Dalam waktu 1-2 hari ini, pemerintah akan memutuskan opsi relokasi yang akan diambil. Apakah memindahkan warga atau menggeser Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, ke lokasi lain.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengkaji dua opsi relokasi sebagai solusi agar tragedi kebakaran Terminal Integrated Bahan Bakar Minyak milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara, yang cukup banyak menelan korban tidak terulang. Opsi ini sempat mengemuka dalam insiden serupa pada 2009, tetapi tidak pernah terealisasi hingga tragedi lebih parah terjadi lagi pada Jumat (3/3/2023) malam.
Saat mengunjungi korban kebakaran Depo Pertamina Plumpang yang mengungsi ke Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Rasela, Jakarta Utara, Minggu (5/3), Presiden Joko Widodo memerintahkan agar segera ditemukan solusi. Ada dua opsi yang bisa diambil, yakni menggeser lokasi depo atau memindahkan penduduk ke tempat relokasi. Prinsipnya, zona berbahaya tidak dapat lagi ditinggali penduduk.
”Terutama karena ini memang zona yang bahaya, tidak bisa lagi ditinggali, tetapi harus ada solusinya. Bisa saja (Depo) Plumpang digeser ke reklamasi atau penduduknya yang digeser, direlokasi,” kata Presiden.
Terkait opsi itu, Presiden telah memerintahkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk segera mencari solusi.
”Semuanya memang harus, zona-zona berbahaya ini—tidak hanya di sini—harus diaudit, harus dievaluasi semuanya karena menyangkut nyawa. Tadi saya sudah perintahkan semuanya mengenai itu,” kata Presiden.
Ketika ditanya kapan tenggat penggeseran atau relokasi, Presiden Jokowi mengatakan, kejelasan solusi mengenai hal itu segera diputuskan dalam satu-dua hari ini oleh Pertamina dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta.
”Memang, zona ini harusnya zona air, entah dibuat sungai, entah dibuat... harus melindungi dari obyek vital yang kita miliki. (Hal ini) karena barang-barang di dalamnya (adalah) barang-barang yang sangat bahaya untuk berdekatan dengan masyarakat, apalagi dengan permukiman penduduk,” tutur Presiden.
Sebelumnya, saat meninjau lokasi kebakaran, Sabtu (4/3), Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, kawasan Depo Pertamina di Plumpang harus ditata kembali. Hal ini termasuk alternatif memindahkan depo ke daerah Pelabuhan Tanjung Priok. ”Saya berharap supaya depo ini lebih aman, itu bisa direlokasi di daerah pelabuhan, di daerah Pelindo,” kata Wapres.
Kejelasan
Sejumlah warga korban kebakaran Depo Pertamina Plumpang mempertimbangkan untuk direlokasi karena tidak punya pilihan tempat tinggal. Di sisi lain, warga menginginkan kejelasan tawaran relokasi tersebut. Mereka khawatir relokasi justru memberatkan mereka.
”Kalau direlokasi ke tempat yang baru mau saja asal tempatnya layak dan cocok. Saya sudah tidak punya pilihan, rumah sudah hancur dan tempat keluarga jauh dari sini,” kata Agus (26), warga RT 006 RW 006 Kelurahan Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara.
Warga lain masih berharap bisa tetap tinggal di rumah mereka. Mereka berharap PT Pertamina mau mengalah. Mereka khawatir jika pilihan yang ditawarkan adalah berpindah ke rumah susun.
”Kami di sini ngontrak dengan harga murah. Kalau pindah ke rumah susun, pasti mahal. Sebagai pengumpul barang rongsokan, (saya) pasti enggak bisa bayar,” ujar Neni (50), warga RT 012 RW 009 Rawa Badak.
Ketua RW 009 Rawa Badak Selatan Abdus berharap pemerintah memilih memindahkan lokasi depo Pertamina. Keberadaan depo di tengah permukiman padat sangat berbahaya. Apalagi, beberapa insiden kebakaran yang terjadi bermula dari dalam depo Pertamina itu.
”Di sekitar depo itu ada enam RW terdampak. Saya juga pernah dengar Pertamina sudah punya lahan di tempat lain. Demi kepentingan orang banyak, harusnya mereka mengalah saja,” ucap Abdus.
