Mendamba Hunian Layak, Menuntut Perwujudan Hak
Hanya 40 persen keluarga di Jakarta yang memiliki akses atas hunian layak. Namun, mendambanya bukan hal yang utopis. Semua warga negara punya hak untuk mendapat hunian layak sebagai bagian dari kebutuhan dasar.
Di tengah keterbatasan lahan permukiman di Ibu Kota, hanya sekitar 40 persen keluarga di Jakarta yang memiliki akses atas hunian layak. Berangkat dari pendekatan hak asasi manusia, semua warga negara seharusnya punya hak untuk mendapat hunian layak sebagai bagian dari kebutuhan dasar. Dibutuhkan terobosan dari pemerintah selaku penyelenggara negara untuk memenuhi hak hidup warga negaranya.
Selama lebih dari empat tahun, harapan warga Kampung Susun Bayam untuk mendapatkan hak atas hunian layak masih terkatung-katung. Digusur pada 2019 lalu, mereka dijanjikan hunian rumah susun (rusun) sebagai tempat tinggal yang memadai, berdampingan dengan Jakarta International Stadium yang megah. Namun, sejak pembangunan rusun Kampung Susun Bayam rampung pada Oktober 2022 lalu, kunci pintu rusun tak kunjung diserahkan kepada warga.
Alasannya, belum ada kesepakatan harga sewa antara warga dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku pengembang yang mematok tarif sewa Rp 565.000-Rp 715.000 per bulan. Warga merasa keberatan. Mereka yang mayoritas bekerja sebagai pemulung, pedagang, dan pekerja harus mengeluarkan separuh pendapatan per bulan untuk biaya sewa tersebut. Padahal, ada kebutuhan hidup dasar lain yang juga menanti untuk dipenuhi.
Sejak setengah tahun lalu, janji untuk menghuni rusun tak kunjung dipenuhi. Warga Kampung Susun Bayam kemudian mendirikan tenda di depan gerbang masuk, menanti terbukanya pintu-pintu rusun. Mereka bahkan tinggal dan beraktivitas di tenda, mulai dari memasak hingga membangun toilet sederhana.
Perundingan masih alot, hingga gerbang pintu masuk rusun yang sebelumnya terkunci rapat perlahan terbuka pada Maret 2023. Calon penghuni dapat masuk ke area pelataran dan taman, tetapi belum dapat menghuni rusunnya. Sementara itu, mereka masih bertahan di rumah indekos, kontrakan, dan tenda sambil berharap pengelola Kampung Susun Bayam dapat memberi harga sesuai dengan kemampuan mereka.
Berlarut-larutnya ketidakjelasan ini membuat Sherli Aplonia (40) resah. Warga Kampung Susun Bayam ini sekarang tinggal di salah satu kontrakan di Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Harga kontrakan yang berisi lima anggota keluarganya hampir dua kali lipat dari biaya sewa Kampung Susun Bayam yang dipatok Jakpro.
”Kalau kayak gini berat banget, belum lagi kebutuhan sekolah anak,” ujar ibu dengan tiga anak itu, Selasa (23/5/2023) siang. Pendapatan keluarga bergantung pada pekerjaan suaminya sebagai anggota staf penjualan di perusahaan otomotif swasta. Sementara ia ibu rumah tangga.
Menurut dia, tidak ada alasan lain yang menghalangi mereka menghuni rusun. Surat keterangan calon penghuni sudah ada dan tiap-tiap keluarga sudah mendapatkan nomor hunian masing-masing.
”Sedari awal kami sudah dijanjikan, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan. Beberapa teman yang sudah tidak memiliki uang karena biaya kontrakan terlalu mahal akhirnya juga menghuni tenda, ada sekitar lima keluarga yang sehari-hari menetap. Tuntutan kami hanya satu, yaitu segera menghuni,” ujarnya.
Penataan kawasan kumuh
Dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 979 Tahun 2022, Kampung Susun Bayam merupakan satu dari 22 kampung kumuh yang akan ditata. Beberapa kampung lain, seperti Gang Lengkong di Cilincing, Jakarta Utara; Pasar Parek di Tamansari, Jakarta Barat; hingga Kebon Sayur di Ciracas, Jakarta Timur; juga menjadi sasaran penataan.
