Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Jakarta Masih Minim
Stasiun pemantauan kualitas udara yang ada di DKI Jakarta tidak respresentatif menunjukkan pencemaran udara di seluruh wilayah. Hal ini karena hanya ada lima mesin dengan cakupan deteksi 5 kilometer.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DKI Jakarta perlu menambah stasiun pemantauan kualitas udara atau SPKU yang saat ini hanya tersebar di lima titik di masing-masing kota administrasi. Hal ini berdampak pada hasil pemantauan yang kurang representatif sehingga tidak menunjukkan kondisi polusi yang sesungguhnya di DKI Jakarta.
Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Dermawan Sembiring pada Sabtu (10/12/2022) di Jakarta menjelaskan, Jakarta memiliki lima SPKU. Kelimanya adalah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat; Ruang Publik Terpadu Ramah Anak Kelapa Nias III, Jakarta Utara; Area Kebon Bibit Dinas Pertamanan Jagakarsa, Jakarta Selatan; Parkir Monumen Lubang Buaya, Jakarta Timur; dan Jalan Jeruk Kuning BI Srengseng, Jakarta Barat.
”Idealnya kita memiliki lebih dari lima SPKU karena satu SPKU mencakup area 5 kilometer (km). Ke depannya akan kami tambahkan jumlahnya,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Mewujudkan Udara Bersih di Perkotaan” yang diadakan Lokalab.co.
SPKU merupakan alat ukur utama penghitungan kualitas udara di Jakarta. Bentuknya merupakan kontainer dengan seperangkat alat pengukuran kualitas udara di dalamnya. Alat ukur ini kemudian mengategorikan kondisi udara di DKI Jakarta menjadi lima kategori, yaitu baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya.
Sebelumnya, Subkoordinator Urusan Pemantauan Kualitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Rahmawati menerangkan, idealnya Jakarta memiliki setidaknya satu SPKU di masing-masing kecamatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI, Jakarta memiliki 44 kecamatan yang tersebar di enam kota administrasi termasuk Kepulauan Seribu. Untuk memenuhi jumlah ideal ini, setidaknya Jakarta perlu menambah 39 SPKU lagi.
”Kendala utama dalam pengadaannya adalah pendanaan. Selain itu, alat ini diimpor dari luar negeri dan belum ada produk lokalnya,” ujar Rahma dihubungi terpisah.
Selain SPKU, DLH Jakarta sedang menguji coba sensor pengukuran kualitas udara, yaitu sensor berbiaya rendah atau low cost sensordi 12 titik ruas jalan ganjil genap. Selama satu bulan, uji coba akan dilakukan di titik ganjil genap yang meliputi Jalan Thamrin, Jalan Salemba, hingga Jalan Fatmawati.
”Pemasangan ini untuk melihat kondisi kualitas udara yang akan disandingkan dengan data traffic countdi jalur ganjil genap ini. Jadi, kita bisa melihat efektivitas kebijakan ganjil genap terhadap pengurangan polusi udara di Jakarta. Saat ini sedang dalam taraf uji coba karena peralatan yang kita pasang merupakan bantuan dari Vital Strategies dan Universitas Trisakti,” tuturnya.
Hasil uji coba ini akan digunakan sebagai pertimbangan pemasangan sensor dalam jangka waktu lebih panjang. Menurut rencana, pada awal 2023 sensor ini akan dipindahkan ke titik lain yang lebih strategis dengan kualitas udara yang buruk.
Co-Founder Bicara Udara, Novita Natalia, menyebutkan, Pemerintah DKI Jakarta perlu menambah alat sensor kualitas udara. Dengan jumlah SPKU hanya lima, hasil pemantauan tidak cukup representatif untuk memperlihatkan pencemaran udara di wilayah yang berukuran 661.5 km persegi ini. Ditambah lagi, berdasarkan World Air Quality Report sepanjang 2019-202, Indonesia menempati peringkat 1 negara dengan udara yang paling tercemar.
Selain itu, Novita juga menekankan perlunya adanya standar kualitas udara untuk kelompok rentan seperti anak-anak, orang dengan lanjut usia, orang dengan penyakit pernapasan, hingga orang yang pernah terinfeksi Covid-19. Menurut dia, ini penting untuk agar langkah-langkah perlindungan yang dilakukan masyarakat bisa spesifik untuk pencegahan dan sesuai dengan kebutuhan.
”Selama ini, indikator kualitas udara DLH yang tertera di laman Rendahemisi.jakarta hanya ada lima kategori dan tidak mengukur kualitas udara untuk kelompok rentan. Padahal, mereka yang paling besar terdampak kesehatannya ketika kualitas udara memburuk. Salah satu penelitian menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat mampu memperlambat perkembangan kognitif anak,” ujarnya.
Novita mengapresiasi upaya DLH untuk memasang sensor berbiaya murah di 12 titik di Jakarta. Namun, pemasangan ini hendaknya tidak hanya di area polusi yang disebabkan kendaraan bermotor, tetapi juga area industri. Hal ini mengingat sumber polusi utama di Jakarta tidak hanya dari kendaraan bermotor, tetapi juga area industri seperti di wilayah Marunda di Jakarta Utara atau Pulo Gadung dan Cakung di Jakarta Timur.