Kemiskinan Ekstrem di Jakarta Naik, Penanganan Mesti Efektif dan Tepat Sasaran
Sebanyak 95.668 penduduk DKI Jakarta tergolong dalam masyarakat dengan kemiskinan ekstrem. Segala upaya pemerintah untuk menangani hal itu harus dikawal dan dipastikan tepat sasaran.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat miskin ekstrem di Jakarta semakin bertambah. Dari data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta dilaporkan, kemiskinan di DKI Jakarta mencapai 0,89 persen dari total 10,7 juta penduduk. Pemerintah Provinsi DKI mengambil beberapa langkah intervensi untuk upaya menurunkan angka tersebut. Pengamat menyebutkan, upaya tersebut perlu tepat sasaran dan efektif.
Sebelumnya, Senin (30/1/2023), BPS DKI Jakarta mengumumkan laporan tentang angka kemiskinan ekstrem di DKI Jakarta pada periode Maret 2022. Sebanyak 0,89 persen atau setara 95.668 jiwa dari total penduduk DKI Jakarta berada di golongan kemiskinan tersebut. Dibandingkan dengan Maret 2021, angka persentase berada di 0,6 persen. Artinya naik sebanyak 0,29 persen.
Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta Suryana mengatakan, dari data tersebut, penduduk miskin ekstrem paling banyak tinggal di wilayah Jakarta Utara dan paling sedikit tinggal di Jakarta Barat. Menurut Suryana, naiknya angka kemiskinan ekstrem berpotensi terus naik serta sulit diturunkan. Kondisi ini, katanya, mirip dengan yang dialami Provinsi Bali.
Adapun karakteristik rumah tangga penduduk dengan kemiskinan ekstrem seperti kepala keluarga berusia 45,5 tahun, rata-rata lulusan SMA, memiliki tanggungan anggota keluarga balita dan lansia, serta kondisi rumah yang sempit dan tidak layak.
Kata Suryana, garis kemiskinan yang dijadikan indikator adalah kemampuan penduduk tersebut dalam memenuhi kebutuhan dasar. Sementara, rata-rata pengeluaran masyarakat miskin ekstrem per kapita kurang dari Rp 11.633 per hari atau Rp 348.990 per bulan.
Gambaran kemiskinan itu seperti dialami Arif (49), nelayan Kampung Apung, Penjaringan, Jakarta Utara, yang tinggal di sebuah rumah papan bersama dengan istri dan kedua anaknya. Ia mesti mengatur pengeluaran dengan ketat agar kebutuhan dapat tercukupi. Ia mengaku pendapatannya kurang dari Rp 300.000 per bulan.
Tidak hanya melaut, Arif harus mengumpulkan sampah plastik untuk dijual. Itu pun nyaris tak mencukupi belanja kebutuhan bahan makanan sehari-hari. Harga bahan pokok yang terus naik membuatnya kesusahan. Sebelumnya, ia pernah menerima dana bantuan sosial saat masa pandemi pada tahun 2020. Namun, ia hanya menerima itu sekali dan tidak pernah lagi.
Sama halnya dengan Arif, Indah (50) mengatakan, bantuan sosial hanya diberikan saat masa awal pandemi. Setelah itu, mereka tidak pernah mendapatkannya lagi. Padahal, suami Indah sempat terjangkit penyakit Covid-19 dan tak dapat melakukan pekerjaannya sebagai pengemudi ojek daring.
”Saya dengar ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang dibagiin pemerintah, tetapi sampai sekarang enggak ada yang kami terima tuh. Dulu, cuma sekali dapat bansos tetapi habis itu udah enggak ada lagi. Orang kecil emang cuma bisa berharap saja. Istilahnya, untuk ubah nasib udah enggak mungkin,” tuturnya.
Strategi pemerintah
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan, pemerintah provinsi sedang mengupayakan program kebijakan untuk berupaya mengatasi permasalahan kemiskinan ekstrem di Ibu Kota. Program ini disebutnya sebagai intervensi kemiskinan terpadu yang terdiri dari empat bagian. Seluruh komponen lintas sektor dalam pemerintahan digerakkan untuk menjalankan program tersebut.
