Kepala Dishub DKI: Belum Ada Wacana Penyesuaian Tarif Transjakarta
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyatakan belum ada wacana penyesuaian tarif Transjakarta. Rencana ini merupakan usulan Dewan Transportasi Kota Jakarta.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan belum ada rencana kenaikan tarif Transjakarta. Sebagian masyarakat menolak usulan itu, tetapi ada pula yang mendukung lantaran telah bertahun-tahun tarifnya tak pernah berubah.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menyebut bahwa belum ada wacana kenaikan tarif Transjakarta. Sejauh ini gagasan penyesuaian harga layanan bersumber dari usulan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ).
”Belum ada wacana terkait kenaikan tarif Transjakarta,” ujar Syafrin secara tertulis saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Syafrin melampirkan surat berisi rekomendasi penyesuaian tarif oleh DTKJ yang tertulis pada 27 Maret 2023. Pihak DTKJ mengajukan surat kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang berisi usulan penyesuaian tarif Transjakarta bersubsidi. Alasannya, harga layanan belum pernah mengalami peninjauan dan penyesuaian sejak ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 1912 Tahun 2005. Selain itu, perubahan harga dapat dilakukan setelah pandemi Covid-19 usai.
Seiring membaiknya kondisi pandemi Covid-19 menuju endemi, DTKJ akhirnya kembali merekomendasikan penyesuaian tarif Transjakarta dengan sejumlah pertimbangan. Selain soal kehidupan masyarakat setelah pandemi, penyesuaian tarif dinilai perlu disesuaikan pula dengan perkembangan kualitas layanan Transjakarta.
Adanya layanan integrasi tarif Jaklingko antar-penyelenggara transportasi di bawah pemerintah DKI Jakarta (MRT, LRT Jakarta, dan Transjakarta) turut jadi tambahan pertimbangan lain. DTKJ pun merekomendasikan penyesuaian tarif pelanggan berdasarkan waktu pelayanan dan jenis kendaraan.
Dalam suratnya, DTKJ menyebut layanan pada waktu sibuk (07.01-10.00 dan 16.01-21.00), setiap pelanggan diusulkan membayar Rp 5.000 dari sebelumnya Rp 3.500. Di luar jam itu, pihaknya akan menetapkan tarif menjadi Rp 4.000 per pelanggan.
Masyarakat yang sebelumnya tak perlu merogoh kocek sepeser pun ketika menggunakan mikrotrans atau Jaklingko juga akan terdampak penyesuaian tarif. DTKJ mengusulkan agar setiap penumpang dikenai Rp 1.000. Hal serupa juga berlaku bagi tarif integrasi antarmoda Jaklingko Indonesia yang naik jadi Rp 10.000 per pelanggan.
Pihak DTKJ berkomitmen meningkatkan pelayanan dan optimalisasi pendapatan di luar tiket (non-fare box revenue).
Kompas telah berupaya menghubungi Ketua DKTJ Haris Muhammadun. Namun, hingga berita ini ditulis, ia belum merespons pesan yang telah dikirimkan.
Menanggapi hal ini, Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, kenaikan harga memang sesuatu yang alami. Namun, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta dapat mencari terobosan agar tarif tak membebani masyarakat, tetap terasa murah.
”Mahal, tetapi terasa murah, itu yang harusnya dicari jalannya,” kata Piter.
Ia menyarankan agar tiket Transjakarta dijual secara paket (bundling). Skema ini akan memudahkan masyarakat yang sehari-hari menggunakan Transjakarta ketimbang pelanggan yang jarang memakainya. Alhasil, ketika masyarakat menggunakan berulang kali, tarif akan tetap terasa murah. Model semacam ini juga digunakan transportasi umum lain, seperti London, Inggris.
Hitungan saya berkisar 10-25 persen dari income mereka untuk transportasi. Itu besar sekali (Piter Abdullah).
Piter menambahkan, biaya transportasi masyarakat tidak hanya digelontorkan untuk Transjakarta. Untuk menuju halte, mereka masih harus menggunakan transportasi lain, seperti ojek.
Pemda DKI Jakarta semestinya melakukan survei menghitung total yang harus dikeluarkan masyarakat untuk transportasi setiap bulannya. ”Hitungan saya berkisar 10-25 persen dari income mereka untuk transportasi. Itu besar sekali,” kata Piter.
Terobosan harus dicari agar tarif Transjakarta tetap murah agar masyarakat terus memanfaatkan transportasi publik. Apalagi rata-rata pengguna Transjakarta berasal dari kelas menengah-bawah sehingga bantuan ongkos transportasi dinilai dapat mengurangi beban pengeluarannya. Sebab, mereka tak ada pilihan selain memanfaatkan transportasi umum.
Respons pelanggan
Isu kenaikan tarif Transjakarta mendapat beragam respons dari masyarakat sebagai pengguna layanan. Ada yang mendukung, tetapi tak sedikit pula yang menyayangkan jika keputusan ini diambil.
Salah seorang pelanggan bus Transjakarta, Panca (35), setuju apabila harga layanan transportasi umum ini naik. Ia menilai wajar adanya kenaikan tarif lantaran inflasi terjadi setiap tahun. Hal ini tak mengubah keputusannya untuk tetap menggunakan transportasi umum.
Pelanggan lain, Arma (30), setuju jika harga layanan Transjakarta naik menjadi Rp 4.000. Ia menolak jika nominal yang dipatok lebih dari itu. Sebab, banyak pelanggan ke halte bus terdekat masih harus naik ojek dengan ongkos sekitar Rp 15.000 sekali jalan. Alhasil, apabila wacana ini terwujud, pelanggan akan merogoh kocek hampir Rp 40.000 per hari. Hal ini dinilai memberatkan.
”Terlalu berat, ya, menurut saya karena masih harus bayar kos juga,” kata Arma. Ia berencana beralih ke moda transportasi lain, yakni mikrotrans, jika kenaikan tarif Transjakarta terlalu membebaninya.
Hal senada diutarakan pelanggan mikrotrans, Kiki (29). Ia menolak penyesuaian tarif yang dirasa memberatkan. Kiki dapat menggunakan angkot Jaklingko itu hingga delapan kali dalam sehari karena perlu berganti-ganti nomor kendaraan dari daerah Kebun Jeruk hingga Bendungan Hilir. Aktivitas ini bisa bertambah jika ia harus mengantar anaknya melakukan kegiatan lain.
Namun, ia terpaksa mengikuti regulasi yang berlaku ketika penyesuaian tarif diberlakukan lantaran terbatasnya pilihan moda transportasi. ”Aksesnya cuma mikrotrans ini,” ujarnya.