Kisah Berbeda antara Annisa dan Hasya
Dalam peristiwa yang menyebabkan orang lain tewas karena tabrakan, kelalaian ada di kedua pihak. Namun, Hasya yang terlindas dan kehilangan nyawa justru menjadi tersangka
Annisa Azwar, mahasiswa Universitas Indonesia, 10 tahun lalu, melompat dari angkutan kota dan meninggal dunia. Jamal, sopir angkutan kota saat itu, langsung menjadi tersangka dan mendekam di tahanan polisi.
Mohammad Hasya Athallah Saputra, juga mahasiswa Universitas Indonesia, awal Oktober 2022, saat melintas dengan sepeda motor di Jagakarsa, Jakarta Selatan, tergelincir dan terjatuh. Purnawirawan Polri Ajun Komisaris Besar Eko Setia Budi Wahono yang mengemudikan Pajero, lalu menabrak korban. Hasya pun kehilangan nyawa.
Bedanya dengan kasus Annisa, almarhum Hasya yang jadi tersangka lantaran tudingan kelalaian yang merenggut nyawanya sendiri.
Dua kasus ini cerita dan latar belakangnya berbeda, tetapi penerapan aturannya serupa, yakni menggunakan Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Baca juga: Dugaan Permainan Hukum di Balik Penanganan Kasus Hasya
Kisah Jamal dari catatan Kompas (11/2/2013), bermula pada suatu sore di 6 Februari 2013. Saat itu, Jamal yang masih berusia 37 tahun, saat menunggu penumpang di area Stasiun Kota, Jakarta Barat, turut mengangkut seorang perempuan bernama Annisa Azwar yang kala itu berusia 20 tahun.
Angkot U-10 yang dikemudikan Jamal bakal mengakhiri tujuan perjalanannya di Tanah Pasir, Jakarta Utara. Petaka bermula dari sini. Annisa salah naik angkot. Tujuan akhir perjalanannya, yakni ke Pademangan, Jakarta Utara. Mahasiswi asal Depok, Jawa Barat, itu tak sengaja menumpang angkot yang dikemudikan Jamal karena kaca depan angkot itu tertera ”Pademangan”.
Sebagai catatan, Jakarta di masa lalu sebelum Transjakarta dan JakLingko berkembang seperti sekarang, rute angkutan umum terkadang bisa berubah sesukanya tak sesuai dengan yang tertera di badan armada. Terlebih di waktu-waktu tertentu, seperti jam berangkat dan pulang kerja, sopir bisa memodifikasi rute untuk mencari yang lebih banyak potensi calon penumpang.
Dalam peristiwa yang menyebabkan orang lain karena tabrakan, itu dua-duanya lalai. (Pihak) yang menyebabkan korban tabrakan meninggal, itu dia juga lalai. (Abdul Fickar Hadjar)
Jamal yang saat itu membawa sejumlah penumpang lain melaju sesuai jalur hingga Tanah Pasir. Penumpang pun berangsur-angsur turun hingga penumpang terakhir, yakni Annisa. Jamal pun bertanya, hendak ke arah mana? Dijawab Annisa, menuju Pademangan.
Jamal putar balik ke arah Stasiun Kota. Namun, dalam perjalanan pulang, Annisa melompat, terjatuh, dan terluka. Laju kendaraan dengan kecepatan 30-40 kilometer per jam mengakibatkan Annisa terluka serius dan mengembuskan napas terakhir empat hari kemudian di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Dari hasil penyelidikan Kepolisian Resor Jakarta Barat, kesaksian keluarga korban, hingga pernyataan kuasa hukum yang mendampingi Jamal, ada beberapa dugaan Annisa melompat. Annisa disebut panik dan takut hingga Jamal dinilai tak mengindahkan permintaan korban agar diturunkan di tengah jalan. Menurut Jamal dan kuasa hukumnya, tanpa ada komunikasi, korban tiba-tiba melompat.
Jamal pun disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Saat itu, Jamal pun langsung mendekam di tahanan polisi.
Kasus lain, di Bogor, Jawa Barat, AR (38), seorang sopir truk, ditetapkan sebagai tersangka karena menabrak seorang anak hingga tewas di Jalan Sholeh Iskandar. Anak itu tertabrak karena nekat menghadang truk yang sedang melaju demi konten media sosial.