Menanggapi rencana relokasi, Vice President Corporate Communications Pertamina Fadjar Santoso menyatakan akan mengoordinasikan dengan warga dan pihak terkait. Pihaknya akan melaksanakan apa pun keputusan pemerintah.
Terutama karena ini memang zona yang bahaya, tidak bisa lagi ditinggali, tetapi harus ada solusinya. Bisa saja (Depo) Plumpang digeser ke reklamasi atau penduduknya yang digeser, direlokasi.
Pengamat tata kota, Nirwono Yoga, menilai, pilihan relokasi warga menjadi alternatif memungkinkan yang akan diambil pemerintah. Pemerintah akan kesulitan jika memindahkan lokasi depo.
”Meskipun di Tanjung Priok BUMN punya lahan dan lokasinya jauh dari permukiman, itu pasti akan butuh waktu yang tidak sebentar (pembangunannya) serta butuh dana yang banyak. Di tengah ekonomi sulit saat ini, saya rasa itu pilihan yang sulit,” ujar Nirwono.
Sementara pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengatakan, apa pun opsi yang diambil, pemerintah perlu bermusyawarah dengan warga untuk mendengarkan aspirasi mereka.
Korban jiwa kebakaran di Depo Pertamina masih bertambah. Data PT Pertamina (Persero) menyebutkan, setidaknya 19 korban meninggal dan 40 korban masih dirawat hingga kemarin.
Mereka yang dirawat tersebar di 10 rumah sakit, antara lain RS Tugu Koja, RS Pelabuhan, dan RS Pertamina Pusat (RSPP). Wakil Direktur Keperawatan RS Pertamina Pusat dokter Theryoto di RSPP menyebut, pihaknya masih merawat 24 pasien. Dari jumlah tersebut, 13 pasien masih dirawat di ruang unit perawatan intensif (ICU), sedangkan 11 lainnya di ruang non-ICU atau unit luka bakar.
Identifikasi korban meninggal juga terus dilakukan. Hingga kemarin, RS Polri, Kramatjati, menerima 15 jenazah dan 1 potongan tubuh. Dari jumlah itu, sembilan di antaranya laki-laki dan enam lainnya perempuan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, hingga saat ini baru 14 keluarga yang mengonfirmasi jenazah. Namun, pihak RS telah mengambil DNA semua jenazah.
Di luar korban meninggal dan yang tengah dirawat, tercatat ada 423 warga terdampak kebakaran Depo Pertamina Plumpang yang mengungsi di dua tempat. Sebanyak 300 orang mengungsi di RPTRA Rasela dan sisanya mengungsi di markas Palang Merah Indonesia (PMI) Jakarta Utara.
Saat mengunjungi pengungsi, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan akan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan perempuan, anak, dan warga lansia, termasuk untuk kebersihan diri.
Menurut dia, bantuan terus disalurkan pemerintah melalui Kementerian Sosial dibantu TNI dan Polri. Ia juga meminta Kementerian Sosial mendata korban sehingga bisa diberikan santunan.
Selain cedera fisik, sebagian pengungsi kebakaran juga terluka secara psikis. Salah satunya Sabar (56), warga RT 012 RW 009 Rawa Badak Selatan. Tak hanya menderita luka di kaki kanannya, ia juga mengalami trauma. Setelah peristiwa yang menghanguskan seluruh harta bendanya, Sabar kesulitan tidur. Ia terus terpikir bagaimana memulai hidup kembali.
Asra’i (44), warga lain, mengaku sering merasa ketakutan, khawatir apabila kembali terjadi ledakan. Apalagi, kalau mencium aroma bensin yang mengingatkan pada bau sesaat sebelum ledakan pada Jumat malam.
Aroma itu, kata Asra’i, sangat menyengat dan menyesakkan. Ia bahkan masih merasa tidak enak di tenggorokan dan sering batuk meskipun sudah memeriksakan diri dan diberi obat.
Takut dan sedih juga dirasakan anak-anak korban kebakaran. Fahmi (10) dan Embun (9) terus teringat saat mereka menyelamatkan diri sambil menangis. (CAS/Z17/Z06/Z07/IKI)