Setahun Sultan Menanti Keadilan Jeratan Kabel Optik
Belum ada kejelasan kasus kabel optik yang menjerat Sultan Rif’at Alfatih. Warga didorong mengajukan gugatan atas semrawutnya jaringan utilitas di Jakarta.
Jumat (5/1/2024) ini tepat setahun Sultan Rif’at Alfatih (20) terluka karena jeratan kabel optik di Jalan Antasari, Jakarta Selatan. Kesehatannya mulai pulih, tetapi kasusnya seakan jalan di tempat.
Keluarga hanya ingin kejelasan supaya mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu mendapat keadilan dan melanjutkan kesehariannya tanpa ada ganjalan atau beban pikiran.
Kamis (4/1/2024) pagi, Sultan berencana menjalani kontrol kesehatan di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto. Kontrol kesehatan ini selepas dia menjalani perawatan selama empat bulan di rumah sakit tersebut.
Sebelumnya, sulung dari dua bersaudara itu setidaknya tujuh kali menjalani operasi dan puluhan hari rawat inap di Rumah Sakit Fatmawati hingga Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Berat badannya turun 20 kilogram menjadi sekitar 47 kilogram sehingga tidak ideal dengan tinggi badan mencapai 182 sentimeter.
Baca Juga: Sultan, Korban Jeratan Kabel Optik, Berharap Bisa Bernapas Normal Lagi
Dia juga menggunakan alat bantu pernapasan karena gangguan sistem saraf organ jalur napas dan makan, serta tidak bisa berbicara akibat kerusakan di pita suara.
”Kesehatan Sultan sudah lebih baik walaupun dia kaget dengan pernyataan Pak Kapolda. Dia sedih baca berita yang isinya Pak Kapolda bilang belum jelas ada unsur pidana, seolah-olah Bali Tower tidak bersalah,” ucap Fatih (49), ayahanda Sultan, sebelum berangkat ke Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Fatih merujuk pemberitaan di media massa yang memuat pernyataan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto seusai rilis akhir tahun, Kamis (28/12/2023). Saat itu, Karyoto menjawab pertanyaan awak media jika kasus kabel optik yang menjerat leher Sultan belum jelas unsur pidananya karena tidak ada unsur kesengajaan.
Karyoto mengatakan bahwa kasus tersebut murni kecelakaan. PT Bali Towerindo Sentra Tbk sebagai pemilik kabel tidak melakukan kesalahan karena sebelumnya ada orang yang menabrak tiang sehingga kabel optik menjuntai. Akan tetapi, polisi belum menemukan si penabrak tiang.
Fatih menyambangi Polda Metro Jaya sehari setelah membaca pernyataan itu. Namun, dia urung bertemu Karyoto karena sedang ada pelantikan jabatan.
”Saya ketemu tiga orang penyidik. Mereka jelaskan mungkin jawaban spontan Pak Kapolda. Belum ada gelar perkara dan perintah apa pun. Kasus Fatih masih dalam penyidikan. Jawaban ini saya pegang,” kata Fatih.
Tuntas
Keluarga berharap kasus ini tidak berlarut atau menjadi polemik. Jika memungkinkan, mediasi kedua belah pihak diwujudkan supaya bisa tercipta keadilan restoratif (restorative justice).
Menurut Fatih, anaknya sudah pulih dan berencana mengurus administrasi untuk kelanjutan perkuliahannya pada pertengahan Januari. Dia ingin fokus menuntaskan studi agar bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya.
”Penginnya kasus cepat selesai. Dibantu mediasi dengan Bali Tower, restorative justice supaya tak jadi polemik,” ujar Fatih.
Kali terakhir keluarga berkomunikasi dengan Bali Tower pada akhir Agustus 2023 ketika dimediasi oleh Kemenko Polhukam. Setelah itu, terjadi kebuntuan sehingga belum ada lagi perkembangan yang signifikan.
Baca Juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Sultan terjerat kabel optik ketika mengendarai sepeda motor bersama teman SMA-nya di tengah libur perkuliahan. Kabel optik di lokasi kejadian terpental ke arahnya setelah tersangkut mobil di depannya.
Keluarga menghubungi Bali Tower pada Juni 2023. Perusahaan mengaku bertanggung jawab dan menawarkan bantuan melalui asuransi yang bermitra dengan perusahaan dan menawarkan kompensasi sekali pembayaran. Namun, bantuan ini ditolak dan tak menemui titik tengah hingga keluarga membuka kasus ini ke media massa.
