Integrasi antarmoda hingga pembangunan berorientasi transit sangat penting diwujudkan untuk menekan biaya transportasi serta menarik warga memanfaatkan angkutan umum.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mengupayakan solusi untuk menurunkan biaya transportasi warga. Saat ini, rata-rata warga masih harus mengeluarkan 20 persen dari pendapatan per bulan untuk menggunakan baik angkutan umum maupun pribadi. Integrasi antarmoda hingga pembangunan berorientasi transit penting untuk menekan biaya dan menarik orang naik transportasi publik.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo, Rabu (14/12/2022), mengatakan, tingginya biaya transportasi warga tidak terlepas dari dampak kemacetan lalu lintas. Biaya sekitar 20 persen pendapatan per bulan terbilang sangat besar jika hanya untuk transportasi.
Survei Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) bersama Dishub DKI dan PT Jaklingko pada 2021 terhadap 1.523 responden menemukan, lebih dari separuh warga mengeluarkan dana Rp 500.000 per bulan untuk ongkos transportasi.
Kemudian, sebanyak 45,6 persen warga mengeluarkan dana Rp 500.000-Rp 1 juta untuk ongkos kendaraan pribadi, ojek daring atau ojek pangkalan, dan taksi daring yang digunakan sebelum naik ke transportasi umum. Sisa responden mengeluarkan dana di atas Rp 1 juta.
Jika menggunakan patokan rata-rata upah minimum regional (UMR) 2021 di sembilan wilayah Jabodetabek, gaji pekerja pada tahun itu Rp 4.382.343,11 per bulan. Apabila sebagian warga mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum dan pribadi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan, biaya transportasi mereka di atas 20 persen.
”Rekomendasi Bank Dunia, dari penghasilan bulanan masyarakat, maksimal 10 persen yang dikeluarkan untuk biaya transportasi, baru orang itu dinyatakan hidup layak di suatu kota,” kata Syafrin.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menargetkan menurunkan biaya transportasi hingga di bawah satu digit atau lebih rendah daripada rekomendasi Bank Dunia.
Kabar baik dari survei DTKJ ini, pengeluaran khusus untuk penggunaan angkutan umum sebenarnya relatif kecil. Untuk satu kali perjalanan transportasi umum di Jakarta, 36,6 persen responden membutuhkan dana Rp 5.000-Rp 10.000, sedangkan 20,5 persen memerlukan dana Rp 2.000-Rp 5.000.
Selanjutnya, 18,9 persen membutuhkan dana Rp 10.000-Rp 15.000, lalu 12,5 persen memerlukan Rp 15.000-Rp 20.000, dan 11,5 persen mengeluarkan lebih dari Rp 20.000.
Murahnya ongkos angkutan umum di Jakarta disyukuri Daniya (26), warga Kota Bekasi. Setiap hari kerja, ia memanfaatkan angkot dan bus Transjakarta untuk pergi ke kantornya di kawasan Sudirman. Ongkos pulang pergi setiap hari kurang dari Rp 20.000 sehari.
"Ada kalanya harus menggunakan ojek daring untuk menerobos macet. Saya biasanya mendepositkan Rp 200.000 sebulan. Jadi ini sama sekali enggak memberatkan saya yang gajinya Rp 2 juta lebih dari UMP," kata karyawati di bidang telekomunikasi itu.
Rikobimo Ridjal Badri, anggota Komisi Tarif dan Pembiayaan Dewan Transportasi Kota Jakarta, Jumat (16/12), merekomendasikan pengeluaran ongkos ditekan setidaknya menjadi 18 persen dari pendapatan warga dengan mengoptimalkan penggunaan angkutan umum.
Pemprov DKI telah mencoba memberikan tarif bundling 10.000 per tiga jam. Kalau itu bisa berjalan, baru ongkos bisa turun hampir 18 persen per bulan.
