Kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Koja, Jakarta Utara, meninggalkan bangunan yang luluh lantak dan hangusnya harta benda. Seolah tak belajar dari peristiwa sebelumnya, kebakaran kali ini lebih parah.
Karsono (68) tengah asyik menyaksikan siaran berita di salah satu kanal televisi di rumahnya. Tiba-tiba suara ledakan membuyarkan fokusnya, Jumat (3/3/2023). Pikirannya langsung tertuju pada depo bahan bakar milik Pertamina, sekitar 500 meter dari rumahnya.
Sejatinya, rumah Karsono di RT 006 RW 0O7, Rawa Badak Selatan, Koja, Jakarta Utara, relatif jauh dari sumber kebakaran. Namun, ia mengkhawatirkan rumah anaknya, Zahiratun (39), yang berjarak 200 meter dari pusat kebakaran. Apalagi sang anak sedang hamil tua.
Tanpa mengenakan lagi alas kaki, Karsono memacu langkahnya menuju rumah Zahiratun di RT 002 RW 009. Di jalan kampung seluas 2-3 meter, Karsono berlari berlawanan dari arah datangnya kerumunan warga yang menyelamatkan diri. Ia bertaruh nyawa mendekat ke arah api, mendatangi rumah anaknya.
Di tengah situasi tersebut, dia melihat semburan api semakin tinggi. Bau bensin dan gas menyeruak di sepanjang jalan. Hal itu tidak menghalangi langkahnya mendekati dan menjemput anak serta cucu-cucunya.
Hatinya sedikit tenang ketika melihat rumah anaknya aman. ”Ya benar saja, rumah Atun masih aman, tetapi mereka terlihat panik. Apalagi suaminya juga harus memikirkan nasib orangtuanya di samping rumahnya,” ujarnya.
Menurut warga, bau bensin yang menyengat sudah tercium sejak Jumat sore. Sebenarnya bau bensin itu biasa bagi warga karena kerap tercium saat pengisian tangki. Tidak ada yang curiga saat bau bensin muncul pertama kali. Kecurigaan baru terkonfirmasi tatkala terdengar suara ledakan.
Bau bensin yang menyengat dan menyesakkan napas itu membuat Nining (34), salah satu warga, curiga. Ketika mendengar ledakan pertama dan orang berlarian, Nining bergegas mengambil barang-barang berharga. Baru sampai di depan rumah, Nining terpeleset dan setengah badannya terbenam di bak penampungan hujan tetangga.
Melihat orang-orang sudah tumpah ruah di jalan, Nining langsung menggendong anak bungsunya, Faizar (4), agar mobilitas lebih mudah. Tas dibawa suaminya. Anak keduanya, Celiandra (6), menggendong tas sendiri. Tangan Celiandra terus memegang baju Nining sepanjang jalan.
Di Jalan Tanah Merah Bawah, Nining bertemu tetangganya, Fitri (28). Kepanikan berubah menjadi kengerian ketika melihat seorang perempuan dengan luka bakar di tubuh bagian atas turut berjalan ke arah barat. Dengan setengah berlari, Nining dan Fitri berdoa semoga mereka selamat, tidak ada ledakan lagi, dan api tidak merembet lebih jauh.
Peristiwa berulang
Asih (45), korban lainnya, mengisahkan, Jumat sore, ia baru saja shalat Magrib ketika mendengar suara petir begitu keras, tak seperti biasanya. Tak lama setelah itu, ada warga lain mengingatkan agar segera menyelamatkan diri karena ada gas terbakar.
”Saya sama cucu diangkat, ’Mak, ayo, Mak, cepat!’ Saya sudah lemas, sudah mau jatuh. Kalau enggak (dibantu) sudah ditindih-tindih orang,” cerita Asih dengan mata berkaca-kaca.
Saat Asih berlari, api langsung menyembur. Ia tak sempat menyelamatkan barang-barang berharga, kecuali dokumen-dokumen kependudukan serta rapor cucunya.
Peristiwa serupa telah beberapa kali terjadi. Hanya saja, kali ini paling parah karena banyak korban jiwa dan luka-luka. ”Sudah beberapa kali ini (kejadian). Ini parah banget,” ujar Asih.
Saerah (48) dan Salma (47), pengungsi yang bernaung di kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Jakarta Utara, bercerita, terdengar bunyi gas mendesis cukup panjang sebelum ledakan. Tak lama setelahnya, mereka tenggelam dalam kepanikan.
Hingga Sabtu (4/3/2023) dini hari, ketegangan menyelimuti warga. RS Mulyasari, Jakut, jadi saksi bisu ketegangan malam itu. Ambulans silih berganti berdatangan membawa korban. Mereka datang dengan luka bakar di atas 80 persen.
Sebagian besar kulit korban terkelupas. Mereka hanya berpasrah saat petugas kesehatan merujuknya ke RS lain dengan fasilitas yang lebih memadai. ”Kondisi pasien tidak kritis, tapi sangat membutuhkan pertolongan,” ujar Aditya Rahman, dokter yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat RS Mulyasari.
Hingga pukul 01.10, warga terus berdatangan ke RS mencari anggota keluarganya. Raut muka mereka panik, bahkan ada pula yang tak dapat menahan air mata. Mereka kebingungan mencari keluarga yang terpisah. Tak semua menemukan kerabat yang dicari.
Tak jauh dari rumah sakit, sejumlah korban mengungsi di depan kios-kios pertokoan. Ada yang masih terkejut sekaligus menahan kemarahan atas kondisi yang terjadi.
Polisi masih menyelidiki pemicu kebakaran itu. Hingga Sabtu, 17 orang tewas dan sedikitnya 50 orang terluka. Data itu masih terus divalidasi.
Pada 2009, Depo Pertamina Plumpang juga pernah terbakar. Saat itu, kebakaran dipicu oleh tekanan dari dalam tangki yang tak dapat diantisipasi oleh sistem pengaman tangki (Kompas, 22/1/2009).
Empat belas tahun berselang dari peristiwa itu, kebakaran lebih besar terjadi dan menelan lebih banyak korban tewas ataupun luka. Wacana merelokasi permukiman warga pun mengemuka sejak 1992. Upaya itu diharapkan bisa menghindarkan warga dari risiko kebakaran. Wacana hanya tinggal wacana. Sampai saat ini belum ada kejelasan upaya mencegah kejadian serupa terulang.