Ketua tim kuasa hukum PT Bali Tower Sentra Tbk, Maqdir Ismail, mengatakan, sampai sekarang belum ada komunikasi lagi dengan keluarga Sultan. Perusahaan juga belum mendapatkan kabar terkini perkembangan kasusnya di Polda Metro Jaya.
”Dari awal, kami selalu membuka peluang untuk mediasi,” ujar Maqdir, Kamis sore.
Pidana
Kasus jeratan kabel optik sudah tergolong tindak pidana. Dalam kejadian itu, ada korban dan mengakibatkan penderitaan seumur hidup.
Setidaknya ada dua payung hukum terkait jaringan utilitas di Jakarta. Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelenggaraan Infrastruktur Jaringan Utilitas.
Dalam peraturan daerah itu disebutkan ketentuan pidana. Pasal 19 menjelaskan sejumlah pelanggaran yang berpotensi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 5 juta.
Pertama, pelanggaran terhadap Pasal 4 tentang setiap rencana penempatan jaringan utilitas harus memenuhi syarat teknis dengan memperhatikan kepentingan umum dan keserasian lingkungan.
Baca Juga: Kabel Optik Masih Memakan Korban, Korban Sebaiknya Layangkan Gugatan
Maka, yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata adalah Bali Tower dan Pemprov DKI Jakarta.
Syarat yang dimaksud adalah standar bentuk, tata letak, dimensi, dan kualitas bahan. Sementara kepentingan umum terkait ketenteraman lingkungan, kelancaran lalu lintas, kebersihan dan kenyamanan lingkungan, serta keamanan pengguna jalan.
Kemudian pelanggaran Pasal 5 Ayat (4) tentang penempatan jaringan utilitas di atas tanah harus memenuhi syarat yang ditetapkan gubernur, Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) yang mengatur setiap penempatan jaringan utilitas dan setiap pekerjaan harus atas izin gubernur, serta Pasal 16 tentang perpindahan lokasi atas izin pemerintah daerah.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebutkan, perbuatan yang merugikan keselamatan warga seperti kasus Sultan juga melanggar Pasal 360 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Pemilik kabel optik (Bali Tower) dan Pemprov DKI Jakarta menjadi pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan di jalan berkaitan dengan sarana dan prasarana, termasuk kabel.
”Maka, yang dapat dimintai pertanggung jawaban secara perdata adalah Bali Tower dan Pemprov DKI Jakarta,” kata Fickar.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa secara pidana pihak yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa itu adalah pimpinan proyek dan pejabat Pemprov DKI Jakarta. Mereka tidak berhati-hati sehingga menyebabkan korban luka.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan hal yang sama. Kasus jeratan kabel optik tergolong tindak pidana karena memakan korban dan mengakibatkan penderitaan seumur hidup.
”Yang namanya kepentingan publik, seharusnya tidak merugikan publik. Ini bukan masalah sengaja atau tidak sengaja. Bali Tower harus tetap bertanggung jawab secara pidana, serta melihat seberapa besar penderitaan korban akibat kabel tersebut,” tutur Trubus.
Pelaksana di lapangan atau kontraktor yang mengatur kabel merupakan pihak paling bertanggung jawab. Korban dapat menggugat dan mendapat ganti rugi dari kontraktor ataupun pemerintah karena masih mengalami penderitaan.
Masyarakat yang tinggal di sekitar kabel semrawut juga dapat meminta perlindungan. ”Kalau mencari-cari kesalahan karena ada mobil lewat yang mengakibatkan kabel terjatuh itu nanti sebagai pembuktian di pengadilan. Polisi tidak berhak mengatakan itu tidak ada tindak pidananya karena tidak ada unsur kesengajaan. Lebih baik diproses secara pidana, nanti pengadilan yang membuktikan,” papar Trubus.
Baca Juga: Kabel Semrawut di Kramatjati Menjerat Leher Dwi Yuda
Selain itu, korban jeratan kabel optik berhak mendapatkan ganti rugi berupa biaya perawatan dan pemulihan dari pemerintah atau perusahaan pemilik kabel optik. Korban bisa menuntut pemulihan atas trauma yang dialaminya.
Trubus mendorong masyarakat agar mengajukan gugatan kelompok atas semrawutnya kabel optik di Jakarta. Apalagi, kabel optik yang menjuntai di beberapa kawasan Jakarta telah memakan banyak korban.
”Jika terus dibiarkan, akan ada banyak korban lain berjatuhan. Sementara para kontraktor yang ceroboh akan semakin tidak bertanggung jawab,” ujar Trubus.