Pembelajaran dari Longsor di Bogor
Bukan tak mungkin pada 2023 ini jumlah bencana dan korban jiwa akan bertambah jika peta bencana di Bogor tidak ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi. Perlu ada audit tata ruang untuk melihat aturan pendirian bangunan.
Masih segar dalam ingatan publik saat bencana longsor mendera Kampung Sirna Sari, Empang, Bogor Selatan, Kota Bogor, Selasa (14/3/2023), sekitar pukul 23.30. Bencana ini mengakibatkan 5 bangunan rusak, 17 orang tertimbun, 11 di antaranya selamat dan 6 lainnya tewas.
Longsor dan tanah ambles yang dipicu hujan deras itu juga berdampak pada 18 keluarga atau 80 jiwa di Kampung Sirnasari. Mereka yang menjadi korban dan terdampak bencana merupakan beberapa dari keluarga yang belum direlokasi atau menolak direlokasi oleh pemerintah.
Lokasi longsor di Kampung Sirnasari merupakan zona hitam atau kawasan bahaya bencana karena berada di lintasan Sungai Cisadane dan di bawah tebing yang tidak memiliki dinding penahan tanah. Pemerintah Kota Bogor sebelumnya merelokasi sekitar 100 keluarga di kawasan tersebut, yang juga digunakan sebagai jalur ganda atau double track Bogor-Sukabumi pada 2020.
Peristiwa bencana yang juga memakan korban jiwa juga terjadi Kampung Curug, Megamendung, Kabupaten Bogor, Senin (20/3/2023) sekitar pukul 12.30. Hujan deras menyebabkan tebing yang mengelilingi lokasi parkir di wisata air terjun Curug Cilember itu longsor sehingga menimbun dua pedagang yang saat itu sedang berteduh. Kawasan sekitar Megamendung itu pun sebenarnya sudah terpetakan menjadi daerah rawan bencana.
Dari dua peristiwa itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota Bogor memutakhirkan data terkait daerah rawan bencana. Berdasarkan data BPBD Kota Bogor, ada 1.001 keluarga di zona hitam dan 2.610 di zona merah. Peta bencana itu meliputi Kecamatan Bogor Selatan berada di Kelurahan Empang, Bondongan, Muarasari, Lawanggintung, Batutulis, Cipaku, Pamoyanan, Pakuan, Rangga Mekar, dan Genteng. Total dari 10 kelurahan itu ada 106 keluarga tinggal di zona hitam. Kelurahan Pamoyanan menjadi wilayah dengan jumlah terbanyak ada 43 keluarga.
BPBD Kota Bogor pada 2022 juga mencatat ada 856 bencana kejadian sehingga mengakibatkan 2.746 orang terdampak, 15 orang meninggal dan 30 lainnya terluka. Dari 856 bencana itu tercatat ada 373 kejadian longsor, 373 tanah amblas, 170 pohon tumbang, 164 bangunan ambruk, 53 angin kencang, 31 kebakaran, 32 banjir, dan 33 kejadian lain. Kejadian bencana pada 2022 meningkat dibanding pada 2021, yaitu ada 701 kejadian dengan empat korban jiwa.
Sementara data BPBD Kabupaten Bogor, dari 40 kecamatan ada sebanyak 24 kecamatan yang masuk kawasan rawan bencana banjir, tanah longsor, tanah bergerak, hingga angin puting beliung. Dari total 24 kecamatan itu, sejumlah kecamatan di kawasan Puncak Bogor-Cianjur dan sekitarnya atau Kabupaten Bogor bagian selatan masuk rawan bencana.
Potensi bencana tidak hanya karena faktor cuaca, tetapi juga dampak dari pembangunan. Adapun wilayah rawan bencana di bagian selatan Kabupaten Bogor itu, antara lain, Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Cigombong, Cijeruk, Ciawi, dan Tamansari.
Di Kecamatan Cijeruk, Megamendung, Cisarua, dan Cigombong, total ada 25 desa masuk kategori rawan bencana longsor yang perlu diwaspadai. Beberapa kawasan itu kondisi geografisnya banyak tebing dan perbukitan.
Pada 2022, Kecamatan Cigombong menjadi lokasi terdampak bencana terbanyak, yaitu 89 titik lokasi. Di lalu di Caringin sebanyak 77 lokasi, Megamendung 63 lokasi, Cijeruk 60, Ciawi 55 lokasi, dan Cisarua 34 lokasi. Secara total ada sebanyak 1.147 titik lokasi yang tersebar di 40 kecamatan dan 307 desa.
Peta risiko bencana tinggi dan sedang bencana perlu disertai sistem mitigasi. Melalui peta bencana yang itu bisa menjadi dasar mitigasi untuk perizinan mendirikan bangunan (IMB) atau terkait tata ruang. (Andy Simarmata)
Sementara total peristiwa bencana sebanyak 564 kejadian. Bencana angin kencang menjadi peristiwa terbanyak, yaitu 192 kejadian. Disusul tanah longsor 176 kejadian, banjir 55 kejadian, pergeseran tanah 34 kejadian, kebakaran 17 kejadian, gempa 10 kejadian, dan bencana lain-lain sebanyak 72 kejadian. Dari peristiwa itu, sebanyak 34 jiwa meninggal, 718 orang mengungsi, dan 56.791 jiwa atau 15.736 keluarga terdampak.
