Konsumen kelas menengah sebagai pasar hunian seharga Rp 200 juta-Rp 1 miliar per unit tercatat sebagai kelompok rawan terjerat masalah. Pengembang rata-rata terbentur isu perizinan lahan hingga pembiayaan proyek hunian.
Oleh
STEFANUS ATO, AGUIDO ADRI
·6 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Para korban berdiri di tanah kosong yang rencananya akan berdiri apartemen Cimanggis City, Kota Depok, Jawa Barat, (16/12/2022). Mereka membentangkan spanduk protes dan tuntutan kepada pihak pengembang agar mengembalikan uang yang sudah mereka bayarkan.
Konsumen yang memburu rumah dengan harga di bawah Rp 1 miliar sering jadi sasaran empuk pengembang nakal. Strategi pemasaran yang manipulatif berupa promosi masif, diskon berlipat ganda, dan harga terjangkau kerap membuat konsumen tertipu.
Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), aduan konsumen terkait masalah perumahan termasuk salah satu aduan tertinggi. Dalam kurun waktu lima tahun atau dari 2017 sampai 6 Januari 2023, aduan perumahan mencapai 3.034 kasus. Aduan konsumen terkait masalah perumahan hanya setingkat di bawah aduan konsumen di bidang jasa keuangan yang mencapai 3.081 kasus.
Dari data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), komoditas pengaduan perumahan selama lima tahun terakhir dengan presentase cukup tinggi terjadi pada 2018 dan 2021, yakni sebesar 14 persen dan 11,40 persen. Catatan YLKI pada 2021, aduan konsumen perumahan didominasi aduan pembangunan perumahan mangkrak, yakni mencapai 37 persen.
Pembangunan hunian mangkrak terutama hunian vertikal saat ini tengah dialami sejumlah konsumen Meikarta di Kabupaten Bekasi dan Cimanggis City di Depok. Di Meikarta, ada sejumlah konsumen yang bahkan telah melunasi pembelian unit apartemen, tetapi kunci apartemen yang harusnya diserahkan sesuai janji awal, yakni pada 2019-2020, belum terwujud.
Alat berat digunakan untuk meratakan tanah pada proyek Distrik 1 Meikarta di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (6/1/2023).
Ferry Silaban, salah satu konsumen Meikarta, misalnya, membeli satu unit apartemen di Distrik 2 Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar, menggunakan pembayaran tunai bertahap selama 12 bulan pada 2017. Pembelian dengan skema cash bertahap itu sudah dilunasi sejak September 2018. Total biaya yang dikeluarkan untuk apartemen seluas 35 meter persegi itu mencapai Rp 254 juta.
”Di dalam P3U (penegasan dan persetujuan pemesanan unit) tertera serah terima unit itu pada 31 Desember 2019. Rata-rata konsumen memang serah terima di rentang waktu Desember 2019 sampai awal 2020,” kata Ferry.
Usai pelunasan dan lewat waktu serah terima atau hingga 2022, dia belum mendapat kejelasan mengenai unit apartemen itu. Pihak Meikarta pernah memberi tawaran agar Ferry direlokasi ke unit yang telah terbangun, yakni Distrik 1 Meikarta.
Namun, lelaki yang bekerja di salah satu perkantoran swasta di wilayah SCBD, Jakarta Selatan, itu menolak lantaran relokasi itu berbayar. Konsumen diminta relokasi dengan menambah sejumlah uang.
Terkait tuntutan sejumlah konsumen Meikarta, Grup Lippo melalui anak usahanya, PT Lippo Cikarang (LPCK), menyebut kalau perselisihan dengan pembeli Meikarta sudah diselesaikan melalui kesepakatan damai di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kesepakatan berupa putusan homologasi itu dinyatakan berkekuatan hukum tetap atau inkracht pada 26 Juli 2021.
Sekretaris Perusahaan LPCK Veronika Sitepu menyatakan, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku anak usaha LPCK yang mengelola proyek Meikarta di Cikarang sudah menginformasikan putusan homologasi itu kepada semua pembeli yang belum menerima unit. Dalam putusan homologasi itu, penyerahan unit dilakukan bertahap hingga 2027 (Kompas, 15/12/2022).
Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati, dihubungi terpisah, belum bersedia menjawab terkait tudingan dari sejumlah konsumen Meikarta. Danang saat dihubungi pada Senin (23/1/2023) tepatnya pukul 14.00 meminta Kompas menunggu sebentar. Namun, pada Senin pukul 19.50, dia kembali memberi kabar kalau sedang berada di rumah sakit.
Tak lama kemudian, Danang kembali merespons dengan pesan singkat. ”Saya sudah tidak urusin itu,” katanya.
Sasar kelas menengah
Kasus warga tertipu juga terjadi di Depok, Jawa Barat. Ada sekitar ratusan warga yang menanti tanpa kejelasan pembangunan apartemen Cimanggis City, Depok. Lokasi pembangunan apartemen dengan luas lahan sekitar 1 hektar itu berada di tepi Jalan Raya Bogor, Kota Depok. Lahan itu masih kosong, dipenuhi belukar, dan hanya ada mesin pengaduk semen yang telah berkarat.
