Ada lima substansi penting arah pembangunan Jakarta. Beberapa di antaranya adalah kota yang berorientasi transit dan digital, perumahan yang layak, terjangkau dan berdaya, dan lingkungan hidup yang seimbang dan lestari.
Oleh
STEFANUS ATO, HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
Selama bertahun-tahun, Jakarta terus kehilangan penduduk akibat migrasi. Warga bergeser keluar Jakarta demi mencari tempat pemukiman layak, lingkungan bersih dan sehat, serta tempat kerja yang nyaman. Tanpa intervensi, Ibu Kota terancam ditinggal penduduknya atau menjadi kota yang tak lagi kompetitif.
”Pada 2018, Jakarta kehilangan lebih dari 280.000 penduduk akibat migrasi. Lalu, kantor-kantor juga mengalami penurunan tingkat okupansi. Jadi, vacancy rate (perkantoran) sudah mencapai 20 persen,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam acara sosialisasi Pergub Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Pergeseran penduduk keluar Jakarta terjadi lantaran selama berdekade, pembangunan ruang mengadopsi pendekatan berorientasi pada kendaraan pribadi, minimnya investasi pada pelayanan dasar, dan persoalan lingkungan yang tak jadi prioritas utama. Persoalan-persoalan itu, secara kasat mata terekam dari kepemilikan kendaraan pribadi yang mencapai 16 juta sepeda motor dan 3,5 juta mobil. Di Ibu Kota juga terjadi segregasi, yakni ada kampung, ada kompleks, ada warga makmur, dan warga pramakmur. Kelompok-kelompok ini berada dalam kluster masing-masing yang tidak saling terhubung.
”Kita juga, tempat di mana sering paling berpolusi, walaupun sebagian bukan dari kita. Kemudian kita juga tempat yang sering mengalami banjir besar,” kata Anies.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah menelurkan berbagai kebijakan dan program dalam menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Program-program tersebut mulai terlihat hasilnya. Di bidang transportasi, misalnya, jumlah pengguna transportasi publik terus meningkat. Di 2020, jumlah pengguna transportasi publik mencapai 1,06 juta orang per hari atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan pada 2016.
Peningkatan jumlah penumpang itu tidak terlepas dari cakupan layanan transportasi di Ibu Kota yang melonjak dua kali lipat atau telah mencapai 80 persen. Di 2017, cakupan layanan transportasi publik di Jakarta baru 42 persen.
”TomTom Traffic Index menunjukkan bahwa peringkat Jakarta di dalam ranking kota termacet di dunia mengalami penurunan. Kita di 2017 adalah kota termacet nomor tiga di dunia. Di 2019 turun jadi 10, lalu turun jadi 31 dan sekarang 46 dengan tingkat kemacetan menurun dari 58 persen menjadi 34 persen,” ucap Anies.
Jakarta juga pada 2020 mengurangi gas efek rumah kaca hingga 26 persen dari target mengurangi gas efek rumah kaca 30 persen pada 2030. Dampak banjir di Jakarta juga disebut semakin terkendali lantaran intensitas banjir yang terjadi waktu surutnya kian singkat dan tak menelan korban jiwa.
Bayangkan, ke depan, kendaraan umum 24 jam ada di kota ini, dan Anda tinggal di kawasan berorientasi TOD. Ke mana saja, kapan saja dengan kendaraan umum. That’s the future Jakarta
Jakarta di masa depan
Beberapa capaian pembangunan infrastruktur dan manusia di Jakarta selama empat tahun terakhir itu kemudian dilembagakan dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta. RDTR tersebut diharapkan bisa mempercepat proses transformasi karena ada aturan hukum yang mengikat.
