Pembakaran Sampah Terbuka Picu Kualitas Udara Jakarta Memburuk
Pembakaran sampah secara sembarangan menjadi salah satu alasan dari buruknya kualitas udara di Jakarta. Penegakan aturan yang tegas, perlu dibarengi dengan sosialisasi agar warga paham dalam mengelola sampahnya.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pembakaran sampah secara terbuka masih terjadi di Jakarta terlepas dari sudah adanya aturan dan masifnya pelayanan fasilitas persampahan di Ibu Kota. Sosialisasi dan edukasi mengenai aturan dan larangan mengenai hal tersebut perlu didorong untuk mengakselerasi perbaikan kualitas udara di Jakarta.
Ketua RW 001 Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, Muhammad Sahri (33) menjelaskan, pembakaran sampah secara terbuka kerap terjadi di wilayahnya. Aduan mengenai hal ini pertama kali tiba pada pertengahan April 2023. Warga mengadukan ada pembakaran sampah secara terbuka di salah satu lahan yang lokasinya berdekatan di dekat rel Stasiun Bojong Indah, Rawa Buaya, Jakarta Barat.
Pembakaran lahan membuat beberapa rumah di RW 01 dan RW 02 Rawa Buaya terdampak. Pascaaduan tersebut, pengelola lahan tersebut pun mendapat teguran oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Rawa Buaya.
“Asapnya hitam, perkiraan kami seperti plastik, kabel, atau kayu yang mungkin dibakar di sana. Ditinjau oleh Satpol PP, akhirnya berhenti,” ucapnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Meski sudah mendapat teguran dari pemerintah dan warga, aduan kembali masuk karena pembakaran sampah secara terbuka kembali terjadi.
Berdasarkan penuturan warga, pembakaran kembali ini dilakukan pada akhir April 2023, atau saat periode lebaran. Sahri menduga, pemilik lahan kembali melakukan hal tersebut karena mengira warga Rawa Buaya tengah mudik atau berlibur merayakan Idul Fitri 2023. Menanggapi hal itu, Satpol PP kembali mendatangi tempat itu dan memberikan teguran.
“Sudah ditegur kedua kalinya. Akhirnya, sejak 3 Mei 2023 sampai sekarang tidak pernah ada lagi pembakaran. Kalau terulang perlu peringatan lebih keras,” jelasnya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kelurahan Rawa Buaya Novi Herdiansyah menjelaskan, dari hasil penindakan yang ia lakukan, sampah yang dibakar berasal dari sisa-sisa hasil produksi beberapa kegiatan usaha di sana. Pelaku pembakaran memanfaatkan lahan kosong yang berada di area tersebut untuk membakar sampah-sampah seperti kardus, plastik, kayu.
“Pengelola sudah mengaku salah, kami sifatnya untuk menghimbau dulu, bila masih terulang lagi tentu akan kami tindak lebih tegas,” ujar Novi.
Dampak buruk
Fenomena pembakaran sampah terbuka memang masih marak terjadi. Recycling Specialist Waste4Change Lathifah Awliya menjelaskan, berdasarkan penelitiannya dan tim berjudul ”Menelusuri Aktivitas Pembakaran Sampah Terbuka di Wilayah Jabodetabek” yang dirilis Februari 2023, pembakaran sampah secara terbuka masih sering terjadi dan memberi dampak yang sangat buruk.
Penelitian dilakukan terhadap 144 responden yang terdiri dari 130 pelaku pembakaran sampah di level rumah tangga, lalu 7 pelaku adalah orang yang ditugaskan membakar sampah secara terbuka, serta 7 pelaku pembakaran sampah terbuka di level usaha. Penelitian dilakukan pada September 2022-Oktober 2022 di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dari hasil penelitiannya, jumlah sampah yang dibakar setiap tahunnya dapat mencapai 240,25 gigaton. Berdasarkan angka tersebut, emisi yang dihasilkan setara dengan membakar hutan seluas 108.825 hektar. Mirisnya, sebesar 92 persen dari kawasan tersebut sudah dilayani fasilitas persampahan.
Lathifah menjelaskan, alasan utama pelaku beragam. Di tingkat rumah tangga, 31 persen pembakaran sampah terjadi karena dianggap sebagai kebiasaan setempat. Sedangkan di tingkat bisnis, 75 persen pembakaran sampah terjadi karena pelaku menilai ada lahan yang dapat digunakan dan pengangkutan sampah yang kerap terlambat.
“Dampak utamanya kepada kesehatan karena bisa memicu penyakit pernapasan seperti asma, kanker, penyakit jantung, reproduksi dan kematian. Alasan lain mereka melakukan (pemakaran) karena tidak ada tahu ada aturan yang melarang. Perlu ada sosialisasi dan edukasi lagi,” ucapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Chief Executive Officer Nafas Piotr Jakubowski menjelaskan, berdasarkan hasil pantauannya pada April 2023, khususnya saat periode lebaran, kualitas udara di Jakarta tidak membaik signifikan. Pada periode itu, rata-rata tingkat PM (particulate matter) 2.5 di Jakarta tercatat sebesar 28 mikrogram per meter kubik (µg/m3), lalu Depok sebesar 35 µg/m3, dan Tangerang Selatan sebesar 32 µg/m3.
Selain itu, ada Bogor dengan 32 µg/m3, Tangerang sebesar 27 µg/m3, dan Bekasi sebesar 33 µg/m3. Angka ini masih berada di atas pedoman batas PM 2.5 yang dikeluarkan organisasi kesehatan dunia (WHO) sebesar15 µg/m3.
“Aktivitas berkendara memang mungkin turun karena mudik, tapi aktivitas lain yang menjadi pemicu pemburukan kualitas udara belum tentu ikut turun. Ditambah dengan aktivitas di kota-kota tetangga mempengaruhi kualitas udara di Jakarta,” jelasnya.
Pembakaran sampah secara terbuka dianggap menjadi salah satu pemicu buruknya kualitas udara. Untuk itu, pemerintah diminta untuk menerapkan regulasi dan penegakan hukum dengan tegas. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah yang mengatur denda sebesar Rp 500.000 bagi masyarakat yang membakar sampah sembarangan.
“Aturannya sudah ada dari tahun 2013. Tapi bila kita pergi keluar sana, masih banyak yang melakukan. Ini bukan hal yang mudah, tapi wajib ditegakkan untuk kualitas udara yang lebih baik,” tambah Piotr.