Baca juga: ”Rojali” dan Ruang Berbahaya Bermain di Media Sosial
AR menjadi tersangka karena sesaat setelah kejadian tabrakan maut pada Kamis (5/1/2023), sekitar pukul 21.15, ia tidak menghentikan truknya. AR terus melaju dan tak melaporkan kejadian itu ke aparat kepolisian.
”Setelah tiga hari kejadian, sopir truk pasir itu kami tangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bogor Komisaris Galih Apria (Kompas.id, 19/1/2023).
AR dikenai Pasal 312 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. AR terancam pidana penjara tiga tahun. Polisi tetap akan mendalami kasus itu karena sopir dalam posisi tidak terduga dan sulit menghindar atau menghentikan kendaraan bertonase besar secara mendadak.
Purnawirawan Polri
Di Jakarta Selatan, 6 Oktober 2022 malam, tepatnya di Jalan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Hasya saat itu bersama teman-temannya melintas dari arah selatan ke utara dengan kondisi jalan yang basah akibat hujan gerimis. Tiba-tiba, mobil di depan Hasya berbelok sehingga dia mengerem sepeda motornya secara mendadak. Akibatnya, Hasya tergelincir dan terjatuh ke sisi kanan jalan.
Dari arah sebaliknya, mobil sport Pajero yang dikendarai Eko Setio Budi Wahono, purnawirawan Polri, melaju dengan kecepatan lebih kurang 30 kilometer per jam, menabrak Hasya. Dengan jarak dan ruang yang ada, Eko dinilai tidak memungkinkan untuk menghindar sekalipun Eko disebut berupaya banting setir.
”Karena kelalaiannya mengendarai sepeda motor, Hasya menghilangkan nyawanya sendiri dan bukan karena kelalaiannya si Pak Eko. Hal itu terjadi karena Hasya kurang berhati-hati mengendarai sepeda motor,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latief Usman, Jumat (27/1/2023), di Jakarta.
Dari kesimpulan itu, polisi menetapkan Hasya sebagai tersangka. Polisi pun menghentikan penyidikan kasus itu lantaran tidak ada alat bukti yang kuat untuk menetapkan terlapor (Eko) sebagai tersangka.
Baca juga: Dinilai Lalai Berkendara, Hasya Ditetapkan sebagai Tersangka atas Kematiannya Sendiri
Kesimpulan akhir polisi untuk menghentikan kasus ini membutuhkan waktu lebih dari tiga bulan. Gelar perkara kasus tewasnya Hasya baru dimulai pada 28 November 2022 atau lebih dari satu bulan sejak Hasya tewas akibat kelalaiannya sendiri.
Polisi menyebut, pihaknya sempat menahan kasus itu untuk tak segera dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan karena pihak Eko dan keluarga korban masih mencari jalan mediasi. Namun, mediasi itu berakhir buntu.
Polisi dinilai keliru
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, polisi keliru dalam penanganan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan tewasnya Hasya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Seorang yang telah meninggal dunia tak bisa ditetapkan sebagai tersangka.
”Justru meninggalnya seseorang itu menyebabkan dia tak bisa lagi dituntut. Yang bisa ditetapkan sebagai tersangka, itu subyek yang hidup,” kata Abdul, saat dihubungi, Sabtu (28/1/2023), dari Jakarta.
Abdul menilai, orang yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka, yakni pihak yang menabrak Hasya. Keputusan untuk menentukan pihak yang salah atau benar nantinya jadi urusan pengadilan.
Tugas polisi, yakni fokus pada peristiwa hilangnya nyawa akibat tabrakan. Kewenangan polisi, yakni membuat berita acara pemeriksaan dan memproses kasus itu hingga berlanjut ke pengadilan.
”Dalam peristiwa yang menyebabkan orang lain karena tabrakan, itu dua-duanya lalai. (Pihak) yang menyebabkan korban tabrakan meninggal, itu dia juga lalai,” kata Abdul.
Hukum diharapkan bagai pedang bermata dua yang tajam di kedua sisi, yang berarti berlaku tak pandang bulu.