JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian banjir Jakarta dari hulu ke hilir membutuhkan kesinambungan serta komitmen pemerintah dan warganya. Dengan demikian, beragam program bisa terlaksana demi kepentingan bersama.
Dalam buku Mengenal Banjir Jakarta (2012), masalah banjir di Jakarta, setelah kota ini menjadi Ibu Kota usai kemerdekaan Indonesia, sudah muncul sejak tahun 1960. Ketika itu, pertumbuhan penduduk di Jakarta begitu pesat sehingga muncul hunian-hunian baru. Masyarakat pendatang banyak menempati wilayah lahan kosong yang tersedia di sekitar daerah aliran Kali Ciliwung, Krukut, Grogol, dan Cipinang-Sunter. Saat aliran air sungai meluap dan menggenangi permukiman, mulailah dikenal bencana banjir itu. Sebelumnya, hal itu tidak menjadi masalah karena tidak ada perumahan di sekitar sungai tersebut.
Permukiman di daerah rendah dekat dengan sungai tersebut juga tidak punya sarana drinase yang cukup. Dampaknya, air hujan dan limpahan sungai menggenangi wilayah tersebut serta tak teralirkan ke sungai dan ke laut.
Pada 1965, Pemprov DKI Jakarta membentuk Komando Proyek Banjir Jakarta Raya atau Kopro Proyek. Beberapa hal yang dikerjakan, yaitu Waduk Pluit, Waduk Setiabudi, Waduk Melati, dan Waduk Tomang Barat.
Perkembangan kota tahun 1970 semakin mendesak upaya penanganan banjir di Jakarta. Pemerintah sampai mendatangkan konsultan Belanda, Nedeco, yang menghasilkan rencana induk berjudul ”Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta”.
Seiring waktu, urbanisasi di aglomerasi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi semakin padat. Akibatnya, daerah tangkapan air dari sungai-sungai di wilayah Bodetabek berkurang serta daerah resapan kawasan hijau di area hulu di Bogor, Puncak, dan Cianjur pun semakin menurun.
Kemudian, muncul gagasan untuk membuat rencana induk baru tentang drainase dan pengendalian banjir. Penanganan genangan lokal dengan drainase tercantum dalam ”The Study on Urban Drainage and Waste-water Disposal Project in the City of Jakarta” pada tahun 1991. Pengendalian banjir secara khusus dimuat dalam ”The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabodetabek” pada tahun 1997.
Hanya yang paling penting di Indonesia adalah kelembagaannya, eksekusi di lapangan harus satu komando. Ini yang sering tumpang tindih pada saat kejadian.
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air Jakarta Maman Supratman mengatakan, kesinambungan dan komitmen pengendalian banjir antara pemerintah pusat, balai, dan daerah menentukan capaian target.
”Pembangunan akan lebih cepat kalau kerja sama jalan. Bareng-bareng mengatasi banjir,” tutur Maman, Jumat (3/2/2023).
Rachmat Fajar Lubis, peneliti Pusris Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, sependapat. Ia mengingatkan bahwa penanganan banjir sudah direncanakan dengan baik meskipun belum ada satu metode sapu jagat. Oleh karena itu, semua harus dilaksanakan secara terintegrasi.
”Hanya yang paling penting di Indonesia adalah kelembagaannya, eksekusi di lapangan harus satu komando. Ini yang sering tumpang tindih pada saat kejadian,” ujar Fajar, Jumat sore.
Fajar mencontohkan rencana induk yang sudah dibuat dengan baik. Namun, kenyataan di lapangan justru banyak kendala terkait dinamika ekonomi kota. Salah satu cara mengatasinya lewat sosialisasi terus-menerus menggandeng masyarakat agar tahu bahwa mereka juga bagian pencegah banjir. Jadi tidak semua pengendalian banjir tergantung pemerintah.
Pengajar Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, Sabtu (4/2/2023), menyarankan konsolidasi tanah perkotaan dalam pengendalian banjir. Pemerintah membangun permukiman di kluster-kluster tertentu dengan pemanfaatan ruang campuran (hunian, perkantoran, dan jasa perdagangan).
”Setiap kluster ada fasilitas lengkap, maka lama kelamaan penghuninya dapat beradaptasi,” ujar Rudy.