Konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya melonjak dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan tinggi dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Selain bersumber dari transportasi dan aktivitas di rumah, polusi di Jakarta ini juga berasal dari kawasan industri di sekitar Ibu Kota.
”Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran (Jakarta) menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³(mikrogram per meter kubik),” kata Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko, di Jakarta, Sabtu (18/6/2022).
Menurut Urip, konsentrasi PM2,5 di Jakarta memperlihatkan pola diurnal yang mengindikasikan perbedaan pola antara siang dan malam hari. Konsentrasi PM2.5 cenderungmeningkat pada dini hari hingga pagi dan menurun di siang hingga sore hari.
Urip menambahkan, dalam beberapa hari terakhir, PM2,5 di Jakarta mengalami lonjakan peningkatan konsentrasi, bahkan yang tertinggi berada pada level 148 µg/m³. ”PM2.5 dengan konsentrasi ini dapat dikategorikan kualitas udara tidak sehat,” katanya.
Tingginya konsentrasi PM2,5 dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasatmata terlihat pekat. ”Hari ini (17/6/2022) konsentrasi PM2,5 cenderung lebih rendah jika dibandingkan pagi hari pada saat tanggal 15 Juni 2022. Pada 16-17 Juni konsentrasi PM2,5 cenderung turun dibandingkan tanggal 15 Juni saat terjadi konsentrasi yang cukup tinggi,” katanya.
Menurut Urip, tingginya konsentrasi PM2.5 di Jakarta bersumber dari kegiatan lokal, baik dari transportasi dan residensial, selain dari kawasan industri di sekitar Ibu Kota. Emisi ini dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi, dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2,5.
Proses pergerakan polutan udara seperti PM2,5 juga dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angin yang membawa PM2,5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi. ”Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2,5 di wilayah ini,” katanya.
Urip menambahkan, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan. ”Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2,5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring,” ujarnya.
Kota-kota lain
Buruknya kualitas udara di Jakarta ini juga dilaporkan IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss yang secara rutin mengukur kualitas udara global. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan dari sejumlah stasiun pemantauan udara di Jakarta, termasuk dari BMKG, konsentrasi PM2,5 di udara Jakarta pada Sabtu kemarin yang mencapai 41 µg/m³ adalah 8,2 kali di atas ambang aman kualitas udara tahunan WHO.
Kota-kota di sekitar Jakarta juga terpantau memiliki konsentrasi PM2,5 sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Jakarta. Kota Tangerang, Banten, misalnya yang memiliki konsentrasi PM2,5 mencapai 47,2µg/m³ atau 9,4 kali di atasambang aman kualitas udara tahunan WHO. Tangerang Selatan bahkan mencapai 52,2 µg/m³ atau 10,4 kali ambang aman kualitas udara tahunan WHO. Sementara Depok, Jawa Barat, memiliki konsentrasi PM2,5 hingga 47,6 µg/m³.
Sebelumnya, dalam laporan tahunan yang dikeluarkan IQAir pada Maret 2022, secara nasional, Indonesia menempati peringat ke-17 dari 117 negara dengan cemaran PM2,5 tertinggi di dunia, sedangkan Jakarta menempati peringkat ke-12 ibu kota negara paling tercemar.
Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2,5 di wilayah ini.
Konsentrasi rata-rata PM2,5 di Indonesia mencapai 34,3 mikrogram per meter kubik. Sementara Jakarta39,2 mikrogram per meter kubik. Pencemaran udara di Jakarta ini lebih buruk daripada Hanoi, Vietnam, di urutan ke-15 yang memiliki konsentrasi PM2,5 sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik dan Beijing, China, di urutan ke-16 sebesar 34,4 mikrogram per meter kubik. Sementara Singapura berada di urutan ke-66 dengan konsentrasi 13,8 mikrogram per meter kubik dan Bangkok, Thailand, di urutan ke-40 dengan konsentrasi 20 mikrogram per meter kubik.
Bahaya PM2,5
Menurut Urip, PM2,5 merupakan salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 µm. Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, PM2,5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru.
Selain itu, PM2,5 juga dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner. Untuk mengurangi paparan polusi, Urip mengimbau masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan agar menggunakan pelindung diri, seperti masker.
Sejumlah laporan penelitian juga menunjukkan bahaya polusi udara, khususnya PM2,5 bagi kesehatan. Misalnya, riset yang ditulis Karn Vohra dari University College, London, yang dipublikasikan di Science Advances pada April 2022 menyebutkan, polusi udara telah bertanggung jawab terhadap 180.000 kematian berlebih di kota-kota tropis di dunia, termasuk Jakarta, pada tahun 2018.
Buruknya kualitas udara di Jakarta juga memicu warga menggugat pemerintah, dan pada September 2021 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memenangi gugatan warga tersebut. Dalam gugatan ini, pemerintah pusat dan daerah dinyatakan bersalah dan menghukum para tergugat agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Sesuai putusan pengadilan, Presiden diminta menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dihukum agar menyupervisi Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam menginventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi.