Dugaan Permainan Hukum di Balik Penanganan Kasus Hasya
Publik melihat ada kejanggalan di balik penetapan Mohammad Hasya Athallah Saputra (18), korban meninggal dalam insiden kecelakaan, sebagai tersangka. Ahli menilai, polisi tidak sesuai ketetapan hukum acara pidana.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
Penetapan Mohammad Hasya Athallah Saputra (18) sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan yang menewaskan dirinya sendiri di Jalan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2022), dinilai melewati prosedur hukum dan diduga ada unsur mempermainkan hukum.
Sekitar pukul 21.00, Hasya bersama teman-temannya melintas dari arah selatan ke utara dengan kondisi jalan yang basah akibat hujan gerimis. Tiba-tiba, mobil di depan Hasya berbelok sehingga Hasya mengerem sepeda motornya secara mendadak. Setelah mengerem mendadak, Hasya pun tergelincir dan kehilangan keseimbangan sehingga dia terjatuh ke sisi kanan.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latief Usman menyampaikan, secara bersamaan, dari arah sebaliknya, mobil sport Pajero yang dikendarai Eko Setio Budi Wahono melaju dengan kecepatan lebih kurang 30 kilometer per jam dan menabrak Hasya. Dengan jarak dan ruang yang ada, kata Latief, tidak memungkinkan bagi Eko untuk menghindar sekalipun Eko mengaku berupaya banting setir.
”Karena kelalaiannya mengendarai sepeda motor, Hasya menghilangkan nyawanya sendiri dan bukan karena kelalaiannya si Pak Eko. Hal itu terjadi karena Hasya kurang berhati-hati mengendarai sepeda motor,” kata Latief kepada wartawan, Jumat (27/1/2023).
Dari situ, polisi pun menghentikan penyidikannya (SP3) lantaran tidak memiliki alat bukti yang kuat untuk menetapkan pihak terlapor (Eko) sebagai tersangka. Sebaliknya, Hasya justru ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai lalai hingga mengakibatkan kecelakaan dan kehilangan nyawanya sendiri.
Latief menambahkan, Hasya ditetapkan sebagai tersangka lantaran dia kurang hati-hati dalam mengendalikan sepeda motor. Ketika mobil di depannya tiba-tiba berbelok, Hasya tidak bisa mengendalikan kendaraannya sehingga dia jatuh sendiri dan dialah yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
”Bukan terbentur karena Pajero, tetapi jatuh ke kanan dan diterima oleh Pajero sehingga terjadilah kecelakaan. Keterangan saksi kita kumpulkan, bekas jatuh kendaraan juga ada, sampai dengan titik jatuh tubuh Hasya,” ujar Latief.
Keputusan menetapkan Hasya sebagai tersangka diambil untuk membuat terang peristiwa kecelakaan tersebut atau mencapai kepastian hukum. Dari alat bukti yang ditemukan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyidik menilai bahwa penyebab terjadinya kecelakaan sekaligus kematian Hasya adalah kelalaian Hasya dalam berkendara.
”Setelah kami gelar perkara tiga kali dan demi kepastian hukumnya, kasus ini kami SP3 (penghentian penyidikan). Dari keterangan saksi, Eko tidak bisa dijadikan tersangka karena dia dalam posisi hak utama jalan, dia (Eko) berada di jalan utamanya dan tidak merampas hak jalan orang lain. Setalah itu, kami simpulkan SP3,” kata Latief.
Dalam kasus tersebut, tersangka dikenai Pasal 310 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pasal tersebut menyebut, dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12 juta.
Tidak sesuai hukum
Advokat sekaligus pendiri Kantor Hukum Analis Kebijakan Transportasi (Astina) serta Perkotaan Jakarta di Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, menilai, penetapan Hasya sebagai tersangka oleh polisi telah melangkahi prosedur hukum acara pidana yang berlaku. Sebagaimana dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata Tigor, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka setelah memberikan keterangan.
