Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru Masih Akan Berlanjut
Persaingan ketat terus terjadi dalam sistem penerimaan peserta didik baru atau PPDB. Upaya pemenuhan hak atas pendidikan bagi semua perlu diutamakan daripada sibuk mengutak-atik teknis seleksi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Para orangtua calon siswa dan calon siswa yang menghadapi kendala saat mendaftar sekolah mendatangi Posko Pelayanan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta Timur di SMKN 26 Rawamangun, Senin (13/6/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kekisruhan penerimaan peserta didik baru atau PPDB dengan sistem zonasi sepanjang 2022 tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Keterbatasan daya tampung sekolah, khususnya negeri, dianggap menjadi pemicu utama kekisruhan penerimaan peserta didik baru setiap tahun.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memprediksi kekisruhan masih akan terjadi karena permasalahan di hulu, yakni pemerataan kualitas sekolah belum tuntas. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, tujuan PPDB untuk memeratakan pendidikan dan tidak ada lagi label sekolah favorit justru kontradiktif dengan kenyataan di daerah. Saat ini masih marak pelabelan pada sekolah favorit ataupun sekolah penggerak.
Karena itu, bukan salah orangtua jika mereka masih berorientasi menyekolahkan anak mereka ke sekolah favorit ketimbang memilih sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah, tetapi kualitasnya kurang baik. ”Istilah sekarang mungkin berganti dari sekolah favorit menjadi sekolah penggerak. Namun, bagi orangtua tetap saja mereka ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut,” ucap Ubaid dalam diskusi Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Pendidikan Indonesia 2023, di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Menurut dia, PPDB saat ini masih berbasis pada kesediaan bangku sekolah dan bukan berfokus pada berapa jumlah peserta didik. Akhirnya, yang terjadi jumlah pendaftar lebih banyak dibandingkan dengan daya tampung sekolah negeri.
Padahal, sekolah swasta sudah dapat masuk dalam sistem PPDB sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah. Namun, masalah biaya menjadi penyebab orangtua enggan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Orang tua murid menuju posko pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SD Negeri Pondok Kelapa 01, Jakarta Timur, Senin (7/6/2021).
”Bagi pendaftar yang tidak lolos seleksi PPDB, mereka harus mendaftar ke sekolah swasta. Kajian kami menemukan, sekolah swasta di Jakarta sebenarnya cukup untuk menampung jumlah peserta didik yang membeludak di sekolah negeri. Solusinya, tentu menyediakan anggaran untuk membantu mereka yang tidak mampu secara ekonomi,” katanya.
Hal serupa diungkapkan aktivis Suara Orangtua Peduli, Rahmi Yunita. Menurut dia, jika dilihat per jenjang pendidikan, persaingan PPDB akan semakin sengit karena semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin sedikit jumlah sekolahnya. Jumlah SMP lebih sedikit dibandingkan dengan SD, jumlah SMA lebih sedikit dibandingkan dengan SMP.
Istilah sekarang mungkin berganti dari sekolah favorit menjadi sekolah penggerak. Namun, bagi orangtua tetap saja mereka ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.
Rahmi mengatakan, dari tiga siswa SMP, hanya ada satu siswa yang dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA Negeri di Jakarta. Artinya, dua siswa lainnya harus bersekolah di swasta.
”PPDB harus lebih berfokus pada upaya pemenuhan hak atas pendidikan bagi semua ketimbang mengutak-atik teknis seleksi. Pemerataan kualitas sekolah harus dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitas sekolah dengan parameter yang tidak sempit,” katanya.
HIDAYAT SALAM
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji (tengah), saat diskusi Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Pendidikan Indonesia 2023, di Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Refleksi pendidikan setahun
Lebih lanjut Ubaid menjelaskan, masalah pendidikan tak hanya pada ketersediaan sekolah negeri dan sistem seleksi masuk sekolah. Ada masalah korupsi dana operasional sekolah (BOS), kekerasan di sekolah, dan kurikulum yang belum efektif hingga kualitas guru.
”Korupsi di sekolah akan bertambah marak karena tidak ada perubahan pada tata kelola dana BOS. Apalagi, dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2023, partisipasi masyarakat akan mati seperti komite sekolah sehingga semakin tidak ada yang mengawasi,” ucapnya.
Sementara itu, JPPI mencatat ada 184 kasus kekerasan di sekolah, baik kekerasan seksual, fisik maupun nonfisik, sepanjang tahun 2022. Menurut dia, kekerasan yang terjadi di sekolah tidak hanya tanggung jawab pihak sekolah, tetapi juga pemerintah. Guru harus dibenahi serta dilakukan pendekatan dalam pembelajaran yang ramah anak dan menghilangkan praktik-praktik kekerasan di sekolah.
Siswa kelas V membersihkan ruang kelasnya seusai kegiatan belajar mengajar di SD Negeri Sukabumi Selatan 05, Jakarta Barat, Selasa (5/3/2019). Piket membersihkan kelas yang dilakukan setiap hari secara bergantian tersebut melatih pembentukan karakter siswa, seperti kedisiplinan, tanggung jawab, kerja sama, kepedulian, dan selalu menjaga kebersihan.
Co-Director Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Fitria Villa Sahara menilai, tantangan dunia pendidikan saat ini adalah menanamkan karakter sejak di bangku sekolah. Dalam pendidikan karakter, sangat penting menekankan kesadaran atas kemajemukan bangsa dengan berbagai agama, budaya, etnis, ras, bahasa, dan identitas lainnya.
Tujuannya, menumbuhkan toleransi, kerukunan, dan solidaritas sosial untuk memperkokoh persatuan. ”Semisal ada teman-teman tidak beruntung, maka anak dilatih bahwa ada yang perlu dibantu. Pendidikan itu yang harus dimulai sejak dini,” katanya.