Dari catatan Kompas.com, proyek apartemen Cimanggis City pada akhir 2018 mampu membukukan penjualan 685 unit atau senilai Rp 92 miliar pada semester I-2019.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kantor pemasaran apartemen Cimanggis City di Jalan Raya Bogor, Depok, Jawa Barat, Senin (23/1/2023).
Konsumen yang tertipu itu yang membeli rumah dengan harga Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Sasaran mereka (pengembang) itu kelas menengah ke bawah.
Kisaran harga unit yang dijual di Cimanggis City Rp 300 juta-Rp 500 juta. Pekan lalu, kantor pemasaran mereka di lokasi yang sama kosong dan tidak ada orang. Kini, manajemen pengembang proyek ini masih bungkam terkait nasib konsumen yang telah membeli ratusan unit apartemen tersebut. Kantor pemasaran mereka di tepi Jalan Raya Bogor pun kosong dan tak ada lagi aktivitas.
Ketua Advokasi BPKN Rolas Budiman Sijintak mengatakan, konsumen yang rentan tertipu merupakan konsumen yang membeli hunian tapak atau hunian susun yang belum terbangun atau pre-project selling. Manipulasi pengembang melalui promosi yang masif, diskon berlipat ganda, hingga harga murah kerap membuat konsumen terpedaya. Akibatnya, konsumen sering lupa dan tak jeli mengecek status kepemilikan lahan, perizinan, dan rekam jejak pengembang.
”Konsumen yang tertipu itu yang membeli rumah dengan harga Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Sasaran mereka (pengembang) itu kelas menengah ke bawah,” kata Rolas, Senin (16/1/2023), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan, hunian dengan kisaran harga di bawah Rp 1 miliar yang dibangun pengembang dan kerap berakhir merugikan konsumen, biasanya dibangun oleh pengembang-pengembang baru. Mereka sering kali saat mengajukan pinjaman ke bank dikenai suku bunga tinggi karena belum memiliki rekam jejak dalam bisnis properti.
”Jika bunganya ingin diturunin, pengembang mesti kasih uang muka dengan jumlah besar ke bank. Risiko ke pengembang tentunya juga jadi lebih tinggi,” kata Wendy, Selasa (17/1/2023).
MUHAMMAD YUNIADHI AGUNG
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto difoto di kantornya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan.
Pengeluaran dalam jumlah besar sejak awal jadi pertimbangan pengembang untuk memulai penjualan unit hunian lebih awal. Namun, saat penjualan sudah berjalan masif, negosiasi dengan sejumlah pihak, misalnya dengan kontraktor, bisa saja buntu karena biaya pembangunan yang diminta kontraktor jauh lebih besar.
Posisi konsumen lemah
Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, mengatakan, pembelian rumah yang belum terbangun atau pre-project selling sudah pasti berisiko bagi konsumen. Strategi pemasaran mulai dari melaunching proyek, menampilkan maket, menawarkan diskon hingga 30 persen dari daftar harga, menyediakan pembayaran cash atau skema kredit kepemilikan rumah merupakan modus lama yang sering digunakan pengembang.
”Ini modus lama, tetapi sering membuat konsumen tidak berpikir panjang. Developer dapat dana segar, besar, tetapi konsumen dirugikan karena siapa yang bisa menjamin proyek ini dibangun atau serah terima tepat waktu sesuai perjanjian. Ini terjadi di Meikarta juga,” kata Sudaryatmo.
Menurut Sudaryatmo, konsumen selalu berada pada posisi tidak adil sejak dalam kontrak atau unfair contract. Sampai saat ini, belum ada lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengawasi perjanjian pengikat jual beli (PPJB) antara pengembang dan konsumen.
Ketidakadilan konsumen sejak kontrak sebenarnya sudah terjawab atau diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 18 regulasi tersebut disebutkan, pelaku usaha saat menawarkan barang atau jasa dilarang mencantumkan klausula baku atau syarat dan ketentuan sepihak yang telah dipersiapkan terlebih dahulu pada setiap dokumen atau perjanjian.
Namun, pasal yang mengatur unfair contract itu belum terealisasi. Ini terjadi karena UU Perlindungan Konsumen, motor penggeraknya ada di Kementerian Perdagangan.
Pengurus Harian Yayan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo
”Masalahnya saat ini, Kemendag gamang bikin aturan pelaksanaan terhadap klausa baku karena itu isu legal. Sementara Kementerian Hukum dan HAM sampai saat ini belum ada fungsi mengurusi kontrak yang tidak adil,” kata Sudaryatmo.
Sudaryatmo menilai, dari sisi regulasi dan kelembagaan, Kementerian Pekerjaan Umum dah Perumahan Rakyat memiliki kewenangan mengawasi pembangunan rumah serta memberi kanal khusus dalam mengakomodasi aduan konsumen. Namun, di kementerian itu belum punya memiliki struktur khusus yang menangani persoalan di bidang perumahan.
”Menteri PUPR mesti bikin pedoman teknis sektor perlindungan konsumen di sektor properti, baik hunian vertikal maupun tapak. Itu jadi panduan bagi konsumen ketika ada kasus dan termasuk panduan dari pengembang,” katanya.