Namun, penataan kawasan kumuh menjadi hunian yang layak bukan hanya hak warga di 22 kampung yang diatur dalam Kepgub Nomor 979 Tahun 2022. Mendapatkan hunian layak merupakan hak hidup semua warga.
Hal ini juga didamba Nia Royani (23). Nia tinggal bersama lima anggota keluarga lain di bantaran rel kereta komuter di Petamburan 5, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menggendong putranya, Azka (1), ia menepi hingga depan pintu rumah warga lain yang jaraknya 1,5 meter dari rel yang dilewati kereta, Selasa (23/5/2023).
Tangannya melindungi dada Azka yang hanya mengenakan kaus dalam dari empasan angin akibat kencangnya laju kereta. Bayi yang tangan dan pipinya memerah karena nyamuk itu mengerutkan dahi, hampir menangis saat 10 gerbong kereta api lewat di hadapannya. Ia masih takut dan belum terbiasa, meskipun suara dan getaran kereta api bisa datang setiap 10 menit sekali.
Lingkungan seperti ini terlalu berbahaya dan tidak ideal untuk tumbuh kembang anak. Namun, keadaan ekonomi membuat Nia tidak banyak pilihan. Suaminya bekerja serabutan, kadang sebagai sopir bajaj dan kadang berjualan minuman keliling. Nia sesekali juga membantu perekonomian keluarga dengan berjualan minuman.
Rumah petak semipermanen yang ia tinggali berukuran sekitar 2 meter x 4 meter. Terdiri atas dua lantai, dindingnya terbuat dari batu bata di lantai 1, sedangkan struktur lantai 2 dari bedeng seperti seng, kayu, tripleks, dan gipsum. Nia harus berbagi ruang ini dengan dua mertuanya. Tidak ada sofa, hanya ada karpet plastik di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur pada malam hari.
Jika ada tawaran tempat tinggal di area lain yang lebih aman, Nia tentu saja mau, dengan pertimbangan harga sewa sesuai kemampuannya. Tidak perlu berbentuk rumah, menurut dia rusun sudah cukup.
”Kondisi di sini tidak aman, harus ekstra mengawasi anak-anak saat bermain. Tinggal di rumah semipermanen juga berbahaya, rentan kebakaran. Maunya tinggal di hunian yang layak, seperti rusun yang nyaman dengan fasilitas main untuk anak,” ujarnya.
Hak hunian layak
Harapan Nia sesungguhnya tidak utopis. Sejak 1991, hak atas hunian layak sudah diatur oleh Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (CESCR) pada General Comment No 4: The Right to Adequate Housing.
Hunian layak yang dimaksud meliputi adanya ruang, penerangan, ventilasi, keamanan, infrastruktur dasar, hingga privasi yang memadai. Indikator lain adalah lokasi yang menjangkau tempat kerja dan fasilitas dasar, seperti air dan listrik, dengan biaya terjangkau.
Panduan ini mengatur hak atas hunian layak secara lebih luas yang meliputi hak hidup secara aman, damai, dan bermartabat. Dalam hal ini termasuk perlindungan terhadap penggusuran, pembongkaran paksa, serta penghancuran secara sewenang-wenang.
Sejatinya, hunian juga tidak boleh dijadikan komoditas karena menyebabkan kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi tertentu akan kesulitan mengaksesnya. Hal ini juga yang menjadikan pedoman ini mempertimbangkan hak sosial, ekonomi, hingga budaya. Sekalipun dengan kompleksitas berbeda-beda di berbagai belahan dunia, hak atas hunian layak tetap relevan di semua negara.
Di Indonesia, hak atas hunian layak tersebut sudah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pada Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia juga telah menjamin warga negaranya untuk sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Namun, implementasinya masih jauh panggang dari api.
Baca juga : Kampung Vertikal, Solusi Hunian Murah dan Layak di Jakarta
Permasalahan Jakarta
Di Jakarta, permasalahan akses atas hunian layak tidak hanya terjadi pada masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga pekerja kelas menengah. Keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lahan yang semakin mahal serta kesulitan masyarakat untuk mendapatkan fasilitas kredit menjadi salah satu penyebabnya.
