Pemulihan Masih Timpang, Perlu Solusi Jangka Panjang Redam Kemiskinan
Naiknya angka kemiskinan pada September 2022 serta semakin timpangnya tingkat kemiskinan di perkotaan dan perdesaan menunjukkan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 belum terjadi secara merata.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bertambahnya jumlah orang miskin pada tahun 2022 dinilai menunjukkan pemulihan ekonomi yang masih timpang. Meski ada upaya meredam dampak inflasi lewat bantuan sosial, solusi jangka panjang dibutuhkan melalui penciptaan lapangan kerja yang layak serta perbaikan upah, khususnya di sektor-sektor rural yang masih banyak kantong kemiskinan.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan pada September 2022 meningkat seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi yang mendorong biaya hidup lebih mahal.
Garis kemiskinan naik 5,95 persen dari Rp 505.469 per kapita per bulan pada Maret 2022 menjadi Rp 535.547 per kapita per bulan, tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Kenaikan garis kemiskinan yang lebih tinggi terjadi di perdesaan, yaitu meningkat 5,98 persen. Sementara garis kemiskinan perkotaan meningkat 5,92 persen.
Seiring dengan naiknya garis kemiskinan itu, terjadi peningkatan tingkat kemiskinan pada September 2022 di wilayah perkotaan dan perdesaan. Jumlah orang miskin di perdesaan pun bertambah lebih banyak ketimbang di perkotaan.
Tingkat kemiskinan di perkotaan naik 0,03 persen poin dari 7,5 persen pada Maret 2022 menjadi 7,53 persen pada September 2022. Sementara pada periode yang sama, kemiskinan di perdesaan naik 0,07 persen poin dari 12,29 persen menjadi 12,36 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (17/1/2023), naiknya angka kemiskinan pada September 2022 serta semakin timpangnya tingkat kemiskinan di perkotaan dan perdesaan menunjukkan pemulihan ekonomi pascapandemi belum terjadi secara merata.
Efek berkepanjangan (scarring effect) akibat pandemi dan ”luka” baru akibat inflasi membuat masyarakat yang selama ini hidup di sekitar garis kemiskinan, terutama di perdesaan, jatuh miskin. ”Ini yang sering kali tidak tertangkap oleh indikator-indikator makro. Secara agregat, ekonomi kita memang terus tumbuh tinggi, tapi di bawah, angka kemiskinan naik,” katanya.
Faisal mengatakan, kendati pemerintah mencoba mengompensasi kenaikan harga BBM melalui penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), bantuan itu belum sampai ke masyarakat yang paling membutuhkan, terutama di area perdesaan yang umumnya lebih susah dijangkau.
Penelitian yang dilakukan CORE pada 22 Oktober-30 November 2022 menunjukkan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi memukul kelompok nelayan kecil dan usaha mikro kecil di perdesaan. Mereka mengalami kenaikan biaya produksi akibat naiknya harga BBM, tetapi tidak bisa menaikkan harga jual. Akibatnya, daya beli mereka jatuh, tergerus kenaikan biaya hidup.
Secara agregat, ekonomi kita memang terus tumbuh tinggi, tapi di bawah angka kemiskinan naik.
“Pemerintah memang memberi BLT BBM, tetapi itu tidak sampai ke mereka. Bansos lebih banyak diterima orang miskin kota, yang lebih mudah dijangkau. Ini menunjukkan kalau dari sisi efektivitas bansos sebenarnya masih rendah dan sifatnya hanya solusi jangka pendek,” ujarnya.
Jangka panjang
Menurut Faisal, dibutuhkan solusi jangka panjang untuk menurunkan kemiskinan, yakni lewat perbaikan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya di sektor-sektor rural. Misalnya, sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan yang paling banyak menyerap masyarakat miskin di desa.
Lapangan kerja yang diciptakan pun tidak bisa hanya asal banyak, tetapi harus layak. ”Karena banyak yang sudah bekerja tetapi kualitas pekerjaannya rendah, upah sedikit, jam kerja rendah, sifatnya sangat tidak layak dan itu membuat masyarakat rentan jatuh miskin,” kata Faisal.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki mengatakan, untuk memastikan penyaluran bansos yang lebih merata, perbaikan data bansos terus dilakukan berbekal pada hasil pengumpulan data melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
Harapannya, mulai tahun ini sudah ada pendataan tunggal yang bisa dijadikan landasan untuk penyaluran bansos yang lebih tepat sasaran, termasuk untuk masyarakat rentan miskin dan miskin di wilayah perdesaan. Apalagi, target penurunan tingkat kemiskinan yang dipasang pemerintah untuk tahun 2023 terhitung ambisius, yakni 7,5-8,5 persen.
Perbaikan data bansos terus dilakukan berbekal pada hasil pengumpulan data melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
”Untuk mencapai target, kita memang butuh data yang lebih baik. Kami harapkan dengan selesainya pendataan Regsosek, itu bisa jadi pegangan dalam menentukan target program yang lebih terintegrasi sehingga dampaknya bisa lebih optimal,” kata Maliki.
Ia mengakui, pengumpulan data Regsosek belum sempurna. Masih ada beberapa kelompok masyarakat yang belum terdata di putaran pertama. ”Mungkin putaran ini belum sempurna sekali, tapi kita berupaya mendata semua (penduduk), dari masyarakat homeless sampai yang ada di apartemen mewah,” ujarnya.
Secara jangka panjang, pemerintah terus menguatkan program penanggulangan kemiskinan lewat penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin dan rentan. Untuk itu, ujarnya, iklim investasi perlu terus dijaga. ”Selain itu, kelanjutan pembangunan infrastruktur dasar di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan, juga jadi sasaran prioritas pemerintah,” kata Maliki.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, secara umum, kenaikan angka kemiskinan bisa diredam lewat peran APBN. Selain melalui program bansos dan alokasi belanja untuk stabilisasi harga pangan, juga lewat mekanisme subsidi energi.
Ia meyakini tingkat kemiskinan kembali menurun seiring dengan tren penurunan inflasi bahan pangan (volatile food) dari 9,0 persen pada September 2022 menjadi 5,6 persen pada Desember 2022. Perbaikan pendapatan masyarakat juga diyakini tercapai dengan meningkatnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Agustus 2022 sebesar 68,63 persen.
”Ke depan, pemerintah perlu menjaga momentum penurunan inflasi dan mengakselerasi realisasi belanja APBN pada triwulan I-2023 untuk menurunkan angka kemiskinan,” katanya.