Rekomendasi itu kini dijawab dengan program integrasi tarif Jaklingko untuk penggunaan tiga moda transportasi, yaitu angkot Jaklingko, Bus Transjakarta, dan MRT. Mulai tahun ini, warga yang menggunakan MRT bersama dua atau salah satu moda angkutan lainnya dalam periode tiga jam hanya dikenai ongkos maksimal Rp 10.000.
"Pemprov DKI telah mencoba memberikan tarif bundling 10.000 per tiga jam. Kalau itu bisa berjalan, baru ongkos bisa turun hampir 18 persen per bulan. Kita butuh usaha lebih, karena kalau bicara tarif, bicara langsung ke kantong dan penghidupan orang," kata Syafrin.
Namun, bagi sebagian komuter, rendahnya tarif angkutan belum jadi penarik. Faktor biaya sampai kemacetan belum jadi urgensi atau sesuatu yang mendesak karena masih ada alternatif transportasi yang lebih mudah dan nyaman.
Irsyan (24), warga Kramat Jati, Jakarta Timur, misalnya, lebih memilih naik motor sendiri untuk pergi kerja di toko konveksi di Senen, Jakarta Pusat, setiap hari. Motor ia pilih kendati banyak pilihan angkutan umum yang bisa ia naiki dari rumahnya.
"Alasannya lebih ke kenyamanan sama ongkos aja. Sehari saya cuma perlu isi bensin 1 liter, sehari ngeluarin kurang dari Rp 20.000," katanya.
Pengeluaran itu menurutnya hampir sama dengan ongkos jika harus pulang pergi dengan angkutan umum. Bahkan bisa lebih karena ia harus naik angkot bukan Jaklingko yang ongkosnya ikut terkerek kenaikan harga bahan bakar minyak.
"Biaya ongkos masih nutup, walau penghasilan saya Rp 100.000 sehari. Biaya bensin biasa saya keluarin dari uang tip atau bonus-bonus atasan aja," ungkapnya.
Faktor biaya seperti BBM kendaraan yang naik juga tidak mengubah pendirian sebagian besar pemilik kendaraan pribadi yang disurvei Litbang Kompas, pada tanggal 15-17 November 2022. Sebanyak 434 orang dari 504 responden (86,1 persen) di Jabodetabek mengaku kenaikan BBM tidak berpengaruh pada mereka.
Sebanyak 13,3 persen responden mau menggunakan kendaraan pribadi meski hanya sesekali. Lalu, hanya 0,06 persen yang mengatakan kenaikan BBM membuat mereka beralih ke bus dan taksi/ojek.
Berkaca dari hasil survei itu, keberadaan berbagai layanan moda angkutan umum dan massal yang menurut Dinas Perhubungan DKI telah menjangkau 83 persen populasi warga Jakarta dalam radius 500 meter, ternyata belum disadari dan belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
Pada saat bersamaan, hanya 26,2 persen dari total penduduk Bodetabek yang terjangkau simpul angkutan umum massal, sesuai analisis Kompas di awal 2022, (Kompas.id, 3/2/2022).
Untuk itu, integrasi tarif dinilai langkah baik tetapi perlu diikuti integrasi angkutan umum serta perluasan layanan hingga ke wilayah Bodetabek. Lebih lanjut, pengamat perkotaan dan dosen Universitas Trisakti Yayat Supriatna mendorong perlu ada ketegasan pemerintah pusat dan daerah se-Jabodetabek untuk fokus membangun kota berorientasi transit (TOD) demi mengurai kemacetan di wilayah aglomerasi terbesar di Indonesia ini.
TOD kini mulai didukung dengan pembatasan kendaraan pribadi dan pembangunan hunian di pusat-pusat kota, selain pengembangan jaringan angkutan umum. Upaya ini selain untuk mengurangi kemacetan, juga untuk meminimalkan waktu tempuh perjalanan warga, khususnya yang bekerja di pusat kota.