Kita butuh anak muda dengan berbagai karyanya untuk membangun bangsa lebih kuat. Anak muda yang memberikan semangat persatuan dari karya dan postingan positif di media sosial,” kata Bima.
Baca juga : Internalisasi Nilai Pancasila Tumbuhkan Toleransi
Tidak hanya generasi muda, ujar Bima, hal ini juga berlaku bagi pemangku kebijakan atau pejabat agar juga memiliki tanggung jawab. Tidak bisa dimungkiri, perpecahan dan konflik justru dipicu oleh tokoh demi kepentingan politik.
”Negara ini tidak dibangun atas nama amarah, tetapi dibangun melalui solidaritas, cinta kasih, dan kebersamaan. Dari sejarah kita, tokoh muda memiliki peran besar membangun negara ini. Tokoh muda dari latar belakang berbeda bersatu, bersepakat, berjuang, untuk kesatuan dan keberagaman sehingga bisa bersatu seperti ini,” lanjutnya.
Selamat Hari Lahir Pancasila Indonesia, wilujeng milangkala kaping 539 Bogor.