Di dalam RDTR itu ada lima substansi penting arah pembangunan Jakarta di masa depan. Lima poin dimaksud, antara lain, Jakarta jadi kota yang berorientasi transit dan digital, perumahan yang layak, terjangkau dan berdaya, lingkungan hidup yang seimbang dan lestari, destinasi pariwisata dan global, serta magnet investasi dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
Adapun terkait arah pembangunan Jakarta di masa depan menuju kota yang berorientasi transit dan digital, Anies mengatakan, pembangunan berorientasi transit berarti pembangunan ke depan diprioritaskan pada penggunaan kendaraan umum. Artinya, di setiap kawasan yang berjarak atau radiusnya 800 meter dari stasiun diizinkan mendirikan bangunan yang tinggi.
Konsep ini bertujuan mengakomodasi warga yang semula tinggal di pinggiran Jakarta untuk kembali tinggal di dalam kota, tepatnya di kawasan berorientasi transit dan dihunian vertikal. Hunian vertikal cenderung menghemat ruang dan harga hunian per unit lebih mudah dan murah dijangkau.
”Lalu tidak perlu beli kendaraan pribadi karena dia tinggal di tempat yang bisa dijangkau kendaraan umum. Bayangkan, ke depan, kendaraan umum 24 jam ada di kota ini, dan Anda tinggal di kawasan berorientasi TOD. Ke mana saja, kapan saja dengan kendaraan umum. That’s the future Jakarta,” ucap Anies.
Pengembangan kawasan berorientasi transit akan dimulai dari kawasan yang sudah terbit panduan rancang kota (PRK) dan kawasan yang infrastruktur transportasinya sudah terbangun. Lokasi transit yang sudah memiliki PRK adakah lintasan MRT Jakarta Fase 1.
”Ada beberapa TOD yang sudah dilakukan penerbitan PRK, panduan rancang kotanya. Di MRT semuanya dari mulai Lebak Bulus sudah ada PRK dan infrastruktur sudah ada,” ucap Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang Heru Hermawanto.
Dua prioritas
Ahli tata kota Nirwono Yoga, yang dihubungi secara terpisah, mengapresiasi RDTR Jakarta 2022-2030. RDTR tersebut dinilai lebih tegas dari RDTR sebelumnya.
Meski lebih tegas, RDTR Jakarta dinilai masih belum fokus dan juga tidak konkret. RDTR Jakarta seharusnya fokus pada dua isu utama, yakni pembangunan berorientasi transit dan perumahan yang layak, terjangkau, dan berdaya. Sebab, poin-poin lain dalam RDTR itu bakal berjalan ketika dua isu utama itu teratasi.
”Soal kemacetan dan polusi, turunannya harus konkret. Misalnya, bagaimana melakukan transformasi transportasi publik yang mengintegrasikan semuanya secara keseluruhan. Tidak hanya Jakarta, tetapi harus juga Jabodetabek,” kata Nirwono.
Hal konkret lain yang luput dari RDTR Jakarta ialah kebijakan pembatasan kendaraan pribadi. Belum ada upaya konkret dalam RDTR itu untuk mengurangi atau membatasi penggunaan kendaraan pribadi yang masuk ke Jakarta. Sebab, penyediaan transportasi publik dinilai tak cukup jika tidak ada intervensi untuk mengajak warga beralih ke transportasi publik.
Hal lain yang juga jadi catatan Nirwono terkait ketersedian permukiman layak huni. Salah satu hal yang harus diprioritaskan, yakni misi Jakarta bebas banjir pada 2030.
Upaya pengendalian banjir Jakarta, terutama pembenahan dan perluasan aliran sungai, situ, dan waduk, hanya bisa berhasil apabila ada perencanaan yang berkesinambungan. Sebab, di area sekitar sungai, waduk, dan situ, misalnya, masih terdapat warga yang tinggal di sana.
Pemerintah seharusnya sudah menyiapkan rencana-rencana teknis berupa relokasi dan penyediaan rumah susun. Hunian itu juga harus dikonsepkan agar saling terhubung atau dibangun jadi kawasan baru yang juga berorientasi transit.
”Jadi, secara konkret tidak terurai langkah-langkah tegas. Konkretnya ini yang justru dalam tanda petik, dihindari,” tutur Nirwono.