Intervensi yang pertama dilakukan dengan menurunkan untuk mendata masyarakat yang tergolong sebagai penduduk miskin ekstrem. Selain menvalidasi data BPS, pihaknya akan memutakhirkan data dengan merinci karakteristik para penduduk miskin ekstrem tersebut. Kata Heru, hal ini dilakukan untuk dapat menemukan akar masalah dari kondisi kemiskinan ekstrem tersebut.
”Saya minta agar seluruh jajaran turun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data by name by address yang akurat sehingga dapat ditemukan akar masalahnya dan segera dilakukan intervensi yang tepat sasaran,” tutur Heru.
Lalu, intervensi yang kedua, pemprov akan memberikan bantuan sosial berupa Kartu Jakarta Pintar Plus, Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul, Bantuan Pendidikan Masuk Sekolah, Kartu Anak Jakarta, Kartu Peduli Anak dan Remaja Jakarta, Kartu Lansia Jakarta, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta. Lalu, Jaminan Sosial Kesehatan, Subsidi Pangan, Subsidi Air Bersih, Subsidi Tangki Septik, Subsidi Rusunawa, dan Subsidi Transportasi.
Selanjutnya, intervensi yang ketiga, pemprov berupaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat miskin ekstrem tersebut dengan pelatihan keterampilan kerja, bursa kerja, dan kewirausahaan terpadu, Terakhir, pemerintah akan menjalankan program pengurangan kemiskinan berbasis kewilayahan. Hal ini meliputi penataan kualitas perrmukiman, program Keluarga Berencana, serta bantuan makanan tambahan untuk lansia dan anak balita.
”Kita pastikan, target 0 persen itu dapat tercapai pada tahun 2024,” kata Heru.
Pengamat sosial budaya, Idi Subandy Ibrahim, menjelaskan, upaya mengentaskan kemiskinan jangan hanya berpatok pada persentase dan angka saja, tetapi fokus pada meningkatkan harkat hidup masyarakat tersebut. Kata Idi, persentase angka kemiskinan tidak dapat menangkap kenyataan kondisi kesusahan masyarakat yang merasakan kemiskinan tersebut. Untuk itu, seharusnya, indikator dalam upaya mengatasi kemiskinan perlu lebih spesifik.
”Angka sebenarnya tidak mampu menggambarkan kondisi orang yang mengalami kemiskinan. Banyak sekali fenomena yang luput dari sekadar angka saja. Masalahnya, kemiskinan ini basis sosialnya sangat banyak, pemerintah harus bisa mengidentifikasi berbagai status dan kondisi sosial masyarakat miskin tersebut,” ujar Idi ketika dihubungi.
Hal itu juga berkaitan dengan efektivitas dan ketepatan sasaran dari kebijakan dan prorgam pemerintah dalam mengatasi kemiskinan tersebut. Menurut Idi, fokus memahami isu kemiskinan secara kualitatif juga sangat diperlukan untuk dapat mengentaskan kemiskinan dari akarnya. Namun, karena masalahnya sangat variatif, upaya pendataan juga harus lebih spesifik dan terinci.
Solusi lain, kata Idi, pemerintah juga dapat fokus mendorong solusi menghapus kerangka pemikiran urbanisasi. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang mendorong banyak transmigran yang datang ke Jakarta, tetapi tak berhasil dan malah menjadi masyarakat miskin. Padahal, menurut Idi, menjadi miskin di perkotaan jauh lebih susah daripada menjadi miskin di daerah atau di desa.
”Apabila datang ke kota dan tidak dapat bersaing, orang dapat dengan mudah jatuh miskin hingga ekstrem. Sangat disayangkan. Padahal, miskin di kota itu bisa sangat sengsara. Pengeluaran bisa lebih besar. Lalu, tidak ada dana bantuan seperti dana desa, yang ada program bantuan yang belum tentu tepat sasaran,” katanya.