Indikasi Kecurangan PPDB Kota Bogor
Dari verifikasi faktual PPDB 2023 oleh timsus, tercatat ada 414 pendaftar sudah sesuai aturan dan 155 pendaftar tidak sesuai aturan seperti pemalsuan kartu keluarga.
BOGOR, KOMPAS — Tim khusus verifikasi pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2023 Kota Bogor jalur zonasi menemukan indikasi kecurangan atau pendaftaran tidak sesuai aturan. Kisruh PPDB ini memperlihatkan infrastruktur pendidikan belum merata dan siap.
Wali Kota Bogor Bima Arya menindaklanjuti laporan warga dan temuan di lapangan dengan membentuk Tim Khusus Verifikasi Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2023 Kota Bogor jalur zonasi. Tim menemukan indikasi kecurangan di sejumlah sekolah. Ada 913 pendaftar SMP yang terindikasi bermasalah dalam PPDB.
”Jika nama-nama yang terbukti tidak ditemukan di lapangan, maka nama itu akan langsung dikeluarkan,” kata Bima, Senin (10/7/2023).
Dari 913 pendaftar itu, sebanyak 763 pendaftar sudah dilakukan verifikasi faktual di lapangan dan 150 sisanya sedang dalam progres. Adapun dari 763 pendaftar ditemukan ada 414 pendaftar sudah sesuai aturan dan 155 pendaftar tidak sesuai aturan. Sisanya masih dalam proses.
Baca juga: Sejumlah Pendaftar PPDB 2023 Jalur Prestasi Hadapi Kendala
Beberapa sekolah ditemukan bermasalah, yaitu SMPN 1 sebanyak 32 persen, SMPN 2 ada 9 persen, SMPN 3 ada 1 persen, SMPN 4 ada 15 persen, dan SMPN 5 ada 14 persen. Sejumlah nama pendaftar yang terbukti tidak ditemukan dan terdaftar sesuai domisili, maka nama tersebut akan langsung dikeluarkan dari daftar PPDB dan bisa mendaftar ke sekolah swasta.
”Tidak ditemukan nama bersangkutan di lokasi yang didatangi (sesuai domisili yang didaftarkan pendaftar), ada 155. Di lapangan ada KK yang anggota keluarganya tidak tahu ada ada nama masuk. Ada KK yang terbit kurang dari 1 tahun, ada alamat tidak ditemukan. Ini masih kami tindak lanjuti sampai hari terakhir karena kami undur (pengumuman PPDB 2023) sampai Selasa (11/7/2023),” ujar Bima.
Menurut Bima, sangat memungkinkan jumlah peserta PPDB bermasalah lebih banyak dari temuan verifikasi faktual sebanyak 913 pendaftar oleh tim. Oleh karena itu, ia meminta publik untuk menyampaikan data atau melaporkan indikasi manipulasi, pemalsuan, dan lainnya kepada nomor aduan yang sudah dibuka. Tim akan bekerja secara optimal dari laporan dan aduan dari warga.
Jika laporan dari warga itu ada indikasi masalah dan tidak sesuai aturan, maka tim akan menindaklanjuti meski peserta itu sudah dinyatakan lolos PPBD. ”Sangat mungkin didiskualifikasi sesuai dengan kewenangan kami untuk tingkat SMP,” ujar Bima.
Selanjutnya untuk jenjang SMA yang kewenangannya di Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kata Bima, semua laporan tim dan aduan warga akan diteruskan ke Kantor Cabang Dinas Jawa Barat Wilayah II. Ia pun menyerahkan masalah PPDB ini sepenuhnya kepada Pemprov Jawa Barat.
”Tentu, kalau kemudian tidak memungkinkan dalam waktu dekat untuk memverifikasi seperti SMP yang kami lakukan, maka akan sangat terbuka nanti (Pemprov Jabar) untuk melakukan proses diskualifikasi berdasarkan data yang ada,” lanjutnya.
Meski Pemkot Bogor tidak memiliki kewenangan mengurus SMA, Bima sebagai Ketua Dewan Pengurus Apeksi akan menyampaikan kepada Mendikbud Ristek dan Presiden Joko Widodo terkait evaluasi total sistem zonasi melalui Forum Rakernas Apeksi. Menurut dia, PPDB zonasi belum siap karena sistem data kependudukan masih bisa diakali dan infrastruktur pendidikan yang belum merata.
Saat ini, pihaknya fokus pada pembenahan PPDB 2023 agar masalah ini tidak terjadi lagi pada tahun selanjutnya. Jangan sampai pula peserta didik lainnya menjadi susah karena ada peserta didik yang masuk tidak sesuai aturan.
