Saatnya DKI Mengendalikan Pemakaian Kendaraan Pribadi
Jakarta semakin fokus ke pengembangan berorientasi transit. Oleh karena itu, saatnya pengendalian kendaraan pribadi sebagai salah satu pemicu kemacetan dengan mengoptimalkan transportasi publik.
Untuk mengurangi kemacetan dan membangun kota yang lebih baik, Jakarta semakin meninggalkan pembangunan berorientasi kendaraan bermotor pribadi dengan mengarusutamakan pembangunan berorientasi transit. Akan tetapi, populasi kendaraan pribadi yang mendominasi lalu lintas di Ibu Kota dan salah satu pemicu kemacetan masih perlu dikendalikan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Jalan Gatot Subroto, perempatan Slipi Petamburan, Jakarta Pusat, padat pada Kamis (15/12/2022). Kendaraan bermotor macet mengular di tiga lajur sepanjang setidaknya 1 kilometer.
Di antara antrean kendaraan itu, ada saja satu dua mobil berpindah ke lajur yang lebih lengang walaupun seharusnya tidak boleh dilakukan. Keputusan para pengemudinya justru menambah sumbatan aliran arus kendaraan.
Selain mobil penumpang, di sisi kiri jalan kendaraan roda dua menyemut. Sebagian dari mereka juga menyempil di antara deretan panjang mobil yang menurun dari jalan layang yang berpotongan dengan Jalan Tentara Pelajar. Beberapa pesepeda motor ada yang nekat masuk ke jalur khusus bus Transjakarta demi menghindari kemacetan.
”Aktivitas masyarakat sekarang sudah seperti fenomena 2019, sebelum pandemi. Pasti pergerakan transportasi semakin besar,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Latif Usman di Jakarta, kemarin.
Selain karena meningkatnya aktivitas masyarakat, aktivitas pembangunan dan perawatan sarana dan prasaran umum di jalan juga ikut memicu kemacetan.
Baca juga : Mendobrak Hegemoni Kendaraan Pribadi di Jabodetabek
Penggunaan kendaraan pribadi, baik mobil dan sepeda motor, di Jakarta kembali marak setelah pandemi Covid-19 terkendali. Akibatnya, seperti laporan TomTom Index yang diambil pada 3-9 Desember 2022, rata-rata level kemacetan melebihi periode sama tahun 2021 dan hanya selisih lebih rendah dari tahun 2019.
Puncak kemacetan terjadi di jam pulang pukul 17.00. Pada pekan itu ada tiga hari di mana kemacetan hampir menyentuh level 90 persen. Ini artinya, waktu tempuh perjalanan 90 persen lebih lama dari waktu tempuh tanpa kemacetan.
Kemacetan belakangan ini jadi makanan sehari-hari Daniya (26) yang bekerja di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta Pusat. Warga Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, itu mengandalkan angkutan umum setiap hari kerja. Ia bersyukur karena transportasi publik mudah dijangkau dari rumahnya.
Ia hanya perlu berjalan kaki 200 meter ke jalan besar untuk naik mobil angkot KR yang bisa membawanya ke Halte Bus Pinang Ranti. Dari halte ia naik bus Transjakarta tujuan Halte Bundaran Senayan, lalu transit bus koridor I untuk menuju Halte Karet Sudirman. Dari halte itu, ia cukup berjalan 50 meter ke kantornya. Rutinitas itu ia lakukan empat tahun terakhir.
Semua perjalanan menjangkau angkutan umum itu tidak menguras energi. Emosi justru terkuras karena kemacetan yang menghadang di jalan. Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan Gatot Subroto menjadi neraka setiap kali ia berangkat dan pulang kerja karena ramai mobil dan motor pribadi.
”Tinggal dan kerja di Jakarta, tapi rasanya seperti Jakarta-Bandung setiap hari (karena lamanya perjalanan akibat macet),” ujarnya, Jumat (9/12).
