Pekerjaan Rumah Pemkab Bekasi Tuntaskan 37 Masalah Sampah TPA Burangkeng
Sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi minimal harus menggunakan sistem ”control landfil” atau secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pembebasan lahan untuk perluasan Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Burangkeng sudah dimulai Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pembebasan lahan itu untuk menambah daya tampung TPA yang telah kewalahan sejak 2019. Selama TPA itu kelebihan beban, ada 37 persoalan lingkungan hingga kesehatan yang timbul.
Pembebasan lahan tahap pertama dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi di TPA Burangkeng, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, seluas 1,2 hektar. Anggaran yang dibutuhkan untuk membayar ganti rugi kepada warga Rp 30 miliar.
”Tahap pertama ini ada enam bidang yang besar-besar dan posisinya dekat jalan. (Ini) langsung bisa kami manfaatkan untuk penampungan sampah yang sekarang sudah sangat penuh,” kata Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan, di Bekasi, melalui siaran pers, Jumat (14/4/2023).
Dani mengatakan, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2011-2031, luas TPA Burangkeng mencapai 11,5 hektar. Adapun saat ini lahan TPA Burangkeng luasnya baru 8,2 hektar.
Pemerintah Kabupaten Bekasi menargetkan membebaskan lahan TPA Burangkeng hingga 2,5 hektar. Namun, dari perhitungan Kantor Jasa Penilai Publik, anggaran yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan TPA Burangkeng tidak mencukupi.
Pembebasan lahan untuk perluasan TPA Burangkeng juga hanya solusi jangka pendek. Pemerintah daerah sedang melakukan kajian untuk menentukan penerapan teknologi pengelolaan sampah yang tepat di TPA Burangkeng.
”Nanti hanya residu kecil yang dibuang ke sini. Kami masih harus membebaskan sekitar 5 hektar lahan di sekitar TPA untuk membangun infrastruktur teknologi ini,” tutur Dani.
TPA Burangkeng sudah kelebihan muatan sejak awal 2019. Tumpukan sampah di TPA itu kerap longsor dan hanyut hingga ke aliran sungai.
”Dari kajian cepat Koalisi Persampahan Nasional, Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI), serta Persatuan Remaja Burangkeng ditemukan 37 masalah. Ini kajian kami pada 2019,” kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto saat dihubungi pada Jumat sore.
Dari 37 masalah itu, beberapa di antaranya adalah pengelolaan TPA Burangkeng masih menggunakan sistem open dumping atau sampah dibuang begitu saja tanpa perlakuan apa pun. TPA itu juga tidak memiliki instalasi pengelolaan air sampah (IPAS) permanen yang berfungsi 24 jam. Sistem itu disebut sebagai pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
”IPAS yang tidak permanen itu, tahun lalu (2022) tertimbun sampah karena sering longsor. Akibatnya, air sampah itu langsung ke Sungai Burangkeng dan mencemari sawah dan pekarangan warga,” ucap Bagong.
Letak geografis Kabupaten Bekasi yang dekat Jakarta dan masuk sebagai bagian dari Kota Metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa mengharuskan sistem pengelolaan sampah di TPA sudah lebih modern. Sistem pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi minimal harus menggunakan sistem control landfil atau secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan.
Tempat sampah liar
Bagong mengatakan, kelebihan beban TPA Burangkeng juga jadi pemicu munculnya 81-115 titik pembuangan sampah liar di beragam tempat di wilayah Kabupaten Bekasi. Tempat-tempat sampah itu muncul lantaran tidak semua sampah yang diproduksi di daerah itu setiap hari terangkut ke TPA Burangkeng.
Dari data yang dihimpun Koalisi Persampahan Nasional, produksi sampah di Kabupaten Bekasi setiap hari mencapai 2.900 ton. Dari jumah itu, sampah yang terangkut ke TPA Burangkeng hanya sekitar 45 persen dari 2.900 ton tersebut.
”Salah satu masalah yang serius itu tidak ada pengelolaan sampah secara masif sejak dari sumber sampai ke TPA. Maka dari itu, sampahnya bertambah terus,” ucapnya.
Dari beragam persoalan itu, Bagong menilai, perluasan lahan di TPA Burangkeng hanya bersifat sementara dan tak mampu menyelesaikan masalah persampahan di daerah itu. TPA Burangkeng masih membutuhkan lahan seluas puluhan hektar untuk membangun infrastruktur atau fasilitas pengelolaan sampah.
”Jadi, prioritas penambahan lahan itu untuk membangun (masterplan) pengelolaan sampah dengan menerapkan beragam teknologi,” ujarnya.
Secara umum, di Indonesia, pemerintah telah menargetkan tidak ada penambahan TPA baru mulai 2030. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, pemerintah menargetkan tidak ada lagi pembangunan TPA mulai 2030. Tujuannya untuk mengurangi polusi gas metana yang menyebabkan emisi gas rumah kaca.
Pemerintah akan terus menambah TPA yang dapat mengimplementasikan metode pengelolaan sanitary landfill atau pengelolaan sampah dengan cara menimbun dan menutup sampah pada cekungan yang besar serta memanfaatkan gas metana pada 2025. Penimbunan terbuka sampah telah menghasilkan gas metana sebagai gas rumah kaca yang lebih berbahaya ketimbang karbon dioksida.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan budaya mengelola sampah secara mandiri juga terus dilakukan. Pemilahan sampah di tingkat rumah tangga dibutuhkan karena separuh dari total sampah di Indonesia didominasi oleh sampah organik.
”Pengelolaan sampah itu dengan dua cara, yakni pengurangan dari sumber atau pendekatan hulu dan penanganan sampah. Upaya pendekatan dari sumber ini akan terus dimaksimalkan karena di negara maju, seperti Denmark, TPA hanya menampung 6 persen sampah dan sisanya dikelola. Seharusnya Indonesia bisa melakukan hal serupa,” ucapnya (Kompas.id, 1/2/2023).