Belajar dari Kasus Percobaan Bunuh Diri Ibu dan Bayi di Stasiun Pasar Minggu
Petugas keamanan di Stasiun Pasar Minggu menyelamatkan ibu yang diduga hendak mengakhiri hidup dirinya dan bayinya. Kepedulian dan tanggung jawab seperti itu dapat menyelamatkan nyawa mereka yang tengah depresi.
Petugas keamanan di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berhasil menyelamatkan ibu yang diduga hendak mengakhiri hidup dirinya dan bayinya, Sabtu (2/9/2023).
Tindakan kecil yang tepat seperti itu menunjukkan, kehadiran dan kepedulian seseorang terhadap orang lain dapat menghentikan anomi atau perilaku menyimpang yang dapat muncul karena ketidakpedulian antarsesama.
Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan seorang petugas keamanan yang berdiri berhadapan dengan seorang ibu di ujung peron stasiun kereta. Petugas itu menghadapkan wajahnya ke wajah ibu berbaju kuning itu sambil memegangi kedua lengannya meski beberapa kali mendapat perlawanan.
”Saya tahu ibu ada masalah, tetapi ngomong baik-baik,” kata petugas itu.
Seorang petugas lainnya menggendong seorang bayi yang terdengar menangis kencang. Bayi itu terlihat sengaja dipisah menjauh dari sang ibu. Momen yang memancing perhatian itu direspons beberapa penumpang kereta yang melihat peristiwa sebelumnya.
Kejadian itu kemudian dikonfirmasi oleh Kepolisian Sektor Pasar Minggu. Kepala Polsek Pasar Minggu Komisaris David Pratama Purba kepada wartawan menjelaskan, petugas stasiun yang dimintai keterangan polisi mengatakan, ibu itu diduga hendak melakukan percobaan bunuh diri. Ini terjadi pada Sabtu malam.
”Informasinya, ibunya ini mau bunuh diri percobaan dia. Namun, dia sudah membuat pernyataan tidak akan mengulangi lagi (perbuatannya),” tutur David, Selasa (5/9/2023).
Meski aparat berwenang tidak mendalami kondisi dari perempuan tersebut, psikolog orang dewasa, Rini Hapsari Santosa, menduga perbuatan itu dilakukan karena depresi setelah melahirkan anak. Tergantung dari jangka waktunya, perempuan itu bisa kemungkinan mengalami sindrom baby blues atau dapat juga postpartum depression atau depresi setelah melahirkan.
Baby blues adalah gangguan pada ibu baru melahirkan yang ditandai perubahan suasana hati secara cepat dan ekstrem. Kondisi yang umum dialami ini dapat berlangsung dua minggu sampai tiga bulan sesudah melahirkan. Jika berkepanjangan, ibu bisa mengalami postpartum depression.
”Keluhan seperti ini terjadi akibat rasa putus asa saat merawat bayi tanpa jeda karena kebutuhannya harus dipenuhi terus-menerus. Di momen tertentu, ibu bisa kecapaian , merasa enggak berdaya. Keluhan paling umum, ibu enggak bisa terkoneksi dengan bayinya, enggak merasakan kesenangan merawat bayi. Di titik tertentu kadang muncul keinginan menyakiti diri bayinya,” katanya melalui sambungan telepon video.
Baca juga: Hotman Paris Sebut Ada Unsur Pembunuhan Berencana terhadap Imam Masykur
Perilaku ekstrem dari kondisi ini bisa dicegah jika ibu bisa mengomunikasikan masalah yang dirasakan dan kebutuhannya kepada pasangan atau kerabat. Ibu bisa meminta waktu untuk menyendiri, kesempatan untuk merawat diri, atau sekadar memiliki teman untuk berbicara. Kebutuhan itu juga sebaiknya disadari atau menjadi perhatian orang terdekat ibu.
