Ironi Jakarta, Warga Susah Cari Kerja di Tengah Naiknya Jumlah Pekerja
Meski jumlah penduduk yang bekerja di Jakarta pada Agustus 2023 naik menjadi 5,07 juta orang, sejumlah pekerja mengaku tidak bekerja sesuai bidangnya dan warga masih mengalami susahnya cari kerja.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penduduk yang bekerja di DKI Jakarta pada Agustus 2023 mencapai 5,07 juta orang dari 5,43 juta penduduk angkatan kerja. Jumlah ini naik 197.000 orang dari Agustus 2022. Akan tetapi, di balik itu, sejumlah pekerja mengaku tidak bekerja sesuai dengan bidangnya dan sebagian warga masih mengalami susahnya mencari kerja.
Dalam keterangan resminya, Senin (6/11/2023), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah angkatan kerja di Jakarta berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2023 sebanyak 5,43 juta orang, naik 174.000 orang dibandingkan dengan Agustus 2022. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) naik 2,13 persen.
Jumlah penduduk Jakarta yang bekerja sebanyak 5,07 juta orang, naik 197.000 orang dari Agustus 2022. Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan terbesar adalah sektor industri pengolahan sebanyak 61.000 orang.
Dengan ini, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jakarta Agustus 2023 sebesar 6,53 persen, turun 0,65 persen dibandingkan dengan Agustus 2022 yang saat itu berada pada angka 7,18 persen. Adapun 3,23 juta orang (63,77 persen) bekerja pada kegiatan formal, naik 0,65 persen dibandingkan dengan Agustus 2022.
Di seluruh Indonesia, jumlah pengangguran mencapai 7,86 juta orang pada Agustus 2023 dari 147,71 juta penduduk angkatan kerja. Angka ini menurun 0,56 juta orang ketimbang data Agustus 2022.
”Meskipun terus menurun, jumlah dan tingkat pengangguran ini masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi atau Agustus 2019. Tercatat jumlah pengangguran pada Agustus 2019 sebanyak 7,10 juta orang,” ujar Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.
Pada Agustus 2023, penduduk usia kerja berjumlah 212,59 juta orang atau meningkat sekitar 3,17 juta dibandingkan dengan Agustus 2022. Dari penduduk usia kerja tersebut, 147,71 juta di antaranya merupakan angkatan kerja. Jumlah tersebut meningkat 3,99 juta orang ketimbang Agustus 2022.
Adapun dari 139,85 juta penduduk yang bekerja, sekitar 37,68 persen bekerja sebagai buruh, karyawan, atau pegawai. Kemudian disusul oleh status berusaha sendiri sebesar 23,03 persen dan berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 14,15 persen.
Tidak sesuai
Warga Jakarta Barat, Rusdi Satria (23), merupakan salah satu warga yang masih berkutat mencari pekerjaan hingga saat ini. Menjadi pencari kerja yang baru lulus kuliah (fresh graduate) membuatnya dirundung banyak tekanan. Apalagi, beberapa dari temannya sudah mulai bekerja.
Rusdi pun beberapa kali mendatangi pelatihan untuk memantapkan kemampuan (skill). Orangtuanya juga selalu menyodorkan berbagai lowongan pekerjaan yang bisa ia coba, tetapi hasilnya masih nihil.
”Sempat tebersit juga untuk sementara menjadi pengemudi ojek daring sampai mendapat pekerjaan yang sesuai, tetapi saya masih ikhtiar untuk bekerja sebagai akuntan, semoga awal tahun depan tercapai,” katanya.
Karir pekerja muda yang telah bekerja juga tak selalu sesuai minat atau rencana. Warga Jakarta Pusat, Dwi Arifin (26), mengaku masih menghadapi tantangan dalam bekerja.
Dwi sempat merasakan keraguan atas bidang pekerjaan yang saat ini ia tekuni. Meskipun berlatar belakang hukum, ia saat ini bekerja di bidang pemasaran (marketing). Alhasil, banyak hal baru yang ia pelajari di luar kemampuan dan pendidikan yang ia dapat.
”Saya masih bertanya-tanya, apakah ini benar keinginan saya atau karena faktor lingkungan saat melihat teman sudah lebih mapan, jadi saya ambil saja apa yang ada di depan mata,” ujarnya.
Lain halnya dengan Laila Salsabilah (24), warga Jakarta Pusat. Kendati tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, ia kini memilih membuka usaha. Sejak September 2022, Laila berjualan mochi daifuku dan sandwich buah khas Jepang.
”Tahun lalu setelah lulus kuliah saya ingin cepat-cepat kerja, setiap dua kali seminggu saya wawancara kerja, tetapi belum diterima. Sempat ada yang menerima dan saya coba dua bulan, tetapi tidak cocok,” ujar perempuan yang kuliah di jurusan sosiologi ini.
Laila mengaku, awalnya ia ingin bekerja di lembaga riset atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Akan tetapi, ia kini memilih fokus untuk berjualan karena hasil yang didapat cukup untuk kehidupan sehari-hari.
”Tapi, sesekali saya masih lihat-lihat lowongan juga. Kalau ada yang cocok saya akan melamar,” ujarnya.
Tantangan
Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan, tingginya angka pengangguran berusia muda menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia. Banyak anak muda yang kesulitan bekerja di sektor formal, lalu mencari pundi-pundi rupiah dari sektor informal.
Pekerjaan yang marak diambil di tenaga kerja mengarah pada pekerjaan informal, seperti menjadi pengemudi transportasi daring. Padahal, kualifikasi seperti sarjana sebenarnya bisa bekerja di perusahaan dengan gaji lebih tinggi.
Menurut Faisal, pekerja informal juga memiliki permasalahan pelik dengan kehadiran UU Omnibus Law. Undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum kepada perusahaan untuk memberikan kontrak outsourcing kepada karyawannya dengan jangka waktu yang cukup lama.
Mereka dapat mengambil peluang untuk digarap dengan maksimal dan bisa menghasilkan.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyampaikan, saat ini banyak anak muda lebih memilih menjadi pengusaha daripada karyawan. Meskipun tak melamar kerja, mereka tetap agresif dalam membangun pekerjaan.
”Mereka dapat mengambil peluang untuk digarap dengan maksimal dan bisa menghasilkan,” katanya.