Kampung Vertikal, Solusi Hunian Murah dan Layak di Jakarta
Kehadiran hunian yang layak dan terjangkau bisa dimulai melalui pembangunan permukiman vertikal di perkampungan Jakarta. Hal ini juga dapat menjadi solusi menghadirkan hunian terjangkau di tengah mahalnya harga tanah.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sulitnya menghadirkan hunian yang layak dan terjangkau salah satunya disebabkan mahalnya harga tanah di Jakarta. Meskipun begitu, pemerintah dapat mengoptimalkan lahan di perkampungan dekat pusat kota melalui hak penggunaan lahan sehingga dapat membangun rumah susun di sana, atau disebut vertikalisasi. Solusi ini dinilai lebih hemat ketimbang merelokasi warga menuju rumah susun di lokasi yang jauh dari pusat kota.
Adanya rumah susun di perkampungan dinilai efektif membantu memberikan hunian layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hunian murah ini juga menguntungkan masyarakat karena berada dekat pusat kota.
Mengutip laman resmi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mahalnya harga tanah membuat 57 persen warga perkotaan memilih menempati permukiman kumuh dekat tempat kerjanya. Selain itu, pemerintah hanya mampu memenuhi 30 persen dari total anggaran penyelenggaraan infrastruktur perumahan.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto menjelaskan, tingginya harga tanah di Jakarta, khususnya pusat kota, seperti Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, membuat pemerintah harus mencari solusi yang efektif dalam membangun hunian yang terjangkau dan layak. Ia menambahkan, harga tanah di Jakarta tetap naik meski dari permintaan tidak.
”Secara umum konsepnya, kan, harga tanah semakin mahal kalau ada permintaan yang naik. Ini permintaan tidak naik, harga tanah tetap naik, perlu ada intervensi kebijakan kalau mau harga tanah tidak mahal,” ujarnya pada Senin (17/10/2022).
Mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37/2019 tentang Nilai Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, harga tanah di pusat kota, seperti Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, memang menjadi yang termahal dibandingkan wilayah kota administratif Jakarta lainnya.
Di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah berkisar di harga Rp 59 juta hingga Rp 109 juta per meter persegi. Berbanding jauh dengan NJOP tanah di Jakarta Timur, yang berkisar Rp 2,9 juta hingga Rp 11 juta per meter persegi.
Berkaca pada keadaan tersebut, sulit bagi Pemprov DKI untuk mendirikan hunian terjangkau di pusat kota. Ia menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan daerah perkampungan, dengan membangun rumah susun tepat di kawasan tersebut ketimbang membangun di pinggiran Jakarta. Hal ini bisa menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, yaitu perkampungan kumuh dan mengatasi mahalnya harga tanah di tengah kota.
”Banyak kawasan perkampungan di Jakarta, lokasinya juga di dekat pusat kota, pemerintah provinsi bisa meminta ke Badan Pertanahan Nasional untuk mendapatkan HPL (hak penggunaan lahan). Pemerintah butuh kemauan yang kuat dan sinergi dengan sejumlah instansi untuk bisa menjalankan ini,” ucapnya.
Kehadiran hunian vertikal tersebut dapat membantu masyarakat yang sebelumnya hidup di kawasan kumuh mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik. Selain itu, rumah susun bisa digunakan pekerja yang dahulu tinggal jauh dari pusat kota untuk mendapatkan tempat yang lebih dekat dengan tempatnya bekerja.
Pemerintah bisa mengurus HPL di perkampungan agar bisa mendirikan hunian vertikal yang layak dan terjangkau.
Ia menambahkan, solusi relokasi yang diambil pemerintah juga berdampak buruk karena masyarakat berpenghasilan rendah harus mencari pekerjaan baru. Akibatnya, meski telah direlokasi, ada saja warga yang kembali ke tempatnya semula.
”Kalau mereka dipindahkan ke tempat yang jauh, kemungkinan akan kembali lagi karena jauh dari tempat pekerjaanya, ini berpotensi menjadi perkampungan kumuh lagi nantinya,” ucapnya.
Meskipun begitu, Wendy mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk menghadirkan hunian layak dan terjangkau, dengan mengembangkan konsep permukiman yang berdekatan dengan transportasi publik.
Mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2022, pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk pengembang yang membangun hunian vertikal di dekat fasilitas transportasi umum. Dalam aturan dijelaskan, semakin dekat sebuah hunian vertikal dengan fasilitas transportasi, semakin besar Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang bisa dibangun.
KLB merupakan satuan nilai untuk menentukan luas lantai yang dapat dibangun dalam suatu bidang tanah tertentu. Dengan adanya KLB, pengembang dapat menghitung jumlah lantai yang bisa dibangun sesuai aturan berlaku. Semakin tinggi KLB, semakin banyak pula jumlah lantai yang bisa dibangun.
Warga kembali
Relokasi warga dari perkampungan di Jakarta beberapa kali dilakukan oleh pemerintah, salah satunya saat revitalisasi Ciliwung di kawasan Bukit Duri dan Kampung Pulo. Akibat revitalisasi tersebut, warga yang tergusur harus pindah ke rumah susun yang disediakan pemerintah, seperti ke Rusun Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur.
Wahyo (50), yang digusur tahun 2018, kini kembali ke Bukit Duri, meski sudah diberikan satu unit rumah susun di Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur. Ia menyebut alasannya kembali karena tidak memiliki pekerjaan di sana. Apalagi jarak warung miliknya di Bukit Duri, Jakarta Selatan, ke Rawa Bebek, Jakarta Timur, berkisar 25 kilometer.
”Sekarang rumahnya ditempatin sama anak dan adik saya, saya kembali lagi bangun rumah di sini (di dekat tanggul Kali Ciliwung Bukit Duri) karena kerjaan memang ada di sini,” ucapnya.
Mahmudin (68), warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menjelaskan, apabila rumahnya terkena relokasi akibat penataan perkampungan, ia berharap agar tidak dipindahkan ke tempat yang jauh. Pria, yang bekerja sebagai penjual ayam ini, menjelaskan, akan sulit bagi dirinya yang sudah lanjut usia mendapatkan pekerjaan baru di tempat yang baru.
”Kalau kami dipindahkan, semoga ada bantuan pekerjaan ataupun subsidi harga sewa rusun,” ujarnya.