Baca juga: Strategi Atasi Kemacetan di Periode Natal Diterapkan
Daniya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenyamanan mengakses transportasi umum masih harus direcoki kemacetan yang membuat stres, terutama sebelum dan setelah pandemi ini. Ia jadi bernostalgia dengan pengalamannya ikut ibunya bekerja di pusat kota sewaktu duduk di bangku sekolah dasar.
Seingatnya, saat itu sistem angkutan umum tidak sebaik sekarang. ”Dulu suka ikut ibu kerja di Gunung Sahari naik bus. Waktu perjalanan enggak beda jauh sama sekarang. Cuma ditambah angkutan yang kita naikin sering ngetem dan banyak pengamen aja,” katanya.
Kemacetan Jakarta memang tidak terlepas dari terus bertambahnya jumlah kendaraan pribadi. Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta mencatat, pada 2021 jumlah mobil yang berlalu lalang di Jakarta mencapai 4,1 juta unit dan sepeda motor 16,5 juta unit. Dibandingkan lima tahun lalu pada 2017, jumlah mobil hanya 2,8 juta unit dan sepeda motor 14 juta unit.
Belajar dari masa lalu
Ramainya kendaraan pribadi di jalanan Jakarta tidak lepas dari kebijakan pada masa lalu. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setidjowarno mengatakan, kebijakan pemerintah pusat mengenai industri mobil dan motor nasional berdampak banyak terhadap Jakarta sebagai pasar besar perdagangan dalam negeri.
Pada 2005, angka penjualan motor memecahkan rekor karena mampu menembus angka 5,089 juta unit setahun dari penjualan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar kurang dari 3 juta unit sejak 2000. Setelah itu, angka penjualan terus merangkak naik signifikan hingga 6-7 juta per tahun.
Ini eranya Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Penjabat ini enggak ada kepentingan politik. Jadi, lebih baik fokus pada kebijakan push saja. Selama ini, push enggak jalan karena enggak ada keberanian dari pemprov (Djoko Setijowarno)
Faktor keterpurukan ekonomi nasional, seperti inflasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) hingga pandemi Covid-19 dua tahun, terakhir hanya mengurangi jumlah penjualan sepeda motor sekitar 10-50 persen. Jumlah penjualan kemudian naik kembali ke tren sebelum adanya gangguan itu.
Menurut Djoko, masa kekacauan itu sudah lama, setidaknya sejak 2010-2013. Kala itu, keterpurukan transportasi di Indonesia ditandai dengan mayoritas kendaraan di Jabodetabek atau sekitar 75 persennya adalah sepeda motor.
Baca juga: Momentum untuk Membatasi Kendaraan Pribadi
Pada 2013, lahir program mobil Low Cost Green Car (LCGC) atau kendaraan hemat energi dan harga terjangkau (KBH2) pada 2013. Mobil jenis ini awalnya direkomendasikan untuk kendaraan di lingkungan perdesaan. Pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil LCGC dipatok nol persen.
Mobil murah yang desainnya city car atau mobil kota itu nyatanya lebih banyak dijual di perkotaan, termasuk Jabodetabek. Hadirnya mobil ini mendongkrak penjualan mobil secara umum. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan sejak era LCGC selalu di atas 1 juta unit per tahun. Kecuali, pada tahun pandemi yang membuat penjualan mobil anjlok.
Penyebaran penjualan mobil penumpang di Jakarta sendiri sekitar 19-20 persen. Angka itu selalu bersaing dengan Jawa Barat di angka 18-20 persen dari rata-rata 1 juta unit terjual seantero negeri. Menyusul di belakangnya Banten, dan provinsi lain di Pulau Jawa yang masih menguasai sekitar 60 persen penjualan mobil.
Membatasi, bukan melarang
Mengatasi populasi kendaraan pribadi penyumbang macet di Jakarta dan sekitarnya, menurut Djoko, tidak harus dengan menyingkirkan kendaraan itu. ”Orang punya mobil enggak apa-apa. Tapi, jalan itu dilakukan pembatasan kendaraan pribadi,” katanya.
