Mudahnya Mengakses Video Porno Anak-anak di Media Sosial
Video pornografi anak-anak banyak beredar di media sosial, grup tertutup, aplikasi perpesanan, dan ”dark web”.
Akses pada pornografi anak-anak sangat terbuka. Hanya dengan Rp 50.000, orang bisa mendapatkan 441 video porno anak-anak. Ratusan video ini ditawarkan secara bebas melalui media sosial dan pembayarannya via dompet digital atau bank. Situasi ini menunjukkan rentannya anak-anak menjadi korban jaringan pelaku kejahatan pornografi yang mengeruk keuntungan besar dari kepolosan mereka.
Peredaran video porno anak-anak ini kembali jadi perbincangan publik setelah Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta mengungkap kasus pornografi yang melibatkan delapan anak sebagai obyek pelampiasan seksual jaringan internasional, Minggu (25/2/2024). Penyidik menemukan 3.870 video dan 1.245 foto porno yang diproduksi dan dijual melalui Telegram.
Dari penelusuran Kompas, Selasa (27/2/2024), mudah menemukan tawaran video porno anak di Telegram dan platform X, dulu Twitter. Bahkan, ada penjual yang sama memanfaatkan kedua platform itu.
Mula-mula dilakukan pencarian di platform X dengan kata kunci terkait. Muncul akun yang menawarkan ataupun membicarakan tentang video porno anak-anak.
”Yang punya (video porno anak-anak) bagi dong” cuit salah satu akun.
”Banyak gue DM (direct message/pesan langsung) saja” timpal akun lainnya.
Akun yang menimpali itu rupanya penjual video porno anak-anak. Dia menyertakan tautan ke akun Telegramnya yang diberi nama Jack.
Jack langsung membagikan daftar paket video porno anak-anak setelah disapa. Video tersebut dalam bentuk file terpisah, file gabungan, dan tautan. Harganya bervariasi, yaitu Rp 30.000 mendapat 50 gigabyte, Rp 50.000 dapat 150 gigabyte, Rp 100.000 dapat 500 gigabyte, dan Rp 150.000 dapat 1,5 terabyte.
Baca juga: Menjaga Anak dari Bahaya Predator yang Incar ”Mangsa” melalui Gim Daring
Jack juga menyediakan paket khusus dengan harga tiap paket Rp 50.000 dan Rp 250.000 untuk semua video anak.
”Pembayaran via Dana, Ovo, Gopay. Amanah, kok, Gan (bukan penipuan),” kata Jack dengan menyertakan testimoni para pembeli video porno anak-anak. Mereka tergabung dalam satu saluran yang terdiri dari 139 pengikut.
Jack menyatakan hanya punya saluran berisi testimoni. Dia enggan membuat saluran transaksi video porno anak-anak karena berulang kali diblokir akibat laporan melanggar ketentuan platform. ”Capek bikin grup melulu,” ujar Jack.
Setelah pembayaran Rp 50.000 dengan foto bukti transfer, Jack langsung mengirim 441 video berukuran 150 gigabyte.
Jack mengklaim video itu koleksi baru dan lama. Namun, dia enggan memberitahukan sumbernya. ”Nanti, kalau mau order (pesan) lagi, langsung chatane (saya) saja,” kata Jack.
Jaringan
Video porno anak-anak yang dikirimkan Jack terhubung dengan beberapa akun lainnya. Akan tetapi, akun-akun ini disembunyikan oleh pengguna ataupun privat sehingga tak bisa dihubungi kecuali dihubungi atau diundang untuk bergabung.
Selain Jack, ada Brilian yang diblokir medsos X setelah banyak laporan pengguna lantaran mengunggah video porno anak-anak. Dia masih aktif berjualan melalui Telegram dengan nama D.
Ketika dihubungi, D langsung membagikan daftar paket. Untuk 50 video, harganya Rp 50.000; 100 video Rp 100.000; dan 200 video Rp 150.000. Pembayaran melalui aplikasi Dana.
”File dikirim bukan dalam bentuk grup ataupun folder. Tetapi, saya langsung kirim berupa file video. Jika setuju, saya kirimkan contoh videonya,” kata D.
Baca juga: Lewat Gim Daring, 8 Anak Jadi Korban Video Pornografi
D langsung mengirimkan 20 video sebagai contoh. Video itu berdurasi puluhan detik sampai belasan menit.
”Lama dan baru (video) ada semuanya,” ujar D.
Selasa siang, penelusuran juga berujung dengan dimasukkan ke dalam salah satu grup Telegram dengan embel-embel VIP. Grup tersebut punya 1.078 anggota.
Isi grup berupa potongan video porno anak-anak berdurasi pendek, tautan video, dan kontak lain untuk berlangganan. Kontak ini membawa dari satu grup ke grup lainnya dengan embel-embel VIP.
Selain itu, ada tutorial cara mengunduh video dan menontonnya. Tak jarang, anggota grup saling sapa dan menanyakan tentang video, tautan, dan menawarkan konten.
Berulang
Kasus pornografi anak terus berulang. Upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan kejahatan tersebut ialah dengan pengawasan yang tepat saat anak-anak menggunakan internet hingga mengajarkan tentang privasi.
