Penerapan zona rendah emisi atau ”low emission zone” di kawasan Kota Tua belum optimal. Pengamat kebijakan publik menilai zona rendah emisi di kawasan Kota Tua hanya pencitraan semata.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan zona rendah emisi atau low emission zone di kawasan Kota Tua belum optimal. Dinas Perhubungan Jakarta Barat mengakui implementasi kebijakan tersebut masih minim. Pengamat kebijakan publik menilai zona rendah emisi di kawasan Kota Tua hanya pencitraan semata.
Kota Tua ditetapkan sebagai zona rendah emisi (LEZ) pada 8 Februari 2021. Sejak saat itu, hanya Transjakarta, pesepeda, dan pejalan kaki yang boleh masuk dan lewat di sekitar kawasan yang berbatasan dengan Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Lada, dan depan Museum Mandiri. Hampir dua tahun berjalan, kendaraan bermotor di luar ketentuan peraturan masih terlihat keluar masuk di kawasan tersebut.
Di kawasan Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, Selasa (17/1/2023) pukul 11.00-14.00 tampak banyak kendaraan bermotor di luar ketentuan lalu lalang. Portal pembatas yang dijaga oleh petugas dinas perhubungan di depan Museum Mandiri itu tidak lagi mengatur pengemudi kendaraan bermotor yang ingin melintas di kawasan Kota Tua.
Sepeda motor bebas melintas, bahkan petugas membukakan portal untuk mobil yang ingin melintas. Portal di simpang Jalan Kali Besar Barat dan Jalan Kopi pun tidak ditutup dan tidak ada petugas dinas perhubungan yang berjaga saat itu. Beberapa tempat di kawasan itu banyak terparkir kendaraan bermotor.
Berjalan dari pintu keluar Stasiun Jakarta Kota menuju Museum Bank Indonesia terasa tidak nyaman. Hal itu karena beberapa kendaraan bermotor yang melintas berkecepatan cukup tinggi. Jika ingin menyeberang, butuh waktu lama untuk menunggu kendaraan sepi dan mau mengalah.
Salah satu warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Novianti (28), menyayangkan penerapan kawasan rendah emisi hanya sesaat saja. Saat kendaraan bermotor dilarang melintas, ia sangat menikmati mengunjungi kawasan Kota Tua kala itu. Kini, ia harus berhati-hati saat berjalan, apalagi jika harus membawa anak-anak.
Namun, pengendara sepeda motor merasa diuntungkan dengan kondisi itu. Salah satu pengemudi ojek daring, Ryan (23), menyebutkan, portal yang dijaga oleh petugas hanya formalitas. Selama ini ia selalu diperbolehkan melintas di kawasan Kota Tua. Padahal, imbauan untuk tidak melintas cukup sering dilakukan petugas dinas perhubungan.
”Mau gimana lagi, petugas juga kurang tegas. Kalau tidak masuk kawasan Kota Tua, putar balik kendaraan terlalu jauh,” ujarnya.
Portal yang dijaga oleh petugas hanya formalitas. (Ryan)
Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Perhubungan Jakarta Barat Afandi Nofrisal menyebutkan, implementasi zona rendah emisi di kawasan Kota Tua masih minim karena sistem yang ada saat ini perlu disempurnakan lagi. Penjagaan dengan sistem portal dirasa kurang tepat. Penjagaan sebaiknya sebatas pengawasan saja, bukan dengan tenaga manusia.
”Masyarakat sulit diatur, bahkan tidak jarang hampir menimbulkan pertengkaran. Mereka memaksa masuk sehingga petugas kecolongan. Seharusnya dibuat sistemnya seperti zona Monas dan zona Ancol yang dikhususkan untuk rekreasi. Dipagari dulu, Kota Tua pun sama, dibuat kawasan zona,” ucapnya.
Pintu portal dibuka, kata Afandi, karena ada sebagian warga yang tinggal di permukiman dekat kawasan Kota Tua akses jalannya melewati zona rendah emisi. Selain itu, pegawai gerai di kawasan Kota Tua juga menjadi masalah karena kantong parkir yang ada belum digunakan secara maksimal.
”Pengelola geraibelum diarahkan untuk parkir di Jalan Cengkeh. Mereka tidak diinformasikan oleh pimpinannya. Padahal, kami sudah sosialisasi, beberapa pegawai tidak mau jalan kaki dan membayar. Seharusnya mereka memfasilitasi tambahan biaya parkir atau menyediakan kendaraan khusus karyawan,” ujarnya.
Sejumlah pengguna kereta komuter (KRL) yang keluar melalui Stasiun Jakarta Kota pintu utara juga menjadi kendala minimnya implementasi kawasan rendah emisi di kawasan Kota Tua. Sebaiknya penumpang KRL diarahkan ke pintu Jalan Batu dekat Pasar Pagi karena sudah disiapkan sarana untuk menunggu angkutan. Jika keluar di pintu bagian utara akan mengundang ojek daring di kawasan rendah emisi.
Untuk mendukung kawasan rendah emisi, semua pihak harus bekerja sama. Mulai dari pihak PT Kereta Api Indonesia hingga pemerintah yang harus menyiapkan jalanan baru bagi warga permukiman setempat agar tidak melewati kawasan rendah emisi Kota Tua.
”Kawasan ditutup, yang masuk hanya kendaraan listrik saja. Tenant pakai kendaraan listrik. Harus duduk bersama mengenai zona emisi rendah agar tercipta kawasan yang benar-benar low emission zone,” kata Afandi.
Manajer Humas PT Kereta Komuter Indonesia Leza Arlan mengungkapkan, saat ini di Stasiun Jakarta Kota memiliki empat pintu keluar dan masuk untuk pengguna, termasuk pintu utara. Dengan adanya empat pintu tersebut, pengguna akan memilih pintu mana yang akan digunakan.
”Untuk mendukung program zona rendah emisi Kota Tua, kami akan koordinasikan lebih lanjut dengan menata ulang flow pengguna. Selain itu, pintu utara juga langsung terintegrasi dengan Transjakarta,” ucapnya.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, sejak kebijakan zona rendah emisi di kawasan Kota Tua dibuat, implementasinya lemah sekali karena tidak ada pendekatan mengenai gas rendah emisi. Pemerintah seperti setengah hati, hanya sekadar menunjukkan bahwa Indonesia sudah melangkah menuju kota rendah emisi dan Kota Tua dijadikan contoh.
Political will atau keinginan pemerintah untuk mengimplementasi kebijakan zona emisi rendah tidak ada. Pemerintah Kota Jakarta Barat seharusnya tegas, ada sanksi yang diterapkan. ”Saat ini (kebijakan) hanya ada di atas kertas saja, tapi tidak ada kemauan keras untuk diterapkan secara sungguh-sungguh. Lebih ke pencitraan semata. Sekadar ada, penegakannya tidak ada,” kata Trubus.
Pemerintah dapat mengupayakan impelemtasi zona rendah emisi dengan mengedukasi masyarakat Kota Tua secara lebih masif. Selain itu, kolaborasi secara sinergis dengan RT dan RW setempat dapat dibangun.