Kualitas Udara Jakarta pada 2023 Memburuk Saat Kemarau
Dibandingkan tahun 2022, konsentrasi PM2.5 di DKI Jakarta pada 2023 cenderung lebih tinggi, terutama saat musim kemarau.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas udara Jakarta pada tahun 2023 menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Perluasan kawasan rendah emisi hingga penambahan stasiun pemantauan kualitas udara atau SPKU terus digencarkan untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyebut bahwa kualitas polusi udara di Jakarta pada 2023 sempat mengalami penurunan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Hal tersebut bisa terjadi karena berbagai faktor, salah satunya ialah rendahnya curah hujan pada periode tersebut.
”Dibandingkan tahun 2022, konsentrasi PM2.5 di tahun 2023 cenderung lebih tinggi, terutama pada musim kemarau,” ujarnya tanpa menjelaskan detail angkanya, Senin (22/1/2024).
Fenomena itu dipengaruhi munculnya gejala El Nino yang menyebabkan curah hujan rendah dalam periode lebih lama hingga Oktober 2023. Bahkan, pengaruhnya berlangsung hingga Desember 2023. Data tahunan itu diambil dari seluruh SPKU yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
Mengacu pada data tahun 2022, rata-rata tingkat PM 2.5 di Jakarta berada di angka 36,2 mikrogram per meter kubik. Sementara itu, pada periode Januari-Juni 2023, rata-rata konsentrasi polutan PM 2.5 mencapai 41,94 mikrogram per meter kubik.
Untuk mengatasi masalah tersebut, DLH DKI Jakarta berencana menambah sembilan SPKU tahun ini. Saat ini terdapat memiliki 12 SPKU yang bertaraf reference grade . DLH DKI Jakarta juga menargetkan memiliki 25 SPKU reference grade pada tahun 2025 untuk menuju jumlah yang ideal.
Melalui kehadiran sembilan SPKU ini, Asep berharap dapat memberikan data kualitas udara yang lebih maksimal. Selain itu, juga dapat menjadi rujukan utama semua pihak.
DLH DKI Jakarta juga sedang mengkaji lokasi yang akan dijadikan zona rendah emisi atau low emission zone (LEZ). Hal ini sebagai tindak lanjut dari komitmen perluasan kawasan rendah emisi. Saat ini, terdapat dua kawasan rendah emisi di Jakarta, yakni di Kota Tua dan di Tebet Eco Park.
”Kami berharap, dengan perluasan kawasan rendah emisi, Jakarta akan naik kelas menuju kota global dengan kualitas udara yang semakin membaik,” kata Asep.
Untuk mewujudkan misi perluasan kawasan rendah emisi tersebut, DLH bersinergi dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Sejumlah faktor diperhitungkan, di antaranya kebutuhan mobilitas warga sehari-hari, kenyamanan, kesehatan, dan keamanan warga.
Sejak kebijakan zona rendah emisi di kawasan Kota Tua dibuat, implementasinya masih lemah karena tidak ada pendekatan mengenai gas rendah emisi. Pemerintah seperti setengah hati, sekadar menunjukkan bahwa Indonesia sudah melangkah menuju kota rendah emisi dan Kota Tua dijadikan salah satu contoh. ( Trubus Rahadiansyah)
Dalam proses kajian kawasan rendah emisi, DLH DKI dibantu berbagai pihak, salah satunya adalah konsorsium Clean Air Catalyst (Catalyst), yang didukung oleh United States Agency for International Development (USAID) dan dilaksanakan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia, Vital Strategies, dan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). Namun, sejauh ini belum ditentukan kawasan rendah emisi berikutnya selain di Kota Tua dan Tebet Eco Park.
Transisi energi
Menurut pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah dari Universitas Trisakti, sejak kebijakan zona rendah emisi di kawasan Kota Tua dibuat, implementasinya masih lemah karena tidak ada pendekatan mengenai gas rendah emisi. Pemerintah seperti setengah hati, sekadar menunjukkan bahwa Indonesia sudah melangkah menuju kota rendah emisi dan Kota Tua dijadikan salah satu contoh.
”Pemerintah dapat mengupayakan implementasi zona rendah emisi dengan mengedukasi masyarakat di wilayah Kota Tua secara lebih masif. Kolaborasi secara sinergis dengan RT dan RW setempat juga perlu dibangun,” tuturnya.
Menurut Ketua Walhi DKI Jakarta Muhammad Aminullah, polusi udara di Jakarta masih bersumber dari energi fosil, yakni adanya PLTU batubara dalam radius 100 kilometer dari Jakarta, PLTU batubara captive yang digunakan di sektor industri, serta penggunaan minyak bumi untuk kendaraan bermotor.
Aminullah menilai, transisi energi merupakan salah satu kunci mengatasi polusi udara. DKI Jakarta sebagai konsumen energi yang tinggi diproyeksikan akan mengalami peningkatan konsumsi energi pada tahun 2050 terutama di sektor transportasi, dan mengalahkan kebutuhan energi di sektor rumah tangga.
”Tingginya konsumsi ini disebabkan oleh alih kendaraan berbasis bensin menjadi berbasis listrik yang selama ini ditopang oleh kebijakan insentif, baik berupa subsidi pembelian kendaraan listrik maupun pembebasan pajak dan bea balik nama yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2023,” katanya.