Selain kasus yang diungkap Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada tahun 2019 Polisi menangkap AAP (27) karena membujuk anak-anak melakukan adegan tak senonoh dan merekamnya, serta mengancam akan menyebarkan video korban.
Pelaku membuka akun permainan daring yang disukai anak-anak. Kemudian meminta data berupa nama, foto, umur, dan nomor ponsel anak perempuan di bawah 15 tahun.
AAP diketahui bergabung dalam grup percakapan Whatsapp dengan anggota 400 akun. Grup tersebut berbagi konten video pornografi anak dan dewasa.
Masih di tahun 2019, TR (25), seorang narapidana, menjebak anak-anak di media sosial agar mau memberikan konten pornografi. Langkah ini dilakukan pelaku demi memenuhi kepuasan pribadi saja dengan mendokumentasikan 1.307 konten berupa foto dan video.
Baca juga: Parlemen AS: Perusahaan Media Sosial Lalai Lindungi Anak-anak
Setahun berselang, Polda Metro Jaya menangkap FAC (65), warga negara Perancis, atas tuduhan eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap anak di bawah umur. Polisi menemukan bukti 305 video yang diduga berasal dari 305 anak berbeda yang kebanyakan anak jalanan.
Kepala Lembaga Riset Keamanan dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research/CISSReC) Pratama Persadha menuturkan, kejahatan seksual terhadap anak-anak bukan masalah yang baru muncul. Masalah ini muncul sejak abad keenam di Yunani kuno. Seiring perkembangan internet, kejahatan seksual pada anak mulai marak terjadi sejak 1990-an melalui berbagai papan buletin yang ada saat itu.
”Saat ini kejahatan seksual pada anak banyak beredar di media sosial dalam bentuk grup tertutup, aplikasi perpesanan seperti Telegram, serta banyak berkembang di jaringan gelap (dark web) yang lebih memberikan layanan anonim sehingga lebih sulit melacak pelaku atau penikmat kejahatan seksual pada anak-anak,” tutur Pratama.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan, terutama oleh orangtua, supaya anak-anak tidak menjadi korban pedofil, antara lain memberikan bimbingan dan pengawasan yang tepat saat menggunakan internet, mengajarkan privasi secara ketat di platform digital, tidak menerima hadiah berupa uang atau voucer gim dari orang yang tidak dikenal, tidak memberikan informasi pribadi seperti alamat rumah, nomor telepon, atau informasi sekolah secara terbuka di internet dan tidak menerima ajakan untuk bertemu di dunia nyata.
Menurut Pratama, orangtua juga perlu meningkatkan kesadaran tentang risiko dan taktik yang digunakan oleh predator siber, menggunakan perangkat lunak pengawasan dan pengendalian untuk memantau aktivitas daring anak-anak, memblokir situs atau aplikasi yang tidak aman, dan menetapkan batasan waktu penggunaan, serta melaporkan kepada orangtua atau otoritas jika mereka merasa diperlakukan dengan tidak pantas atau merasa tidak aman saat berinteraksi dengan seseorang secara daring.
”Salah satu yang terpenting adalah membuat lingkungan keluarga yang mendukung komunikasi terbuka antara orangtua dan anak-anak sehingga mereka merasa nyaman untuk berbicara tentang pengalaman daring dan meminta bantuan jika merasa tidak aman,” kata Pratama.
Kewajiban platform
Di sisi lain, pemerintah meminta tanggung jawab platform digital terhadap dampak dari teknologinya. Dengan begitu, konten yang ada bisa ramah atau melindungi anak-anak.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menyebutkan, teknologi masa kini dirancang dengan melibatkan ahli psikologi, perilaku, dan saraf agar pengguna betah atau terpapar dan berlama-lama memanfaatkan platform digital. Tujuannya agar peluang pengguna terpapar iklan kian besar atau banyak.
”Ada orang tak bertanggung jawab memasukkan konten negatif, meminta anak-anak melakukan adegan porno, terbuka pasar pedofil, dan sebagainya. Selain membatasi penggunaan platform, juga minta tanggung jawab platform,” ucap Firman.
Orangtua juga perlu meningkatkan kesadaran tentang risiko dan taktik yang digunakan oleh predator siber.
Pemerintah meminta tanggung jawab platform itu seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Lima direktur utama atau CEO perusahaan media sosial, yakni CEO Meta Mark Zuckerberg, CEO X Linda Yaccarino, CEO Snap Inc Evan Spiegel, CEO Tiktok Shou Zi Chew, dan CEO Discord Jason Citron, menghadap Komite Kehakiman Senat AS, Rabu (31/1/2024). Mereka dicecar gugatan, tudingan, dan pertanyaan dari para senator tentang upaya mereka mencegah eksploitasi seksual anak secara daring.
Menurut Firman, tidak bisa hanya pengguna dan pemerintah yang berupaya meminimalkan konten negatif dan dampak buruk platform digital. Penyedia platform juga bertanggung jawab memastikan layanannya ramah dan aman bagi semua kalangan.
”Dampak buruk bukan hanya soal pornografi. Akan ada modus baru, misalnya sekarang banyak iklan judi slot,” ujar Firman.