Mengatasi banjir Jakarta membutuhkan kepiawaian mengendalikan limpahan air. Namun, saat ini, infrastruktur eksisting di DKI baru bisa mengelola 1.141 meter kubik air per detik atau sekitar sepertiga dari yang dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta sampai saat ini masih berupaya keras meningkatkan pembangunan infrastruktur pengendali banjir. Dalam skema pengendalian banjir Jakarta oleh Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, debit air yang masuk ke Ibu Kota mencapai 3.389 meter kubik per detik.
Di sisi lain, kapasitas infrastruktur eksisting pengendalian banjir Jakarta kini baru 1.141 meter kubik per detik. Kapasitas infrastruktur eksisting itu bagian dari desain infrastruktur pengendalian banjir yang tengah dibangun dan ditargetkan mengelola 2.357 meter kubik per detik.
”Masih ada selisih 1.032 meter kubik per detik (dari target pembangunan infrastruktur dengan total air yang masuk) yang harus ditampung. Rencananya ditampung lewat waduk atau embung. Lokasinya masih dikaji yang tepat di mana,” kata Kepala Seksi Perencanaan Bidang Pengendalian Banjir dan Drainase Dinas Sumber Daya Air Jakarta Maman Supratman, Jumat (3/2/2023).
Merujuk skema pengendalian banjir Jakarta, area hulu hingga Manggarai dioptimalkan sebagai lokasi parkir air. Kemudian ada Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat di area cekungan, serta polder (tanah rendah untuk menampung air) di sekitar area hilir.
Pengendalian secara menyeluruh dari hulu ke hilir ini sesuai kondisi geografis Jakarta. Berdasarkan peta ekoregion provinsi oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2014, Ibu Kota terbagi dalam dataran marin, yaitu area pasang surut berlumpur (rentan banjir), beting gesik dan lembah antar-gisik (rawan genangan).
Kemudian dataran fluvial terdiri dari dataran rawa (rentan genangan dan banjir), banjir, dan fluviomarin (rentan genangan, rob, dan banjir) di tengah ke arah utara Jakarta. Terakhir dataran vulkanik, terdiri dari dataran bergelombang hingga landai dari arah pusat ke selatan Jakarta.
Restu Gunawan dalam bukunya, Gagalnya Sistem Kanal Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010), menyebutkan, sistem mikro dan makro selama hampir seabad jadi kunci pengendalian banjir. Dalam sistem makro, pembangunan kanal, polder, dan waduk penampung air dipilih.
Namun, kanal tidak berhasil lantaran topografi Jakarta datar sehingga air tidak bisa mengalir. Sedimentasi dan tumpukan sampah mengunci aliran air.
Sistem kanal hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat. Ketika curah hujan tinggi dengan periode ulang lebih sering terjadi, daya tampung air terlewati sehingga timbul ancaman dan kerugian lebih besar. Sistem polder juga bermasalah. Daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai polder dipadati permukiman.
Parkir air
Menyadari kelemahan kanal dan masalah yang membelit polder, DKI Jakarta kemudian mengimplementasikan program 942 yang mencakup pembangunan sembilan polder, empat waduk, dan revitalisasi dua sungai. Proyek pengendalian banjir ini berjalan sejak November 2021 dengan target rampung Maret 2023.
Sembilan polder dibuat di Kelapa Gading, Pulomas, Muara Angke, Teluk Gong, Mangga Dua, Green Garden, Marunda, Kamal, dan Tipala-Adhyaksa. Untuk pembangunan waduk di Pondok Ranggon, Brigif, Lebak Bulus, dan Wirajasa atau Pilar Jati, serta revitalisasi sungai Kali Besar, sodetan Kanal Museum Bahari, dan pembangunan prasarana sodetan Kali Ciliwung Hilir-Pasar Baru.
”Waduk dirancang untuk mereduksi banjir dari hulu. Setiap titik (waduk) punya kapasitas reduksi banjir berbeda,” ujar Maman.
Contohnya Waduk Brigif untuk parkir air dari Kali Krukut. Saat curah hujan 250 milimeter per hari, desain reduksi banjirnya mencapai 15,3 persen. Estimasi angka tersebut berdasarkan perhitungan debit dan aliran air. Misalnya debit air 1.000 meter kubik, maka air yang parkir sekitar 153 meter kubik. Selebihnya mengalir ke Kemang, Bendungan Hilir, dan Kanal Banjir Barat.
Harus seimbang, terintegrasi antara sungai dan parkir air. Idealnya lebar kali cukup, parkir air juga ada.
Melihat fakta itu, meskipun waduk bertambah, tetap saja banjir belum sepenuhnya dapat dikurangi secara drastis.
Apalagi mengingat kondisi drainase di Jakarta masih untuk kapasitas hujan rata-rata harian 100 milimeter. Tak heran jika terjadi banjir besar di Jakarta saat hujan ekstrem 377 milimeter tahun 2020 dan 260 milimeter tahun 2021.
Holistik
Agar tidak terus berkejaran antara infrastruktur dan limpahan air, DKI tengah mengembangkan peta jalan pengendalian banjir secara keseluruhan. Kini masih berlangsung evaluasi seluruh infrastruktur pengendalian banjir untuk data kebutuhan atau kapasitas dan estimasi biaya.
”Harus seimbang, terintegrasi antara sungai dan parkir air. Idealnya lebar kali cukup, parkir air juga ada,” ujar Maman.
Restu melihat pengendalian banjir di Jakarta semakin baik dari masa ke masa. Pembangunan waduk dan polder selama lima tahun belakangan ini gerak maju yang cukup bagus. Namun, pendekatan infrastruktur secara masif mesti berbarengan dengan edukasi kepada masyarakat.
Sistem kanal gagal lantaran Jakarta yang datar sehingga sedimentasi jadi problem besar, apalagi dibukanya perkebunan dan pertanian di wilayah selatan sampai dengan puncak.
”Sebagian besar lebih fokus ke Ciliwung. Padahal, Jakarta dilintasi 13 sungai dan sekarang banjir semakin luas cakupannya di Jabodetabek. Ini yang harus ditangani,” ujar Restu.