Polda Metro Jaya Bentuk Tim Pencari Fakta Kecelakaan Mahasiswa UI
Pembentukan tim pencari fakta merupakan instruksi langsung dari Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dan respons dari dorongan masyarakat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya berencana membentuk tim pencari fakta terkait penetapan tersangka Mohammad Hasya Athalla Saputra dalam kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia tersebut. Hal ini bertujuan menindaklanjuti masukan masyarakat terkait keputusan polisi yang dinilai menyalahi aturan.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran, di Jakarta, Senin (30/1/2023), menyampaikan, ia akan segera membentuk tim pencari fakta untuk menelisik kembali kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara motor berusia 18 tahun tersebut dengan mobil yang dibawa Ajun Komisaris Besar (Purn) Eko Setio Budi Wahono, di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2022) malam.
”Kami sudah mendengar berbagai masukan, baik dari akademisi maupun dari teman-teman media, dari politisi, dan segenap lapisan masyarakat. Juga tentunya atas perintah dan arahan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo,” katanya kepada wartawan di Jakarta.
Tim itu akan terdiri dari pihak eksternal dan internal. Anggota tim internal Polda Metro Jaya akan beranggotakan Inspektur Pengawas Polda Metro Jaya, Bidang Profesi dan Pengamanan, Bidang Hukum, dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Korps Lalu Lintas Polri juga akan dilibatkan untuk investigasi kejahatan secara ilmiah.
Dari pihak eksternal, Fadil akan mengundang pengawas ekternal kepolisian, pakar keselamatan transportasi, pakar hukum, ahli otomotif, agen tunggal pemegang merek (ATPM), dan wartawan.
Tim akan diberikan target waktu singkat untuk melaksanakan investigasi. Tim ini diharapkan mampu menunjukkan fakta-fakta secara transparan dan menguatkannya untuk memberi keadilan dan kepastian hukum.
”Kita semua tidak ingin masuk dalam situasi yang sulit, terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tidak ada yang menghendaki,” ujarnya, yang disusul ucapan belasungkawa terhadap meninggalnya korban yang sebelum meninggal berstatus sebagai mahasiswa Universitas Indonesia (UI) itu.
Hasya ditetapkan sebagai tersangka dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jumat (27/1/2023). Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman mengungkapkan, Hasya terbukti lalai sehingga menyebabkan kecelakaan.
”Karena kelalaiannya mengendarai sepeda motor, Hasya menghilangkan nyawanya sendiri dan bukan karena kelalaiannya si Pak Eko. Hal itu terjadi karena Hasya kurang berhati-hati mengendarai sepeda motor,” tutur Latif.
Berdasarkan kronologi kejadian, Hasya yang berboncengan seorang temannya melintasi Jalan Srengseng Sawah dari selatan ke utara yang basah karena hujan gerimis dengan kecepatan sekitar 60 kilometer (km) per jam.
Tiba-tiba sebuah mobil di depan mereka berbelok sehingga Hasya mengerem secara mendadak. Pengereman itu membuat motor yang dikendarai Hasya tergelincir sehingga jatuh ke sebelah kanan.
Tepat saat motor jatuh ke arah jalan yang berseberangan, mobil Pajero yang dibawa Eko melaju dengan kecepatan 30 km per jam dan menabrak Hasya. Dalam posisi itu, penyidik menimbang bahwa Eko sulit menghindari tabrakan meski diklaim ada upaya banting stir.
Pengereman mendadak yang mengakibatkan motor Hasya tergelincir menjadi penentu status tersangka dalam kecelakaan itu. Namun, penyidikan kasus tidak dilanjutkan dengan diterbitkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3), yang diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang gugurnya hak melakukan penuntutan dalam proses persidangan.
”Kenapa di-SP3? Pertama karena kasus itu sudah kedaluwarsa, yang kedua tidak cukup bukti, dan ketiga tersangka meninggal. Jadi, ada kepastian juga di situ,” ujar Latif.
