Publik Protes Rencana Sistem Satu Arah di Kota Depok
Warga di Jalan Nusantara Raya Depok menganggap pemberlakuan kembali rekayasa lalu lintas sistem satu arah atau SSA belum mendesak dan justru membahayakan aktivitas mereka.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Pemerintah Kota Depok memberlakukan kembali rekayasa lalu lintas sistem satu arah atau SSA Jalan Nusantara Raya mendapat protes warga yang tinggal di sekitar kawasan itu. Warga menganggap pemberlakuan tersebut akan kembali memunculkan bahaya keselamatan aktivitas warga di sekitar jalan tersebut. Adapun sejumlah kalangan juga merasa belum ada urgensi berarti dalam penerapan kebijakan ini.
Kebijakan SSA sebelumnya diberlakukan di kawasan tersebut pada Juli 2017. Namun, rekayasa lalu lintas ini ditiadakan saat pembangunan jalan lintas bawah atau underpass Jalan Dewi Sartika pada awal 2022. Sejak saat itu, Jalan Nusantara Raya, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Arif Rahman Hakim kembali memberlakukan jalan dua arah.
”Terdengar aneh jika rekayasa lalu lintas ini diberlakukan kembali. Tidak ada kemacetan berarti yang mendesak. Apalagi potensi kecelakaan seperti dulu bisa saja kembali terjadi,” kata Ketua RW 006 Kelurahan Depok Jaya Puguh Santoso, di Depok, Jawa Barat, Senin (7/8/2023).
Bentuk protes warga dituangkan dalam bentuk spanduk berisi ungkapan penolakan yang dibentangkan di sejumlah titik di Jalan Nusantara Raya. Selain itu, saat melakukan audiensi dan sosialisasi dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok mereka tegas menolak rekayasa lalu lintas ini.
Penolakan tidak lepas dari faktor keamanan aktivitas warga di sekitar kawasan berstatus jalan nasional tersebut. Salah satu sisi Jalan Nusantara Raya merupakan kawasan permukiman yang mengelilingi Situ Rawabesar. Adapun di sisi sebelahnya terdapat sejumlah pusat kegiatan masyarakat, mulai dari pasar, pertokoan, klinik, hingga gedung pemerintahan.
Puguh mengungkapkan, mobilitas warga yang tinggal di permukiman dari dan menuju pusat kegiatan tersebut terbilang tinggi. ”Dulu (saat masih pemberlakuan SSA), ada warga yang meninggal tertabrak saat hendak menyeberang ke pasar. Pengendara bisa saja memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi karena lengang saat hanya satu arah,” ujar Puguh.
Menurut Puguh, pemberlakuan ini seharusnya tidak diperlukan lagi di kawasan tersebut. Selain faktor keselamatan yang terbukti terjadi saat pemberlakuan, kondisi jalan di daerah sana sudah semakin lancar.
Terdengar aneh jika rekayasa lalu lintas ini diberlakukan kembali. Tidak ada kemacetan berarti yang mendesak. Apalagi potensi kecelakaan seperti dulu bisa saja kembali terjadi.
”Padahal, lalu lintas di sini sudah semakin lancar. Apalagi sekarang jalan semakin banyak, ada underpass dan jalan tol sehingga pilihan jalan semakin banyak,” ucap Puguh.
Di luar jam sibuk masuk kantor (pagi) dan pulang (sore) kantor, kondisi lalu lintas Jalan Nusantara Raya tampak lancar. Situasi berbeda saat jam memasuki jam sibuk, sejak pukul 16.00 kepadatan kendaraan mulai terjadi. Penumpukan cukup parah menjelang pertemuan dengan jalan lain, seperti Jalan Dewi Sartika dan Jalan Arif Rahman Hakim.
Kepala Bidang Bimbingan Keselamatan dan Ketertiban Dishub Kota Depok Ari Manggala mengungkapkan, pemberlakuan ini karena melihat kinerja lalu lintas yang lebih buruk di Jalan Nusantara Raya dibandingkan dengan Jalan Dewi Sartika dan Jalan Arif Rahman Hakim.
”Jika dibandingkan dengan waktu diberlakukannya SSA, Jalan Nusantara menunjukkan kinerja yang buruk sehingga perlu diberlakukan kembali SSA di jalan tersebut,” kata Ari dilansir dari situs portal berita resmi Pemkot Depok, Sabtu (29/7/2023).
Namun, pengguna jalan menganggap tingkat kepadatan lalu lintas di kawasan Jalan Nusantara Raya terbilang dalam situasi terkendali. Prodika Asnur, pengemudi ojek daring, mengungkapkan, kepadatan hanya terjadi hanya jam sibuk saja. Kendati jalan tidak selengang saat pemberlakuan sistem SSA, perjalanannya terbilang lancar.
”Sebenarnya keadaannya masih bisa dilewati, mungkin saat pagi atau sore cukup ada petugas saja yang mengamankan. Tidak perlu ada sistem satu arah,” ucap Asnur.
Penolakan sejak dulu
Dalam catatan Kompas (20/9/2017), saat awal pemberlakuan SSA ini mendapat penolakan dari warga sekitar. Saat itu, warga melakukan unjuk rasa penolakan aturan ini. Bahkan, warga juga turut mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Depok.
Saat itu, penolakan tersebut karena dampak dari keselamatan warga ketika beberapa bulan pemberlakuan SSA ini. Keresahan serupa kembali diungkapkan salah seorang warga, Nanang (53).
Pria yang telah tinggal di kawasan Depok Jaya sejak 1976 tersebut menganggap SSA justru memberikan dampak buruk bagi warga sekitar. Nanang turut menceritakan, pada 2019 salah satu keluarganya tertabrak saat hendak menuju klinik di seberang Jalan Nusantara Raya.
”Itu hanya salah satu contoh dari banyak kecelakaan yang terjadi. Kemarin setelah pertemuan dengan warga, Dishub Depok akan menunda. Kalau dari kami, warga minta untuk ditiadakan secara permanen,” kata Nanang.
Akademisi Universitas Indonesia sekaligus anggota Masyarakat Transportasi Indonesia, Andyka Kusuma, mengingatkan, urgensi pemberlakuan rekayasa lalu lintas, yakni untuk kelancaran dan keselamatan pengguna jalan serta masyarakat sekitar.
Dengan demikian, menurut dia, Dishub Depok perlu memastikan rekayasa lalu lintas yang akan diterapkan itu bisa memenuhi urgensi tersebut. ”Tetapi, jika belum memenuhi tersebut, keadaan sekarang sudah lebih baik, buat apa bikin aturan yang membahayakan,” ujarnya.
Andyka justru mengingatkan agar Pemkot Depok memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mobilitas masyarakat sekitar. Dengan maraknya terjadi kecelakaan di kawasan pusat kegiatan masyarakat, seharusnya pemerintah fokus penambahan marka jalan, seperti zebra cross dan peringatan batas kecepatan.