Kekeliruan Memasukkan Data Jadi Penyebab Suara di Situs KPU Menggelembung
Kesalahan dalam memasukkan data jadi penyebab kekeliruan suara di situs KPU. Kurangnya sosialisasi jadi kendala utama.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah video tentang dugaan kecurangan berupa penggelembungan suara pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 beredar di media sosial. Tuduhan itu pun langsung ditepis oleh Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang menjalankan pemungutan suara. Hal itu terjadi akibat kesalahan teknis terutama penempatan angka di formulir C1 Plano.
Dalam video berdurasi 48 detik itu ditunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara raihan suara di C1 Plano di Tempat Pemungutan Suara 54 di RT 002 RW 003, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, dengan perolehan suara dalam situs https://pemilu2024.kpu.go.id/ milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Perubahan yang paling kentara berada di pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Pada situs KPU tertera raihan hingga 748 suara. Padahal, yang tertera di formulir C1 Plano hanya 74 suara.
Penggelembungan suara juga terjadi pada pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Pada situs KPU tertera 160 suara, sementara di formulir C1 Plano jumlah suaranya hanya 16 suara. Sementara untuk pasangan capres dan cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, hasilnya tidak berubah, yakni 108. Video itu pun santer beredar pada Kamis (15/2/2024) dini hari dan sempat memunculkan kegaduhan terkait adanya kecurangan di TPS tersebut.
Marali, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 54, menjelaskan, perbedaan data itu murni karena keteledoran timnya dalam meng-input data. ”Saya tidak memeriksa lagi letak angka yang tertera di (formulir) C1 Plano. Akibatnya, sistem (Sirekap) keliru dalam membaca data,” kata Marali.
Dia mengakui telah menyerahkan sepenuhnya proses peng-input-an data pada anggotanya yang usianya jauh lebih muda, dengan alasan mereka lebih paham teknologi. Namun, pada kenyataanya terjadi kekeliruan mendasar.
Seharusnya, setiap bilangan diletakkan di kotak yang telah disediakan. Untuk bilangan ratusan, seharusnya diletakkan di kotak pertama, sementara bilangan puluhan diletakkan di kotak kedua. Adapun satuan diletakkan di kotak terakhir.
Namun, anggotanya keliru dalam meletakkan angka, yakni bilangan puluhan diletakkan di kotak pertama. Akibatnya, sistem membacanya sebagai bilangan ratusan. Kekeliruan juga terjadi pada pengarsiran lingkaran di bawah balok angka. ”Inilah yang membuat sistem salah dalam membaca data,” katanya.
Marali menepis tuduhan adanya kesengajaan untuk menggelembungkan suara salah satu pasangan calon. Pasalnya, proses pemungutan suara di TPS 54 berlangsung sangat ketat. Ada saksi dan pengawas yang tentu memantau aktivitas petugas KPPS di dalam TPS.
Mungkin hanya anak muda yang bisa meng-input data karena prosesnya cukup rumit.
Diakui Marali, sebagian besar timnya merupakan orang yang baru pertama kali menjadi anggota KPPS termasuk dirinya. ”Namun, kami tetap berusaha untuk menjaga integritas walau pada akhirnya ada kesalahan yang mungkin fatal,” ujar Marali.
Ia bisa bernapas lega karena dalam situs KPU semua sudah kembali sesuai dengan data yang ada di C1 Plano.
Lia, saksi di TPS 54, menegaskan bahwa dirinya melihat C1 Plano sudah sesuai dengan situasi di lapangan. ”Tidak ada kecurangan karena saya berada di TPS dari awal sampai akhir pemungutan suara pilpres,” katanya.
Rumit
Proses memasukkan data, diakui sebagian anggota KPPS, merupakan hal yang paling sulit dilakukan. ”Mungkin hanya anak muda yang bisa meng- input data karena prosesnya cukup rumit,” kata Brian, anggota KPPS di salah satu TPS di Pulo Gebang.
Di samping itu, sosialisasi proses memasukkan data ke Sirekap juga tergolong sangat singkat, yakni dua hari sebelum pemungutan suara. ”Kondisi ini tentu membuat petugas KPPS harus melatih diri sendiri agar tidak keliru dalam memasukkan data,” kata Brian yang sudah empat kali menjadi anggota KPPS di wilayahnya.
Ketua KPU Jakarta Timur Tedi Kurnia menjelaskan, setelah adanya video yang beredar, pihaknya segera mengoreksi kesalahan tersebut. Tedi menjelaskan, sistem Sirekap sempat sulit diakses ketika panitia memasukkan data. Akibatnya, petugas KPPS harus berulang kali memasukkan data.
Ia mengakui, sosialisasi terkait aplikasi Sirekap pada petugas KPPS belum optimal. Apalagi, metode ini baru pertama kali digelar di Jakarta. ”Tentu masih banyak kekurangan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Tedi berharap warga tidak hanya mengacu pada situs info publik dalam mengetahui hasil penghitungan suara, tetapi juga mengawasi rekapitulasi yang dilakukan secara manual. Pengawasan mulai dari rekapitulasi di tingkat kecamatan hingga ke pusat.