”Internal kami akan membenahi sesuai kewenangan, prosedur, mutasi, pindah, di dukcapil. Pembenahan koordinasi disdik dan dukcapil untuk ke depan lebih rapi,” kata Bima yang juga meminta Inspektorat Kota Bogor untuk menelusuri oknum atau dugaan calo yang ikut bermain dalam PPDB itu.
Kepala Kantor Cabang Dinas Pendidikan Jawa Barat Wilayah II Asep Sudarsono mengatakan, saat ini pihaknya masih mendata dan mencatat laporan dugaan indikasi sekolah yang bermasalah dalam PPDB. Jika ditemukan data tidak sesuai dan palsu, maka peserta PPBD itu akan dicoret.
Menurut Asep, PPDB tidak mudah dilakukan karena kuota yang dibuka sedikit, sementara sekolah itu merupakan sekolah unggulan. Oleh karena itu, banyak orangtua menginginkan sekolah itu. Padahal, PPDB ini bermaksud untuk memberikan peluang semua peserta didik tanpa melihat status sekolah.
Ke depan, kata Asep, pihaknya akan langsung memverifikasi untuk mengurangi dan menutup celah kecurangan peserta PPBD. Begitu pula jika ada pihak sekolah atau aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam masalah PPDB akan diberikan saksi.
”Kami usulkan di aturan karena kami melaksanakan PPDB sesuai Permendikbud dan Pergub. Ke depan kami usulkan agar waktunya lama sehingga bisa memverifikasi faktual (di lapangan),” lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bogor Ganjar Gunawan menambahkan, dalam pengurusan kartu keluarga (KK) sebagai syarat PPDB pihaknya sudah mengacu pada database terpusat dari Kementerian Dalam Negeri dalam sistem administrasi kependudukan (SAK).
Namun, dalam keperluan KK oleh warga, disdukcapil tidak jauh memverifikasi. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk menanyakan keperluan KK yang diajukan oleh pemohon. Adanya temuan KK yang tidak sesuai dengan saat verifikasi faktual tim, menurut Ganjar, bisa disebabkan karena KK tidak lagi menggunakan security printing. Saat ini KK berupa kertas biasa dan berbentuk PDF.
KK berupa kertas itu biasa itu sangat berpotensi untuk dimanipulasi atau direkayasa tanggal penerbitan KK dan manipulasi lainnya. ”Jadi, kami tidak bisa mengendalikan dokumen kependudukan yang oleh orang lain dimanipulasi,” katanya.
Dari temuan tim terkait masalah PPDB, pihaknya akan bekerja sama dengan Disdik Kota Bogor untuk memverifikasi dan memvalidasi data kependudukan kembali.
Libatkan sekolah swasta
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pelaksanaan PPDB 2023 di sejumlah kota Indonesia diwarnai praktik manipulasi domisili, jual beli kursi, pengurangan kuota, sertifikat prestasi abal-abal, hingga surat miskin palsu.
”Titik chaos-nya selalu saja terdapat jalur zonasi, jalur prestasi, dan jalur afirmasi. Orangtua akan melakukan apa pun untuk bisa masuk lewat jalur ini,” ujarnya.
Jika gagal masuk jalur itu, mau tak mau orangtua akan memasukkan anaknya ke sekolah swasta dengan biaya yang mahal. Padahal, orangtua hanya ingin memenuhi hak dasar pendidikan anaknya.
Kisruh PPDB yang setiap awal tahun ajaran baru terus terjadi itu, kata Ubaid, harus dihentikan. Pemerintah harus bertanggung jawab atas kekisruhan tersebut, bukan mencari kesalahan orangtua. Padahal jumlah kursi sekolah negeri tak sebanding dengan jumlah pendaftar.
”Sepakat kecurangan itu tidak boleh dilakukan, tapi bagaimana dengan kesengajaan pemerintah dalam melepas tanggung jawab soal pendidikan? Mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia. Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan seleksi yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal,” katanya.
Alasan sistem seleksi PPDB yang tidak berkeadilan itu harus dihentikan karena melanggar amanat konstitusi seperti yang tertulis dalam Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan.
Untuk itu, JPPI merekomendasikan untuk mengganti sistem seleksi PPDB dengan sistem undangan. Dari data anak usia sekolah, jumlah lulusan jenjang SD, SMP, dan SMA, semestinya calon peserta langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah. Peserta jangan disuruh rebutan bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalan mencapai 60 persen di tingkat SMP dan 70 persen di tingkat SMA.
Baca juga: Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru Masih Akan Berlanjut
Selanjutnya, PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Pemerintah harus harus melibatkan sekolah swasta karena daya tampung sekolah negeri yang terbatas.
”Penerapan ini mensyaratkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap unggulan,” ujar Ubaid.