Ada Potensi Malaadministrasi Penataan Sarana Jaringan Utilitas di Jakarta
Penataan sarana jaringan utilitas terpadu di Jakarta berpotensi malaadministrasi karena ada kelalaian atau pengabaian.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menemukan potensi malaadministrasi penataan sarana jaringan utilitas terpadu atau SJUT di Jakarta. Rekomendasi setelah tinjauan lapangan dan permintaan keterangan dari pihak terkait berupa keharusan untuk segera mengevaluasi dan memperbaiki penataan ke depan.
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menyerahkan laporan itu kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika, PT Jakarta Propertindo (Perseroda), Perumda Pembangunan Sarana Jaya, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, dan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi di Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024).
Hery mengatakan, jika tidak segera dievaluasi dan diperbaiki, akan berpotensi malaadministrasi karena adanya kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum. Pertama, realisasi pembangunan SJUT jauh dari target, yang berarti tidak ada pengawasan pembangunan dan koordinasi secara optimal oleh Pemprov DKI Jakarta dengan Jakarta Propertindo dan Sarana Jaya sebagai pelaksana.
Ombudsman RI menemukan penataan SJUT masih di bawah target. Jakarta Propertindo baru merealisasikan penataan sebesar 22,6 persen, sedangkan Sarana Jaya baru 1,15 persen.
”Pemprov DKI Jakarta tidak segera mengeluarkan regulasi sebagai payung hukum pengerjaan SJUT setelah habis masa berlaku regulasi sebelumnya. Tanpa ada evaluasi terhadap progres pembangunan SJUT bisa mengakibatkan pembangunannya terhenti,” kata Hery.
Ombudsman RI juga menyoroti Pemprov DKI Jakarta yang belum menuntaskan rencana induk pembangunan SJUT. Rencana yang komprehensif dengan memuat rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan daerah, dan jangka waktu penyelesaian pembangunan SJUT justru jadi pedoman.
Hery juga mengingatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Pemprov DKI Jakarta untuk mengatur dan mengawasi kabel bekas (tidak terpakai) di dalam dan di permukaan tanah serta di udara dan pengolahan limbah kabel setelah penataan SJUT. Selanjutnya menyusun panduan SJUT dan meningkatkan penanganan aduan atau keluhan tarif SJUT.
”Kabel bekas dan limbahnya berpotensi membahayakan keamanan dan keselamatan warga. Contohnya, kasus warga terlilit kabel optik hingga tewas, korsleting listrik, mengganggu estetika kota, dan lainnya. Jangan baru bertindak setelah ada aduan dari warga atau timbul korban warga,” ucap Hery.
Dari berbagai temuan tersebut, Ombudsman RI merekomendasikan evaluasi penataan SJUT yang jauh dari target, membuat rencana induk penataan jaringan utilitas, menerbitkan regulasi yang menjamin keberlanjutan penataan SJUT dengan melibatkan pemangku kepentingan, penyedia SJUT menetapkan tarif yang mempertimbangkan kondisi pasar, efisiensi nasional, dampak positif keekonomian, dan kepentingan warga, serta menyusun regulasi penanganan sampah dan pengelolaan limbah kabel secara nasional.
Kepala Subbidang Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup Bappeda DKI Jakarta Cipta Aditya memastikan pemerintah tengah mengevaluasi penataan SJUT. Jakarta Propertindo diketahui baru merampungkan 10 ruas jalan dari target 32 ruas jalan, sedangkan Sarana Jaya belum progresif.
”Penataan belum optimal. Bukan berarti tak ada upaya penataan SJUT. Kami dorong pengembangan ke depan terkait rencana induk SJUT. Prosesnya sekarang masih dalam pembahasan,” kata Cipta.
Kendala
Terdapat sejumlah kendala dalam proses penataan SJUT, misalnya perubahan desain dan aturan pendukung.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Jakarta Infrastruktur Propertindo Ivan Cahya Permana menyebutkan, sebagai anak usaha Jakarta Propertindo yang menata dan mengelola SJUT realisasinya baru 25 km dari target 100 km. Seluruhnya menggunakan biaya internal dan bekerja sama dengan Dinas Bina Marga DKI Jakarta.
”Salah satu tantangannya penyesuaian desain SJUT sampai versi keempat karena desain penugasan tak cocok di lapangan. Proses ini cukup menghabiskan waktu,” ujar Ivan.
Kemudian legal opinion yang keluar tahun 2023, sedangkan penataan berjalan sejak 2021. Alhasil, operator jaringan tak langsung memanfaatkan SJUT yang terbangun. Dalam prosesnya berlangsung diskusi membahas tarif yang seimbang dari sisi usaha atau investasi dan tidak memberatkan operator jaringan.
Ombudsman RI juga menyoroti Pemprov DKI Jakarta yang belum menuntaskan rencana induk pembangunan SJUT.
”Kami dapat keseimbangan dan operator sudah masuk. Mereka sediakan kabel sendiri untuk masuk ke dalam SJUT dan kami bersama dinas terkait bersihkan kabel udara,” kata Ivan.
Jakarta Infrastruktur Propertindo menargetkan sampah kabel selesai ditangani Maret-April dan berkoordinasi dengan PT PLN (Persero) untuk menyesuaikan desain SJUT agar relokasi kabelnya tak membahayakan pengguna jalan sebab berpotensi setrum jika tergenang.