Swastanisasi Air di Jakarta, Masyarakat Sipil Tuntut Jaminan Ketersediaan
Kontrak PAM Jaya dengan PT Palyja dan PT Aetra berakhir pada 31 Januari 2023. Adapun swastanisasi air di Jakarta selama seperempat abad ini telah memproduksi ketimpangan penguasaan dan distribusi air.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan dan Hak atas Air atau Gerak bersurat secara terbuka kepada Penjabat Gubernur terkait masalah yang akan timbul akibat kebijakan baru pengelolaan air di Jakarta. Cakupan air bersih yang baru 65,85 persen di Jakarta menandakan swastanisasi air telah memproduksi ketimpangan penguasaan air.
”Kami sudah melayangkan surat terbuka pada Senin (30/1/2023) dan mendapatkan tanda terima. Harapan dari surat terbuka ini adalah Pemerintah Jakarta membuka ruang pertemuan, audiensi, dan menyampaikan dengan jelas proses evaluasi, transisi, dan rencana ke depan terkait pengelolaan air bersih di Jakarta,” kata Jihan Fauziah Hamdi, anggota Gerak.
Dalam surat terbuka, Gerak memiliki beberapa tuntutan kepada Penjabat Gubernur beserta jajaran Pemerintah Provinsi Jakarta dan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Jaya (PAM JAYA). Tuntutan tersebut meliputi pemberian jaminan ketersediaan air dan evaluasi penyelenggaraan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Aetra dan PT Palyja.
Selain itu, Gerak juga menuntut Pemerintah Jakarta dan PAM Jaya membuka informasi dan bertemu dengan warga untuk membahas pengelolaan air. Pemerintah Jakarta juga dituntut melakukan remunisipalisasi air atau mengembalikan lagi pengelolaan barang publik yang diprivatisasi.
Setelah bekerja sama selama 25 tahun, kontrak pengelolaan air bersih antara PAM Jaya dan PT Palyja dan PT Aetra akan habis pada 31 Januari 2023. Pada 14 Oktober 2022, PAM Jaya meneken kontrak kerja sama dengan PT Moya Indonesia. Jihan menilai penandatanganan ini dilakukan secara tiba-tiba tanpa partisipasi publik.
”Dari tiga dasar hukum yang melandasi pengelolaan air di DKI Jakarta ke depannya, kami hanya mendapat dua salinan aturan. Keduanya adalah Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2022 dan Nota Kesepakatan antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Pemerintah Provinsi DKI tanggal 3 Januari 2022. Adapun, Keputusan Direksi PAM JAYA Nomor 65 Tahun 2022 yang juga menjadi landasan penyelenggaraan pengelolaan air bersih belum kita dapatkan,” sebut Jihan.
Menurut dia, rencana pengelolaan air Jakarta yang tidak didasari pada evaluasi menyeluruh pengelolaan air sebelumnya, berpotensi mengulangi permasalahan serupa. Termasuk ketika dasar pengelolaannya tidak dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.
”Swastanisasi air telah melanggar hak atas konstitusi warga negara, air yang seharusnya dikelola oleh sektor publik kemudian dikelola oleh swasta yang orientasinya profit. Dalam praktiknya, masih banyak warga yang susah mendapatkan air bersih, kalaupun dapat, harganya cukup mahal, seperti yang terjadi di beberapa titik di Jakarta Utara,” ujar Jihan.
Berdasarkan Laporan Tahunan PAM Jaya 2021, cakupan pelayanan air bersih oleh PAM Jaya di Jakarta masih di angka 65 persen. Pada 2023, cakupan ini ditargetkan mencapai 82 persen dan ditargetkan menjadi 100 persen pada 2030.
Beberapa rencana yang akan dilakukan PAM Jaya meliputi penambahan pasokan air baku dan curah, serta penurunan tingkat kehilangan air. PAM Jaya juga merencanakan pembangunan jaringan distribusi di area yang belum terlayani, dan edukasi penduduk untuk berganti dari mengonsumsi air tanah ke air minum.
Swastanisasi air menyebabkan produksi ketimpangan dalam berbagai bentuk. Di Jakarta, mereka yang mampu mengebor sumur dalam memiliki akses ke air tanah yang lebih bersih. Namun mereka yang tidak bisa, menutupi kebutuhan airnya dengan berbagai cara termasuk membeli air atau menggunakan air tanah dangkal yang tidak bersih. (Bosman Batubara)
Pihak PAM Jaya belum merespons saat dimintai tanggapan terkait kontrak baru dan tuntutan masyarakat sipil itu. Direktur Umum PAM Jaya Arief Nasrudin saat dihubungi juga belum merespons.
Periset di Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University, Bosman Batubara, mengatakan, cakupan pelayanan yang belum 100 persen menyebabkan terjadinya ekstraksi air tanah secara terus-menerus. Di daerah utara Jakarta, warga kesulitan mengakses air tanah yang bersih karena air tanah dangkal yang kurang dari 40 meter telah terkontaminasi. Sementara untuk mengebor air yang lebih dalam membutuhkan biaya yang mahal.
”Swastanisasi air menyebabkan produksi ketimpangan dalam berbagai bentuk. Di Jakarta, mereka yang mampu mengebor sumur dalam memiliki akses ke air tanah yang lebih bersih. Namun mereka yang tidak bisa, menutupi kebutuhan airnya dengan berbagai cara, termasuk membeli air atau menggunakan air tanah dangkal yang tidak bersih,” kata Bosman.
Di sisi lain, ekstraksi tanah juga menjadi penyebab amblesan tanah. Lebih lanjut, amblesan tanah, utamanya di Jakarta Utara, menyebabkan risiko banjir dan rob yang tinggi.
Ironisnya, korban yang paling awal terdampak rob bukan mereka yang mengekstraksi tanah dan menyebabkan amblesan tanah, tapi justru kelompok miskin perkotaan. Hal ini karena mereka yang mengekstraksi tanah dengan mengebor tanah dalam merupakan kelompok orang kaya dan sektor-sektor komersil, seperti hotel, mal, dan pabrik.
Kronis
Bosman menilai masalah akses terhadap air, amblesan tanah, dan banjir sudah semakin kronis di Jakarta. Salah satu cara menanganinya adalah memperbaiki pelayanan PAM Jaya, misalnya melalui ekspansi jaringan. Ekspansi jaringan inilah yang tidak dikerjakan secara signifikan oleh sektor swasta.
”Selama 25 tahun PAM Jaya bekerja sama dengan Palyja dan Aetra, cakupan pelayanan air bersih di Jakarta masih mencapai 65,85 persen. Hal ini kontradiktif dengan klaim dan argumen yang mengatakan bagusnya pengelolaan sumber daya oleh swasta,” ujar Bosman.