Warga Tangerang Selatan Bakar Sampah Sembarangan Bisa Didenda Rp 50 Juta
Upaya membereskan masalah pembakaran sampah terbuka di Tangerang Selatan, Banten, harus berhadapan dengan kendala penanganan timbulan sampah yang belum tuntas.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS —Aktivitas pembakaran sampah terbuka tampaknya menjadi persoalan serius yang terjadi di perkotaan, termasuk Kota Tangerang Selatan, Banten. Laporan pembakaran ilegal ini terjadi di sejumlah titik yang memunculkan permasalahan lingkungan dan kesehatan.
Pekan lalu, aktivitas pembakaran sampah terbuka kembali menjadi sorotan usai seorang anak di Pamulang, Tangsel, Raya Hari Setyo (8), terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Raya diduga terpapar asap pembakaran sampah yang dilakukan warga di belakang Rumah Sakit Umum Tangerang Selatan.
Usai kejadian tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangsel memasifkan pengawasan, penindakan, dan memasang spanduk imbauan larangan membakar sampah di sejumlah lokasi yang berpotensi.
”Pengawasan akan terus kami maksimalkan. Apalagi memasuki musim kemarau, kemungkinan intensitas pembakaran ilegal akan tinggi,” kata Kepala DLH Tangsel Wahyunoto Lukman saat dihubungi, Selasa (8/8/2023).
Wahyunoto menuturkan, laporan pembakaran ilegal ini datang dari sejumlah daerah di Tangsel. Bekerja sama dengan ketua rukun tetangga dan rukun warga, DLH Tangsel terus memasifkan sosialisasi bekerja sama dengan perangkat kelurahan serta kepala lingkungan. Lokasi yang diidentifikasi berpotensi tersebut diawasi secara berkala.
Pelaku pembakaran, kata Wahyunoto, datang dari berbagai kalangan. Dia mencontohkan, pengumpul sampah, misalnya, kerap membakar sampah sisa yang dikumpulkan. Hal tersebut dilakukan ketika sampah sisa yang telah dipilah tidak memiliki nilai jual lagi.
”Selain itu, ada pula dari individu rumah tangga dan para pedagang yang tidak menetap. Biasanya pedagang melakukannya secara sporadis dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong tidak berpenghuni. Makanya, ini yang kami tertibkan,” ujar Wahyunoto.
Pengawasan akan terus kami maksimalkan. Apalagi memasuki musim kemarau, kemungkinan intensitas pembakaran ilegal akan tinggi.
Melalui surat edaran Wali Kota Tangsel, kata Wahyunoto, semua lapisan masyarakat didorong untuk mampu mengelola sampah dengan ramah lingkungan. Adapun para pelanggar juga akan dikenakan sanksi sesuai aturan dalam Peraturan Daerah Tangsel Nomor 13 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam aturan tersebut, para pelanggar bisa didenda paling rendah Rp 500.000 dan paling tinggi hingga Rp 50 juta serta ancaman hukuman penjara 3 bulan.
Laporan yang masih muncul, salah satunya dari Safitri (28), warga yang tinggal di kawasan Sawah Baru, Ciputat, Tangsel. Di kawasan tersebut, dia kerap melihat warga yang membakar sampah yang terlambat diangkut oleh truk pengangkut sampah DLH.
”Sepertinya sampah-sampah tersebut telah kering dan terlambat diangkut oleh truk dari DLH sehingga warga memilih membakarnya,” kata Safitri.
Fenomena yang disaksikan Safitri perlu menjadi perhatian. Hal ini bisa saja berkaitan dengan masalah klasik yang masih dialami Pemkot Tangsel. Tingginya timbulan harian sampah di Tangsel belum sepenuhnya tertangani.
Dari 900-1.000 ton timbulan sampah harian, hanya 300-400 ton yang dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir Cipeucang. Sisanya dikelola mandiri di masyarakat melalui program bank sampah dan TPS3R. Namun, tak sedikit pula sampah tidak tertangani dan berserakan di lingkungan.
Jika merujuk hasil riset dari Waste4Change berjudul ”Menelusuri Aktivitas Pembakaran Sampah Terbuka di Wilayah Jabodetabek” yang dipublikasikan pada Februari 2023, penanganan sampah di Ibu Kota dan sekitarnya masih memiliki sejumlah persoalan.
Dalam penelitian tersebut menunjukkan, pelaku pembakaran sampah secara terbuka biasa dilakukan individu. Sebanyak 36 persen dilakukan ibu rumah tangga. Mereka menganggap kegiatan tersebut merupakan hal yang wajar.
Sementara itu, pelaku lainnya biasanya datang dari pelaku bisnis. Kalangan yang biasanya menghasilkan sampah dengan volume lebih besar ini terkadang memilih menangani sampahnya sendiri.
”Mereka (pelaku bisnis) saat jadwal pengangkutan terlambat, mereka berpikir, daripada terjadi penumpukan, lebih baik mereka membakar sampah tersebut,” kata Senior Consul Executive Waste4Change Lathifah Awliya Mashudi.
Lathifah menyebut, keterlibatan pemerintah diperlukan untuk melakukan sosialisasi sehingga tumbuh kesadaran melaporkan kejadian. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan penanganan sampah dinas terkait bisa dilakukan secara maksimal. Kerja sama dari berbagai sektor diperlukan sehingga akan tercipta penanganan yang berkelanjutan.