Kasus Ibu Menceburkan Bayinya, Pendekatan Keluarga Menjadi Utama
Seorang ibu menceburkan bayinya berusia tiga bulan ke dalam ember berisi air karena mengalami stres setelah melahirkan.
Seorang ibu berinisial LN menceburkan bayinya ke dalam ember berisi air di kediamannya, di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Ia merekam tindakannya sembari tertawa. Setelah didiagnosa, ia mengalami kebingungan, stres, dan lelah karena harus mengurus tiga anaknya yang masih balita.
Video tersebut langsung viral di media sosial. Dalam video itu, LN masuk ke dalam kamar mandi dan menceburkan anaknya ke dalam sebuah ember yang penuh berisi air. Tak lama, anak itu menangis. Sembari merekam, LN lalu mengelus badan dan mencipratkan air ke wajah anaknya.
Setelah itu, LN memegang kaki dan berusaha membalikkan tubuh anaknya. Di video 40 detik itu, ia tertawa saat posisi kepala anaknya berada di dalam air dan kakinya menjulur ke atas. Dari balik kamar mandi terdengar pula suara seperti anak kecil memanggil ”mama” dan mengetuk pintu.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Percobaan Bunuh Diri Ibu dan Bayi di Stasiun Pasar Minggu
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Bintoro mengatakan, pihaknya telah melihat video viral itu. ”Saat ini, Polres Metro Jakarta Selatan masih mendalaminya. Kami akan sampaikan jika ada perkembangan,” kata Bintoro saat dikonfirmasi, Selasa (17/10/2023).
Pihak kepolisian akan menggandeng institusi terkait untuk pendampingan dan pemeriksaan kesehatan psikologi LN. Pendekatan psikologi ini dinilai jalan yang tepat dalam penanganan kasus LN.
Penjabat sementara Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Lia Latifah melanjutkan, saat mengetahui video itu, pihaknya langsung berusaha mencari lokasi keberadaan rumah LN pada Jumat (13/10/2023).
”Dia mengalami baby blues syndrome dan ada sedikit depresi saat diagnosa awal. Ia mengalami kebingungan, stres, dan lelah karena harus mengurus tiga anaknya yang masih berusia balita. Anak pertama usia empat tahun, anak kedua tiga tahun, dan terakhir tiga bulan,” kata Lia.
LN, kata Lia, merekam dan mengirim video ke temannya sekitar dua minggu lalu. Dari temannya lalu menyebarkan ke media sosial. Alasan LN melakukan aksi berbahaya dan bisa menyebabkan kematian kepada anak lelakinya yang berusia tiga bulan itu hanya sekadar bercanda.
Beruntung kondisi anaknya sehat dan tidak mengalami luka-luka. Saat peristiwa terjadi, suami dan orangtua pelaku tidak mengetahui aksi nekat LN. Mereka mengaku kaget. Menurut Lia, LN masih perlu pendampingan dan pengawasan ketat dari keluarga. Pihaknya tidak akan melepaskan pengawasan kepada LN.
”Kami memang berencana mendampingi dan memeriksa kejiwaannya. Komnas PA menitikberatkan perlindungan terhadap anak jika keluarganya tidak bisa mengurus,” ujarnya.
Baca Juga: Dampingi Ibu Menghadapi Depresi Pascapersalinan
Dampak terburuk dari depresi hebat yang tidak tertangani adalah seorang ibu nekat membunuh bayinya. Arsip Kompas menunjukkan, kasus ibu membunuh anak lebih mudah ditemukan, seperti pada kasus RP (39) di Jakarta Timur (2013) atau F (30) di Bekasi (2016). Namun, dari banyak kasus itu, umumnya tidak terdiagnosis penyebabnya dengan lengkap.
Kasus serupa pernah terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat (2006). An (31) yang merupakan lulusan perguruan tinggi teknik ternama di Bandung membunuh tiga anaknya yang berumur 7 bulan, 3 tahun, dan 5,5 tahun. Kasus An ini menunjukkan gangguan mental pascapersalinan bisa dialami siapa pun dengan berbagai latar belakang pendidikan.
Terbaru, petugas keamanan di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berhasil menyelamatkan ibu yang diduga hendak mengakhiri hidup bersama bayinya, Sabtu (2/9/2023). Kepala Polsek Pasar Minggu Komisaris David Pratama Purba menjelaskan, petugas stasiun yang dimintai keterangan polisi mengatakan, ibu itu diduga hendak melakukan percobaan bunuh diri.
