Peran Pemerintah dalam Mitigasi Bencana Perkotaan (6)
Bagaimana peran negara dan pemimpin kota mengorkestrasi penanggulangan bencana dan mitigasi untuk meminimalkan akibat buruk di masa depan? Berikut petikan wawancara dengan Menteri ATR/BPN, Ketua Apeksi, dan Bappenas.
Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona rawan gempa dari ujung Sumatera sampai Papua. Juga ada potensi tanah longsor, letusan gunung api, tsunami, banjir, dan lainnya.
Di samping itu, Indonesia memiliki potensi bahaya ikutan sangat tinggi. Potensi bahaya ikutan ini sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase kecil bangunan tahan bencana, dan jumlah industri berbahaya.
Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi bencana lebih tinggi atau lebih berdampak buruk dibandingkan di kawasan non-perkotaan.
Potensi bencana perkotaan yang sangat tinggi tersebut diperparah oleh fakta bahwa saat ini kawasan urban di Indonesia tengah berkembang pesat. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana peran negara dan para pemimpin kota mengorkestrasi penanggulangan bencana ataupun mitigasi untuk meminimalkan akibat buruk di masa depan.
Berikut petikan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto, Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia Bima Arya Sugiarto, dan Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Uke Mohammad Hussein.
”Kasus bencana yang terjadi akhir-akhir ini selalu menjadi atensi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, baik natural disaster (bencana alam) maupun human caused disaster (bencana yang disebabkan manusia),” kata Hadi Tjahjanto, Selasa (9/5/2023), dalam keterangan tertulis.
Dalam penyusunan rencana tata ruang, aspek kebencanaan menjadi salah satu aspek dominan dalam penyusunan rencana tata ruang, baik yang berskala umum (RTRW) maupun berskala rinci (RDTR). Aspek kebencanaan itu, kata Hadi, bersumber dari data kebencanaan yang wali datanya berasal dari berbagai instansi terkait. Rencana tata ruang dilakukan dengan mengagregasi dan menyinkronkan berbagai kepentingan pembangunan, baik aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Dalam perencanaan tata ruang perkotaan, aspek kebencanaan menjadi faktor penentu, baik dalam penentuan struktur ruang, yaitu lokasi pusat-pusat kegiatan, maupun aksesibilitas antarpusat kegiatan yang terhindar atau minim dari dampak potensi bencana yang terjadi. Hal itu juga mendasari langkah mitigasi jika bencana terjadi, seperti rencana akses evakuasi dan saluran irigasi. Kemudian rencana pola ruang untuk menentukan lokasi-lokasi yang aman atau tidak aman sebagai lokasi permukiman.
”Kementerian ATR/BPN berperan menelurkan kebijakan untuk memitigasi agar wilayah kota tidak semakin penuh sesak dan rentan terhadap bencana akibat ulah manusia, seperti banjir karena sampah dan kebakaran, rencana tata ruang juga diarahkan ke wilayah suburban ataupun rural sehingga terjadi penyebaran kegiatan aktivitas ekonomi yang tidak berpusat di kota saja,” kata Hadi.
Terakhir yang tak kalah penting, ia menegaskan, pihaknya memiliki andil dalam pengendalian pemanfaatan ruang, yaitu tindakan preventif dan represif dalam rangka penegakan hukum tata ruang agar kegiatan-kegiatan pemanfaatan ruang hanya dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. ”Dalam konteks pengendalian pemanfaatan ruang ini, termasuk pemberlakuan insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang,” katanya.
Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Kami akan rakernas pada Juli ini. Ini momentum yang baik untuk mengingatkan kepala daerah memasuki musim hujan pada Oktober agar mengonsolidasikan dan koordinasikan penanganan bencana. Saya akan mengangkat itu.
Ungkit peran Apeksi
Pentingnya tata ruang terintegrasi antarkawasan untuk mengendalikan dampak bencana, terutama untuk kawasan aglomerasi seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur), diakui pula oleh Bima Arya Sugiarto.
Bima, yang juga Wali Kota Bogor, Jawa Barat, itu, di sisi lain mengakui lemahnya kerja sama lintas daerah dalam mitigasi bencana, bahkan di perkotaan padat seperti Jabodetabekpunjur. Pemerintah kota pun belum memberi perhatian khusus pada isu penting bencana perkotaan.
”Dalam penanganan tidak dibicarakan ke forum Apeksi, lebih ke forum regional atau kewilayahan saja, tidak dalam konteks Apeksi. Saya harus jujur di Apeksi masih mengutamakan advokasi kebijakan, tata kelola pemerintah, keuangan, otonomi,” ujarnya, Rabu (10/5/2023).
Namun, bencana di perkotaan yang terus meningkat mau tidak mau memaksa pemerintah kota untuk lebih peduli. ”Kami akan rakernas pada Juli ini. Ini momentum yang baik untuk mengingatkan kepala daerah memasuki musim hujan pada Oktober agar mengonsolidasikan dan koordinasikan penanganan bencana. Saya akan mengangkat itu,” kata Bima.
Langkah awal yang perlu segera dilakukan, menurut Bima, setiap daerah penting untuk memiliki peta bencana. Selanjutnya, mengintegrasikan peta bencana dengan perencanaan ruang. ”Ini harus matang mana daerah hitam dan merah. Mana yang bisa direlokasi, mana wilayahnya, dan dari mana penganggarannya,” ujarnya.
Selanjutnya edukasi. Kota Bogor, misalnya, baru berhasil memetakan kawasan rawan bencana. Beberapa di daerah hitam sudah direlokasi. Namun, ini butuh konsistensi aparatur wilayah. Dari pemimpin kota sampai camat dan lurah harus menguasai peta rawan bencana agar ikut mengedukasi, melakukan pendekatan, dan komunikasi kepada warga. Camat dan lurah memastikan tidak ada pembangunan dan warga tinggal di area rawan bencana.