”Penetapan tersangka dasarnya harus ada pemeriksaan terhadap tersangka tersebut. Lha ini orangnya sudah meninggal, kapan diperiksanya? Itu aneh, jangan-jangan itu adalah cara untuk melindungi pelaku dan mengaburkan hukum,” kata Tigor saat dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, minimal harus ada dua alat bukti untuk penetapan tersangka. Polisi telah mengumpulkan lebih dari alat bukti, di antaranya keterangan saksi-saksi, kamera pemantau (CCTV), hasil visum, dan kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan.
Selanjutnya, Tigor juga turut menjelaskan, penjeratan dengan Pasal 310 Ayat 4 UU No 2/2009 tentang LLAJ tidaklah benar. Hal itu karena tidak ada satu pun aturan hukum yang membenarkan tindakan membunuh terhadap orang yang dinyatakan bersalah.
Korban kecelakaan lalu lintas seakan dibenarkan begitu saja dengan alasan telah melanggar aturan lalu lintas dan bisa ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses pemeriksaan karena sudah langsung meninggal di tempat kejadian.
Selain itu, masih terdapat Pasal 312 UU No 22/2009 tentang LLAJ yang berbunyi, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 Ayat 1 Huruf a, Huruf b, dan Huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 75 juta.
”Korban kecelakaan lalu lintas seakan dibenarkan begitu saja dengan alasan telah melanggar aturan lalu lintas dan bisa ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses pemeriksaan karena sudah langsung meninggal di tempat kejadian,” ujar Tigor.
Tigor menambahkan, kasus serupa ternyata juga pernah terjadi. Seorang anak bernama Samuel Ferdinanda (14) meninggal setelah ditabrak bus PPD Transjakarta di Jalan Senen Raya, Jakarta Pusat, 9 Maret 2020 sekitar pukul 11.00 WIB.
Saat itu, Samuel bersama temannya tengah menyeberang jalan jalur Transjakarta melalui sela-sela pemisahan jalan. Dalam peristiwa itu, akhirnya Samuel tewas ditabrak oleh bus PPD Transjakarta dengan nomor polisi B7659TGB yang dikemudikan oleh Budiyanto (31).
”Serupa dengan Hasya, Samuel meninggal dan dinyatakan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian Polda Metro Jaya. Alasannya pun sama, yakni dinyatakan melanggar aturan lalu lintas dan menyebabkan korban meninggal dunia sehingga pemeriksaan dihentikan karena tersangka telah meninggal,” kata Tigor.
Menurut Tigor, pada kedua kasus tersebut, polisi tidak berpihak kepada korban dan justru menjadikan korban sebagai tersangka dengan menggunakan aturan hukum lainnya. Untuk itu, Tigor menyarankan agar keluarga korban lebih baik melaporkan jajaran penyidik, termasuk Dirlantas Polda Metro Jaya, yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum kepada Kepala Kepolisian Daerah Polda Metro ataupun Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, turut menyampaikan, terdapat kejanggalan dalam keputusan polisi yang menghentikan penyidikan kasus Hasya. Menurut Bambang, keputusan penyidik itu justru bertentangan dengan norma keadilan secara umum.
”Orang korban sudah meninggal malah ditersangkakan. Kalau korban sudah meninggal yang mau dipertanyakan itu apa? Seorang yang sudah meninggal semuanya batal delik hukum itukan jadi blunder, orang yang sudah meninggal dipertanyakan. Logika umum tentu tidak akan sampai ke sana,” ujar Bambang.
Bambang menjelaskan, alangkah baiknya jika penetapan tersangka diputuskan melalui peradilan. Apalagi, terdapat alat bukti yang cukup, seperti hasil otopsi, kendaraan yang terlibat kecelakaan, dan keterangan saksi.
”Kalau polisi yang memutuskan, justru akan memunculkan asumsi bahwa polisi ini main-main meski kita juga tahu bahwa pola seperti ini sering kali dilakukan polisi dalam kasus laka lantas, apalagi yang mengakibatkan korban meninggal,” kata Bambang.