Selain itu, warga disediakan alternatif moda transportasi publik yang aman serta nyaman dan sesuai kebutuhan warga.
Sejauh ini, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah membuat beragam strategi mendorong (push) warga meninggalkan kendaraan pribadi, antara lain, kebijakan ganjil genap, three-in-one, tarif parkir progresif, serta jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Sayangnya, kebijakan yang dibuat lintas sektor ini dinilai masih setengah hati.
Untuk itu, agar tidak terus berkutat pada kemacetan, kini saatnya tegas menerapkan dan memasifkan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi seiring mempercepat pembangunan ataupun penataan angkutan publik eksisting.
Kebijakan jalan berbayar (ERP) butuh segera diwujudkan seiring penerapan tarif parkir progresif ataupun pengenaan pajak tinggi untuk kendaraan bermotor pribadi. Hal ini diiringi subsidi tepat lagi transparan untuk pembangunan layanan angkutan umum massal.
”Ini eranya Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Penjabat ini enggak ada kepentingan politik. Jadi, lebih baik fokus pada kebijakan push saja. Selama ini, push enggak jalan karena enggak ada keberanian dari pemprov,” katanya.
Baca juga: Pembatasan Kendaraan Belum Cukup
Yayat pun mengeluarkan jurus MRT 10, yaitu 10 menit terjangkau ke stasiun, 10 persen biaya pengeluaran mereka.
Pakar tata ruang dan dosen Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, kebijakan push layak diterapkan di wilayah Jakarta yang kebijakan pull atau penarik dengan layanan angkutan publiknya sudah baik. Kondisi ini seperti di wilayah Jakarta Pusat.
Selain dengan kebijakan lalu lintas, kebijakan terkait Jakarta sebagai kota berorientasi transit (transit oriented development/TOD) sebagaimana tertuang dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2022 juga perlu difokuskan. Dalam RDTR itu, pembangunan Jakarta harus menghadirkan intensifikasi pertumbuhan bangunan di titik transit dengan koefisien lantai bangunan (KLB).
”Dengan konsep TOD, kita bangun hub baru, simpul baru. Di RDTR, Pemprov DKI merekomendasikan bangunan boleh tinggi sehingga diharapkan rumah terjangkau. Dengan rumah terjangkau, kemungkinan mereka bisa difasilitasi public transport ke mana-mana mudah, ongkos terjangkau, kecepatan pasti,” katanya.
Pembangunan hunian di sekitar koridor transportasi publik juga berguna memaksimalkan jumlah penumpang transportasi itu sendiri. Contohnya, moda transportasi MRT yang rata-rata jumlah penumpangnya baru 40.000-50.000 orang per hari. Padahal, kapasitas MRT bisa lebih dari itu.
Baca juga: Akses Transportasi untuk Hunian Perlu Dihidupkan
Untuk itu, ia mendukung program MRT yang bekerja sama dengan agensi layanan properti sewa, seperti Rukita atau Mamikos. Kerja sama ini mendorong anak-anak milenial mau tinggal di dekat stasiun dengan harga terjangkau dan mudah. Yayat pun mengeluarkan jurus MRT 10, yaitu 10 menit terjangkau ke stasiun, 10 persen biaya pengeluaran mereka.
Pembangunan ekosistem berupa lahan parkir atau park and ride, seperti di Stasiun MRT Lebak Bulus yang ada di perbatasan Jakarta dan Banten, juga sudah tepat. Pembangunan park and ride yang berada di daerah asal perjalanan atau pinggir kota Jakarta menjadi solusi bagi warga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) yang tetap perlu membawa kendaraan pribadi untuk menuju Jakarta.
”Makanya, dengan konsep ini, pembatasan perjalanan dilakukan, ada BRT, ganjil genap, tarif parkir mahal, beli atau sewa tempat tinggal makin murah, orang makin mudah tinggal di tengah kota dan enggak tertarik naik kendaraan pribadi,” katanya.