Baca juga: Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan
Pemimpin daerah dan jajarannya wajib disiplin dalam menerapkan tata ruang. Daerah yang terpetakan zona hitam tidak bisa ada pembangunan. Tantangannya kewenangan pemerintah daerah terbatas. Kerja sama antardaerah dan dengan pemerintah pusat belum harmonis.
”(Namun) Enggak bisa saling menyalahkan. Saat banjir, misalnya, yang disalahkan daerah hulu. Pertanyaan apakah di hulu dibantu? Dalam konteks Jabodetabekpunjur, tidak bisa parsial fokus pada satu kota saja, tetapi melihat luas satu kawasan aglomerasi ini. Jika ada kewenangan khusus atau ada kementerian khusus di Jabodetabek, di situlah urusan koordinasi bencana ini bisa dilakukan,” kata Bima.
Peran Bappenas
Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Kementerian PPN/Bappenas Uke Mohammad Hussein dalam perbincangan via aplikasi Zoom, Sabtu (13/5/2023), menegaskan, dari sisi perencanaan pembangunan, tugas dan peran yang melekat utamanya tak lepas dari perencanaan dan pengendalian perkotaan.
”Perbaikan perlu terus dilakukan terhadap muatan perencanaan seperti rencana pengadaan program/kegiatan, pemanfaatan, pelayanan, pemeliharaan, dan pengembangan untuk setiap aspek pembangunan di perkotaan yang mencakup rencana trans-sektoral yang terpadu baik dalam program, tahapan, pengelolaan kelembagaan, ataupun pendanaan dan atau pembiayaannya,” katanya
Pada aspek kelembagaan, penyelenggaraan perkotaan yang kolaboratif dilakukan melalui koordinasi dan sinkronisasi, serta pembentukan kelembagaan di tingkat provinsi, kawasan, dan lingkungan masyarakat. Perlu pula memastikan ketersediaan dana, mengurangi kebergantungan perkotaan pada APBN dan APBD, meningkatkan kualitas tata kelola dan belanja daerah, serta meningkatkan kemandirian daerah.
Untuk pengendalian dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memperbaiki perencanaan pada periode berikutnya.
Tanggung jawab antarpemangku kepentingan seyogyanya diatur dalam tata kelola perkotaan, yang bertujuan untuk terwujudnya pembangunan dan pelayanan perkotaan secara efektif, efisien, inovatif, dan cerdas. RUU Perkotaan yang sedang dibahas salah satunya mengedepankan kolaborasi antar pemangku kepentingan dari sisi pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat yang dilaksanakan melalui pengaturan mengenai kedudukan (hak dan kewajiban) dan peran serta (rincian cukup banyak dan detil dapat dilihat pada lampiran).
Dari aspek perencanaan pembangunan nasional, Bappenas memiliki tugas untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi dan perumusan kebijakan, sinkronisasi pelaksanaan kebijakan, serta kegiatan pemantauan, evaluasi, serta pengendalian.
Perbaikan perlu terus dilakukan terhadap muatan perencanaan seperti rencana pengadaan program/kegiatan, pemanfaatan, pelayanan, pemeliharaan, dan pengembangan untuk setiap aspek pembangunan di perkotaan yang mencakup rencana trans-sektoral yang terpadu baik dalam program, tahapan, pengelolaan kelembagaan, ataupun pendanaan dan atau pembiayaannya.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan perkotaan yang aman dan nyaman, Bappenas telah menyusun Kebijakan Perkotaan Nasional 2045 di mana salah satu misinya yaitu mendorong perkotaan yang hijau dan tangguh. Dalam hal ini, salah satu indikatornya yaitu melalui peningkatan ketangguhan kota terhadap perubahan iklim dan risiko bencana.
Selain itu, melalui Permendagri Nomor 101 Tahun 2018 mengenai SPM Sub-Urusan Bencana, pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Selanjutnya, dokumen KRB dan RPB digunakan sebagai salah satu dasar oleh pemerintah daerah dalam menyusun dokumen rencana pembangunan daerah.
Selanjutnya melalui forum-forum perencanaan pembangunan nasional seperti Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Pusat-Daerah dan Musrenbangnas, Bappenas melakukan fungsi koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah guna memastikan arah dan kebijakan pembangunan nasional, termasuk kebijakan penanggulangan bencana, turut terakomodir dan selaras dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dalam hal ini termuat dalam Dokumen RPJMD dan RKPD.
Terkait regulasi untuk penanggulangan bencana perkotaan yang amat kompleks, yaitu UU No 24/2007 yang diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di semua fase bencana (pra, tanggap darurat, dan pacabencana). Di samping itu, melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020–2044 telah dirumuskan arahan jangka panjang yang menjadi pedoman dalam penyusunan dokumen perencanaan khususnya di bidang penanggulangan bencana baik pusat maupun daerah.
Secara spesifik payung hukum, ada empat hal penting mitigasi bencana dan tanggap darurat. Pertama, tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis ancaman bencana. Kedua, sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam menghadapi bencana. Ketiga, peningkatan pengetahuan akan apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta cara penyelamatan diri jika bencana timbul. Keempat, pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana (tata ruang).
Komitmen mitigasi bencana diwujudkan melalui program-program mitigasi fisik/struktural maupun non-struktural di sejumlah daerah di Indonesia. Program-program dari rencana penanggulangan bencana yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan yang nantinya dilegalkan dalam Peraturan Presiden.
Baca juga: Bencana Hidrometeorologi