Meski aparat berwenang tidak mendalami kondisi dari perempuan tersebut, psikolog orang dewasa, Rini Hapsari Santosa, menduga perbuatan itu dilakukan karena depresi setelah melahirkan anak.
Rini mengatakan, setelah melahirkan, seorang ibu bisa mengalami depresi karena keadaan yang dijalaninya. Tergantung dari jangka waktunya, seorang ibu bisa kemungkinan mengalami baby blues syndrome atau bahkan postpartum depression (depresi pascamelahirkan).
Baby blues merupakan gangguan pada ibu baru melahirkan yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara cepat dan ekstrem. Kondisi yang umum dialami ini dapat berlangsung dua minggu sampai tiga bulan sesudah melahirkan. Jika berkepanjangan, ibu bisa mengalami depresi pascamelahirkan.
Baca Juga: Perlunya Pemenuhan Kesehatan Mental Ibu demi Tumbuh Kembang Anak
Depresi pascamelahirkan lebih parah dibandingkan dengan baby blues syndrome. Depresi pascamelahirkan membuat penderita merasa putus harapan dan merasa tidak mampu menjadi ibu yang baik, sampai akhirnya mereka tidak mau mengurus anak.
”Baby blues syndrome”
Menurut psikolog anak dan keluarga, Novita Tandry, tidak semua ibu mengalami baby blues syndrome. Pemicu pertama baby blues syndrome adalah sulitnya beradaptasi dari kehidupan sebelum dan sesudah menjadi ibu. Setelah menjadi seorang ibu, ada tanggung jawab besar yang harus dilakukan. Ibu membutuhkan penyesuaian diri dalam menghadapi peran dan aktivitas baru.
Seorang ibu yang berhasil menyesuaikan diri dengan peran dan aktivitas barunya akan bersemangat mengasuh bayinya. Namun, sebagian ibu yang kurang berhasil menyesuaikan diri akan mengalami perubahan emosi.
”Yang perlu digarisbawahi, baby blues syndrome itu depresi ringan dan ibu yang mengalami tidak akan sampai terpikir membunuh anak. Jika itu terjadi, berarti si ibu sudah memiliki masalah kesehatan mental sebelumnya,” katanya.
Seseorang paling sering terkena baby blues syndrome ialah ibu yang baru pertama melahirkan. Terkait LN yang stres karena mengurus tiga anak usia balita sekaligus, Novita menilai hal itu bisa terjadi karena ia memiliki anak tidak sesuai perencanaan.
Adapun tanda-tanda yang biasanya dialami ibu saat baby blues syndrome antara lain perubahan emosi yang signifikan, mudah lupa, rasa sedih, mudah tersinggung, dan stres ketika bayi lahir. Selanjutnya, mudah menangis tanpa sebab, susah tidur, serta merasa cemas dan takut tidak dapat merawat bayinya dengan baik.
Meskipun begitu, Novita mengatakan, ibu atau orang terdekat jangan mendiagnosis sendiri saat si ibu mengalami tanda-tanda seperti di atas. Sebaiknya, ibu langsung konsultasi kepada psikolog.
Baca Juga: Gangguan Kejiwaan Pascapersalinan: Beratnya Menjadi Ibu
Kegiatan mengasuh bayi dapat membuat ibu tidak bisa beristirahat dengan cukup untuk memulihkan diri setelah melahirkan. Kurangnya istirahat dapat menimbulkan kelelahan fisik dan emosional hingga akhirnya memicu depresi.
Perilaku ekstrem dari kondisi ini bisa dicegah jika ibu bisa mengomunikasikan masalah yang dirasakan dan kebutuhannya kepada pasangan atau kerabat. Kebutuhan itu juga sebaiknya disadari orang terdekat.
”Di masa sekarang, jika tidak mendapatkan bantuan dari keluarga dan teman yang tidak bisa diajak bercerita, itu bisa mengakibatkan kelelahan yang luar biasa,” ujar Novita.
Upaya pembangunan kesadaran akan kesehatan mental ibu setelah melahirkan harus lebih diperkuat. Jika tidak, risiko dan dampaknya akan semakin besar, mengingat tantangan hidup yang dialaminya semakin berat.