Fenomena Lingkaran Sosial Tidak Sehat dalam Pembunuhan Mahasiswa UI
Aksi pembunuhan mahasiswa di Depok, Jawa Barat, diduga dilatari literasi keuangan dan lingkungan sosial yang kurang baik.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan kriminal yang dilatari masalah malapraktik investasi dan pinjaman daring menjadi sorotan. Kasus pembunuhan yang melibatkan dua mahasiswa tersebut menunjukkan literasi keuangan yang masih rendah. Di sisi lain, literasi keuangan yang rendah tersebut diduga semakin diperparah dengan lingkungan sosial yang kurang baik.
Pada Jumat (4/8/2023), Polres Metro Kota Depok mengungkap pembunuhan yang melibatkan dua mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Altafasalya Ardnika Basya (23), kepada rekan sekaligus adik tingkatnya, Muhammad Naufal Zidan (19). Motif pembunuhan tersebut dilakukan Altafasalya untuk mengambil harta benda milik Naufal demi melunasi utang dari pinjaman daring karena mengalami kerugian saat berinvestasi kripto.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyayangkan kejadian kriminal dilatari malapraktik investasi dan pinjaman daring tersebut.
Dia pun mengingatkan, jika literasi tidak diperhatikan secara menyeluruh, masalah ini bisa saja membentuk fenomena ”gunung es”. Jika diremehkan, akan terus membesar ketika tidak diiringi dengan penanganan masalah yang komprehensif.
”Salah satu bukti literasi kurang adalah menggunakan dana pinjaman untuk investasi. Padahal seharusnya dana yang digunakan dana sisa atau dana tidak terpakai, bukanlah dana untuk kebutuhan primer, sekunder, atau tersier,” kata Tauhid saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Secara umum, kata Tauhid, literasi dalam investasi dan keuangan digital belum dilakukan secara menyeluruh. Dalam kripto, masih banyak investor yang gampang tergiur oleh Investasi dengan tawaran keuntungan besar dalam jangka pendek ini.
Di sisi lain, para investor kripto tidak dibekali dengan pengetahuan cara investasi yang sehat. Tauhid mencontohkan, saat investor mengalami kerugian, mereka langsung ingin segera kembali berinvestasi baru lagi. ”Padahal idealnya ada pembacaan situasi terlebih dahulu. Hal ini membuat mereka terpaksa berutang lagi agar bisa melakukan investasi baru,” ucapnya.
Hal seperti ini, lanjut Tauhid, kemudian membuat pelaku investasi yang tidak memiliki literasi keuangan yang baik melakukan pinjaman daring. Pinjaman ini berujung pada utang yang semakin menggunung.
Salah satu bukti literasi kurang adalah menggunakan dana pinjaman untuk investasi. Padahal seharusnya dana yang digunakan dana sisa atau dana tidak terpakai, bukanlah dana untuk kebutuhan primer, sekunder, atau tersier.
”Hal ini biasanya dilatari ada tuntutan kebutuhan dan gaya hidup sehingga mendorong mereka untuk cepat-cepat berinvestasi lagi,” ujar Tauhid.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, kasus pembunuhan yang terjadi melibatkan dua mahasiswa tersebut merupakan rentetan kejadian yang saling berkaitan. Rangkaian kejadian ini seakan membentuk fenomena gunung es.
Dia berpendapat, literasi keuangan yang rendah tersebut kemudian semakin diperparah dengan lingkungan sosial yang tidak sehat. Para pelaku investasi kripto biasanya memiliki lingkungan yang saling mempengaruhi dalam berbagai aspek.
”Biasanya mereka yang berinvestasi kripto ini memiliki lingkaran pertemanan yang saling mempengaruhi gaya hidup yang hedonis,” kata Rakhmat.
Gaya hidup yang terbentuk tersebut kemudian mendorong investor agar selalu memiliki penghasilan untuk kebutuhan tersebut. Namun, ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, di sisi lain investasi mereka semakin merugi, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan ekstrem.
”Karena lingkaran yang terbentuk ini bukan lagi lingkaran sehat sehingga faktor emosi dan hawa nafsu bisa saja membuat mereka gelap mata dan melampiaskan dengan solusi yang ekstrem pada rekannya,” ucap Rakhmat.
Psikolog forensik, Reza Indragiri, menyatakan, dalam situasi terdesak, pilihan dengan melampiaskan pada rekan menjadi alternatif. Pelaku bisa membuat kalkulasi upaya yang bisa dilakukan untuk memuluskan langkah tersebut.
”Dengan pilihan mengorbankan teman, pelaku bisa mengukur potensi harta serta kelemahan dan kekuatan lawan,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Tauhid, fenomena gunung es ini perlu solusi yang menyeluruh. Semakin meningkatnya tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia, dianggap belum komprehensif.
Selama ini, literasi keuangan konvensional hanya terbatas pada literasi ”simpan dan ambil”. Adapun pada tingkat ”pinjam”, belum sepenuhnya menyeluruh.
Dia berharap ada peningkatan peran OJK dalam memperluas jangkauan inklusi keuangan dan literasi konsumen. Hal tersebut bisa melalui regulasi dan edukasi perusahaan pinjaman daring. ”Edukasi tersebut tidak hanya terbatas pada pengenalan investasi atau perusahaan pinjam ilegal, tetapi perlu ada juga edukasi tentang peminjaman yang ilegal juga,” kata Tauhid.
Sementara Rakhmat berharap, semua pihak bisa melihat masalah ini lebih luas. Dengan terbentuknya lingkungan sosial dan ekonomi yang tidak sehat, perlu ada solusi yang menyeluruh pula.