Respons keluarga
Menanggapi rencana pembentukan tim pencari fakta oleh Polda Metro Jaya, anggota tim kuasa hukum keluarga Hasya, Gita, mengaku mereka masih menantikan rencana itu direalisasikan. Sejauh ini mereka belum bisa menanggapi lebih lanjut rencana tersebut.
”Kami belum tahu apa dasarnya. Kembali lagi, kami harus menelaah lagi, apa sih tim ini? Buat apa nanti hasilnya secara hukum. Kalau kami diikutsertakan, kami, sih, terbuka,” ujarnya saat dihubungi.
Dalam konferensi pers dengan media pekan lalu, tim kuasa hukum keluarga Hasya membeberkan kejanggalan dalam penyelidikan kasus kecelakaan tersebut. Ayah Hasya, Adi Syahputra, menceritakan, pada Rabu (19/10/2022), saat mendatangi Polres Jakarta Selatan, ia memperoleh informasi sudah ada laporan yang dibuat atas inisiatif polisi dengan nomor LP (Laporan Polisi) 585.
Sementara itu, Adi tetap membuat laporan polisi tersendiri dengan nomor LP 1947. Sayangnya, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti. Sebaliknya, LP 585 telah didalami oleh pihak Polres Jakarta Selatan meski terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tanpa informasi apa pun, Selasa (17/1/2023) sore, tim kuasa hukum menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) perkara kecelakaan lalu lintas dengan disertai lampiran SP3. Kasus tersebut dihentikan karena tersangka (Hasya) dalam tindak pidana tersebut telah meninggal. Namun, SP2HP itu belum terdapat stempel Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Jakarta Selatan.
Malamnya, Polres Jaksel kembali mengirimkan SP2HP kepada keluarga Hasya yang sudah dibubuhi stempel Satlantas Polres Jakarta Selatan. Adapun pasal yang dikenakan oleh pihak penyidik polres Jakarta Selatan adalah Pasal 310 Ayat (3) dan (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Konstruksi SP3 Polres Jakarta Selatan tersebut sudah jelas, Hasya yang merupakan korban dalam tindak pidana tersebut telah dijadikan tersangka, sedangkan ESBW sebagai pihak yang melindas Hasya tidak dikenai masuk dalam kategori tersangka. Polres Jakarta Selatan telah memosisikan Hasya meninggal dalam laka tunggal,” papar Gita.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi hukum, Arsul Sani, mengapresiasi rencana Kapolda Metro Jaya membentuk tim pencari fakta yang melibatkan pihak internal dan eksternal kepolisian. Namun, ia berpesan agar tim itu dipilih dari sosok-sosok kredibel atau tepercaya.
”Khusus dalam kasus Hasya, saya kira ada pelajaran yang bisa dipetik bahwa, dalam langkah penegakan hukum, bukan hanya sisi pendapat hukum polisi saja yang ditekankan. Perlu konteks sosial, termasuk rasa empati pihak-pihak terlibat dalam kasus tersebut. Dalam kasus Hasya, untuk apa juga korban dalam kecelakaan yang sudah meninggal jadi tersangka,” ujarnya saat ditelepon terpisah.
Ia juga menyoroti dua persoalan serius dalam penyelidikan kasus Hasya. Pertama, mengenai penerapan hukum berdasarkan KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP disebutkan bahwa dalam menentukan tersangka perlu dua alat bukti dan harus mendengar pernyataan tersangka. Jika tersangka meninggal, hal tersebut tidak terpenuhi.
Kedua, ia menyoroti penerapan Pasal 77 KUHP, yang mengharuskan proses hukum dihentikan dalam tingkat apa pun, termasuk di tingkat penyidikan. ”Jadi, ini lucu. Orang sudah meninggal jadi tersangka dan keluarga diminta praperadilan,” ujarnya.