Pada 2020, Jabodetabek minus 3.011.806 unit hunian. Tahun berikutnya, ada pasokan 78.567 unit rumah baru yang berarti baru sedikit mengikis angka kekurangan rumah.
Oleh
AGUIDO ADRI, STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pembelian hunian vertikal di beberapa lokasi di Jakarta dan sekitarnya yang berakhir merugikan konsumen salah satunya terjadi karena minimnya akses warga berpenghasilan rendah menggapai hunian murah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kekurangan rumah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi masih tinggi. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang diperoleh dari laporan tim Housing dan Real Estate Information System (HREIS) menyebutkan, kekurangan kebutuhan berdasarkan kepemilikan rumah atau backlog di Jabodetabek sebanyak 2.933.239 unit.
Rinciannya, backlog kepemilikan rumah Jakarta 1.388.743 unit, Bodebek (1.086.363 unit), dan Tangerang (458.133 unit). Angka backlog rumah di Jabodetabek selama 2021 berkurang 78.567 unit dari angka backlog rumah pada 2020 yang saat itu sebanyak 3.011.806 unit.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Direktorat Jenderal Perumahan PUPR Fitrah Nur mengatakan, penurunan backlog rumah di Jabodetabek terjadi karena sebagian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) membeli rumah di luar Jabodetabek. Meski pembelian rumah oleh MBR bergeser ke luar Jabodetabek, pembangunan hunian vertikal dan tapak di Jabodetabek terus meningkat.
”Memperlihatkan bahwa sebagian rumah yang dibangun, termasuk apartemen oleh bukan MBR, adalah mereka yang melakukan investasi untuk tujuan disewakan. Pada sisi lain, ketika ada tawaran rumah atau apartemen murah seperti di Meikarta dan Cimanggis City, masyarakat (termasuk MBR) berusaha keras membelinya,” kata Fitrah, melalui jawaban tertulis, Kamis (9/2/2023) di Jakarta.
Minimnya akses MBR dalam mencari rumah di Jabodetabek juga terekam dari data rumah.com. Dari data situs rumah.com, tren pencarian rumah selama dua tahun terakhir, khusus untuk kelas menengah dengan harga rumah berkisar Rp 1,5 miliar-Rp 4 miliar, cenderung meningkat.
Pencarian rumah untuk kalangan ini naik dari 23 persen pada 2020 menjadi 32 persen pada 2022. Pencarian rumah untuk kalangan menengah ke bawah atau rumah dengan kisaran harga di bawah Rp 750 juta menurun dari 42 persen pada 2020 menjadi 29 persen pada 2022.
Perlindungan konsumen
Terkait adanya sejumlah kasus pembangunan hunian mangkrak yang dilakukan pengembang, termasuk di Meikarta di Kabupaten Bekasi dan Cimanggis City di Kota Depok, Jawa Barat, Kementerian PUPR menyatakan turut prihatin.
Pemerintah sudah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mengawasi pengembang perumahaan. Namun, sejumlah regulasi itu belum terlaksana karena di tingkat daerah masih banyak pemerintah daerah yang belum memiliki aturan pelaksanaan.
”Kami selalu mendorong pemerintah daerah melalui sosialisasi, bimbingan, dan bantuan teknis untuk melengkapi peraturan pelaksanaan dari undang-undang atau peraturan pemerintah. Peraturan pelaksanaan (yang dibutuhkan) itu berupa peraturan daerah,” katanya.
Upaya perlindungan konsumen dan pengawasan terhadap pengembang yang membangun hunian vertikal dan tapak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun. Namun, dalam pelaksanaannya, belum semua daerah memiliki aturan pelaksanaan untuk menjalankan dua regulasi tersebut.
”Beberapa pemerintah daerah masih gamang menerapkan berbagai peraturan tersebut karena belum lengkapnya peraturan pelaksanaan di daerah. Akibat aturan pelaksanaan tidak berbentuk, sulit dipaksakan pelaksanaannya oleh satuan polisi pamong praja,” ucapnya.
Daerah yang disebut telah memiliki peraturan daerah untuk mengawasi pembangunan hunian dan memberi kepastian hukum bagi konsumen salah satunya, yakni DKI Jakarta. Di daerah lain, saat ini sudah mulai terbentuk kelompok kerja perumahan dan kawasan permukiman.
Kasus pembangunan hunian mangkrak oleh pengembang masif terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), aduan konsumen terkait masalah perumahan termasuk salah satu aduan tertinggi. Dalam kurun waktu lima tahun atau dari 2017 sampai 6 Januari 2023, aduan perumahan sebanyak 3.034 kasus.
Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), komoditas pengaduan perumahan lima tahun terakhir dengan persentase cukup tinggi terjadi pada 2018 dan 2021, yakni 14 persen dan 11,40 persen. Catatan YLKI pada 2021, aduan konsumen perumahan didominasi aduan pembangunan perumahan mangkrak sebanyak 37 persen.
Nanti dengan skema penjaminan, seharusnya masyarakat ada kepastian saat dia cicil, meski rumahnya belum selesai, dia ada kepastian. Ada semacam completion guarantee.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna mengatakan, masyarakat berhak atas hunian layak sesuai mandat Undang-Undang Dasar 1945.
Ia menilai kasus perselisihan antara konsumen dan pengembang, salah satunya Meikarta, terjadi karena tidak ada skema penjaminan pembiayaan antara pengembang dan konsumen.
Direktorat Jenderal Pembiayaan tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan membuat skema penjaminan pembiayaan perumahan untuk hunian yang belum selesai dikerjakan. Skema ini diharapkan memiliki jaminan hunian yang dibeli akan selesai.
”Nanti dengan skema penjaminan, seharusnya masyarakat ada kepastian saat dia cicil, meski rumahnya belum selesai, dia ada kepastian. Ada semacam completion guarantee,” ujarnya, Rabu (1/2/2023).