”Kebutuhan bisa bervariasi, tetapi paling penting adalah kehadiran orang-orang di sekitarnya. Kehadiran sebagai teman berkomunikasi atau pemberi bantuan untuk merawat bayi,” ujarnya.
Ibu yang melakukan perbuatan itu saat sedang tidak baik-baik saja, kalut, dan kesadarannya tidak penuh. Jadi, harus empati, dekati dulu, ajak bicara untuk mengecek responsnya nyambung atau tidak.
Kehadiran orang lain semakin dibutuhkan ketika ibu sudah pernah melakukan tindakan ekstrem, seperti percobaan bunuh diri di kasus di Stasiun Pasar Minggu. Ibu itu tidak bisa lagi ditinggal sendiri sembari mendapat penanganan profesional seperti psikolog. Ketika perbuatan membahayakan terjadi di luar rumah, harus ada orang lain yang mau menghentikannya seperti petugas keamanan di Stasiun Pasar Minggu.
”Orang yang menemui kasus seperti itu harus tenang karena ibu yang melakukan perbuatan itu saat sedang tidak baik-baik saja, kalut, dan kesadarannya tidak penuh. Jadi, harus empati, dekati dulu, ajak bicara untuk mengecek responsnya nyambung atau tidak. Kita tanya pertanyaan sederhana, ibu mau ke mana bawa anak? Ada yang bisa dibantu? Prioritasnya, kita memikirkan ibu dan anaknya, bukan diri kita,” katanya.
Anomi
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, melihat kejadian ini sebagai fenomena anomi. Konsep yang dicetuskan sosiolog Eropa, Emile Durkheim, itu menggambarkan perubahan sikap manusia karena kesenjangan lingkungan di sekitarnya.
Masalah ini, kata Asep, umum ditemui di kota besar ini, di mana masyarakat dituntut mandiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga kurang bahkan tidak lagi memedulikan orang terdekat atau kerabatnya.
”Di sisi lain, banyak orang yang masih ingin dikunjungi keluarganya, dipinjami uang ketika mengalami masalah ekonomi. Namun, karena tidak ada, akhirnya dia merasa sendirian, enggak ada tempat curhat karena saudara sibuk cari nafkah. Akhirnya, bisa mengakibatkan bunuh diri,” katanya saat dihubungi terpisah.
Data Polri sejak awal 2023 sampai bulan Juni, ada 585 aksi bunuh diri di seluruh Indonesia. Jika dirata-ratakan, setidaknya 3 orang melakukan aksi bunuh diri setiap hari.
Menurut Asep, kasus bunuh diri di Indonesia, termasuk Jakarta, masih anomali. Beda dengan negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan yang kasus bunuh dirinya terbilang umum. Pemerintah di sana bahkan sampai harus memproteksi daerah-daerah tertentu yang rawan menjadi lokasi bunuh diri.
Baca juga: Bunuh Diri Bisa Dicegah, Jangan Abaikan Stres dan Depresi
Meski demikian, masyarakat tidak bisa meremehkan fenomena anomi. Tekanan hidup yang semakin tinggi, individualisme, dan spiritualisme yang semakin rendah bisa menjadi faktor yang meningkatkan keinginan bunuh diri. Untuk mencegahnya, masyarakat harus peduli terhadap sesama.
Minimal, petugas memiliki kemampuan respons cepat mengontrol di area tugasnya.
Kepedulian ini dapat diwujudkan di ruang publik dengan menyiapkan petugas keamanan yang terlatih untuk melayani masyarakat. Asep pun mengapresiasi sistem keamanan di stasiun kereta, di bawah pengelolaan Kereta Api Indonesia Group, yang direformasi belasan tahun silam.
”Sistem layanan perkeretaan ini sudah ideal dengan petugas resmi yang menguasai jaringan perkeretaan. Mudah-mudahan bisa diterapkan di tempat publik lainnya, di terminal, di tempat wisata. Minimal, petugas memiliki kemampuan respons cepat mengontrol di area tugasnya,” ujar Asep.