Dalam Rencana Pembangunan Daerah DKI Jakarta 2023-2026, pada 2021 proporsi keluarga yang mampu mengakses hunian layak hanya 40 persen. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya, yaitu 33,18 persen.
Beberapa cara yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan hunian layak ialah melalui tata kelola rusunawa dan rusunami dan fasilitas kepemilikan rumah dengan skema DP nol rupiah. Selain itu, peningkatan kualitas utilitas pada kawasan kumuh, pelaksanaan reforma agraria perkotaan, dan penerapan konsolidasi tanah vertikal.
Meskipun begitu, Pemprov DKI Jakarta menerapkan target tidak terlalu besar dalam hal peningkatan akses atas hunian layak. Berdasarkan Rencana Strategis Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) 2023-2026, persentase akses terhadap hunian layak ditargetkan hanya bertambah 0,9 persen. Artinya, hingga 2026 proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap hunian layak menjadi 40,9 persen. Jumlah ini tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan upaya pengurangan RW kumuh.
DKI Jakarta menargetkan hanya 2,26 persen wilayah pada 2026 yang masuk kategori kumuh dari 11,29 persen wilayah pada 2022. Tepatnya terdapat 74,77 kilometer (km) persegi dari total 662,33 km persegi wilayah DKI yang tergolong kumuh pada 2022. Dari luasan ini, Pemprov DKI masih punya pekerjaan rumah untuk menata 225 RW kumuh, setelah rampung menata 220 RW kumuh pada periode 2017-2022 lalu.
Kebutuhan mendesak
Pemenuhan hak atas hunian layak merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menjelaskan, pemenuhan hak atas hunian layak bukan hanya dijawab dengan program jangka panjang. ”Harus dilihat sebagai masalah penting yang perlu segera diselesaikan tanpa penundaan,” katanya dalam diskusi daring, Jumat (19/5/2023).
Baginya, penting mendudukkan kembali hak hunian layak sebagai hak dan kebutuhan dasar, sejajar dengan kebutuhan akan sandang dan papan. Tidak hanya itu, negara juga berkewajiban menjamin dan memenuhi hunian layak warga negaranya karena merupakan hak asasi manusia (HAM). Ada tiga kewajiban negara, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.
Pertama, menghormati hak warga negara atas hunian layak meliputi perencanaan atau kebijakan yang tidak merugikan. Kedua, melindungi hak atas hunian layak dapat dilakukan dengan menjaga dari ancaman pihak ketiga, misalnya mengatur agar harga tidak terlampau tinggi serta menyusun kebijakan untuk pihak swasta, pengembang, perbankan, dan tuan rumah yang bertujuan melindungi penyewa. Ketiga, memenuhi hak atas hunian layak dilakukan negara melalui kebijakan seperti alokasi anggaran, pembiayaan, hingga mekanisme peradilan untuk ganti rugi ketika terjadi sengketa.
”Hal-hal ini dilakukan demi terpenuhinya hak atas hunian layak, misalnya pencegahan tunawisma. Tidak melulu tentang pembangunan rumah, bentuk perlindungannya dapat melalui penyediaan rumah susun, fasilitas akses, serta bantuan perumahan,” katanya.
Beberapa indikator kelayakan hunian meliputi keamanan bermukim, seperti terhindar dari ancaman gentrifikasi dan pemindahan paksa; kelayakan infrastruktur, seperti tersedianya ruang dan bangunan yang cukup; aksesibilitas untuk semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas dan kelompok rentan; hingga keterjangkauan, baik biaya sewa maupun akses terhadap fasilitas umum lain.
Di sisi lain, ketersediaan fasilitas dasar, seperti air dan listrik, menjadi indikator kelayakan rumah, termasuk lokasi yang tidak tercemar. Kecukupan budaya juga menjadi indikator kelayakan tempat tinggal.
Hak atas hunian layak memang kompleks. Namun, sebagai hak dasar, hak atas hunian layak mendesak untuk dipenuhi. Selain untuk menciptakan tempat tinggal yang aman dan nyaman, pemenuhan hak ini juga merupakan upaya mewujudkan kehidupan bermartabat. Kini, tinggal bagaimana pemenuhan hak ini diatur dan diimplementasikan oleh negara.
Baca juga : Jabodetabek Masih Kekurangan 2,9 Juta Rumah