Sementara pada 2021, BPBD kabupaten Bogor mencatat ada 1.283 bencana alam yang tersebar di 320 desa dan kelurahan dengan 74.084 keluarga terdampak, 28 meninggal, serta 19 luka ringan dan berat. Longsor menjadi bencana paling tinggi dengan 513 kejadian. Selanjutnya, angin kencang 449 kejadian, 112 bencana banjir, 56 pergeseran tanah, 27 kebakaran, 20 kekeringan, 2 gempa, dan 104 kejadian lainnya.
Mitigasi
Melihat data itu ditambah ancaman hidrometeorologi hingga perubahan tata ruang lingkungan, bukan tak mungkin pada 2023 ini jumlah bencana dan korban jiwa akan bertambah jika peta bencana di Bogor tidak ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi. Ini tidak hanya di Bogor, tetapi juga daerah lainnya di Indonesia.
Dokumen Asia-Pasific Disaster Report 2021 dan Global Risk Report 2021 menegaskan, kondisi ekologi saat ini menuju ke arah yang jauh lebih rapuh sehingga berpeluang menciptakan banyak bencana tak terduga di masa mendatang. Selama satu dekade terakhir, jumlah bencana yang terdeteksi ternyata makin bertambah. Rata-rata kenaikan bencana tahunan secara nasional sebesar 14 persen.
Ahli Perencanan Wilayah dan Kota, Andy Simarmata menjelaskan, peta risiko bencana tinggi dan sedang bencana perlu disertai sistem mitigasi. Melalui peta bencana yang itu bisa menjadi dasar mitigasi untuk perizinan mendirikan bangunan (IMB) atau terkait tata ruang. Hal ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan ruang tempat tinggal menjadi tinggi. IMB ini hanya salah satu upaya mitigasi yang dalam praktiknya kerap diabaikan.
Suatu daerah yang masuk kategori risiko tinggi bencana bisa saja mendirikan bangunan jika sudah ada penguatan infrastruktur tanah untuk mengurangi risiko dari dampak bencana. Dalam peta bencana di daerah tinggi risiko diatur izin pendirian bangunan. Dari situ seharusnya sudah ada infrastruktur mitigasinya.
Oleh karena itu, menurut Andy, perlu ada audit tata ruang untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran tata ruang atau kesalahan konstruksi karena melanggar aturan bangunan. Hal itu sudah diatur di Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN Nomor 17/2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang. Audit dapat dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang.
”Peta risiko bencana ini sangat penting bagi warga agar saat meminta izin bangun rumah mereka tahu bahwa kawasan itu rawan atau tidak. Masalahnya ada yang bangun, tapi tidak izin IMB. Bukan berarti melalui pemetaan zonasi tinggi dan sedang tidak bisa dibangun. Bisa saja, tapi ada biaya tambahan. Itu siapa yang mau tanggung? Pemerintah, pengembang, atau warga,” ujarnya.
Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Bogor juga banyak kawasan yang sudah ditempati sejak lama dan secara turun-menurun meski daerah itu terpetakan sebagai kawasan rawan bencana. Dari pemetaan, banyak kejadian longsor dan tanah bergerak di Bogor karena topografi dan geografinya yang berbukit ditambah curah hujan yang tinggi.
Dari berbagai faktor itu setidaknya ada tiga opsi penguatan mitigasi. Pertama, relokasi warga ke lingkungan aman. Kedua, pembangunan berkelanjutan atau solusi berbasis alam di kawasan risiko bencana yang telah menjadi permukiman. Pada opsi ini, pemerintah wajib memasang alat seismometer untuk mengukur pergerakan tanah sehingga bisa meminimalkan terjadinya korban.
Selain itu, perlu juga disiapkan saluran air, ruang terbuka hijau, memiliki dinding penahan tanah, hingga material bangunan hunian dari bambu atau kayu. Jika terpaksa menggunakan material semen, harus dipikirkan fondasi tanah serta bangunannya. Banyak dari peristiwa bencana, bangunan hunian justru menjadi faktor penambahan jatuhnya korban.
Dan ketiga, langkah ofensif di daerah risiko harus menjadi kawasan konservasi dan tidak boleh ada hunian. Beberapa kawasan di Puncak Bogor dan sekitarnya yang kerap terjadi longsor perlu langkah ini karena ruang hijau terus digempur pembangunan masif sehingga bisa mengancam warga kapan saja.
”Ekonomi pariwisata atau ekonomi warga sekitar perlu diperhatikan tapi enggak perlu merusak alam. Puncak itu saat jika tak ingin semakin tergerus harus bertransformasi menjadi wisata alam. Artinya, bangunan harus menyesuaikan kondisi, pola, dan perilaku alam. Wajib pasang seismometer,” kata Andy.
Indonesia dikenal sebagai ring of fire atau cicin api. Tidak hanya kerena keberadaan gunung berapi dan jalur patahan gempa, tetapi juga hidrometeorologi yang bisa menyebabkan banjir dan longsor. Belum lagi faktor perubahan iklim sehingga meningkatkan potensi bencana.
Dengan kondisi itu, bencana alam acap kali tak bisa dihindari. Untuk itu, perlu mitigasi bencana agar meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Jatuhnya korban dari beberapa peristiwa bencana tentu menjadi pelajaran yang sangat mahal agar semua pihak belajar dari kondisi alam dan peristiwa lalu.
”Bukan lagi merencanakan pembangunan, tetapi membangun harus terencana dan dipersiapkan dengan baik untuk memimalkan korban. Membangun kota atau wilayah melalui peta risiko bencana dengan mitigasinya. Tidak bisa selalu berpikir pembangunan karena untuk ekonomi rakyat. Harus pula pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan alam,” kata Andy.