Penanganan masalah di Jabodetabekpunjur masih terkendala tata kelola dan kewenangan, keterbatasan anggaran, serta ketidakselarasan kebijakan pusat dan daerah. Saatnya melepas ego sektoral demi penataan yang tak parsial.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada tujuh masalah strategis yang teridentifikasi dalam penataan ruang di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur atau Jabodetabekpunjur. Namun, penanganan ketujuh masalah ini masih terkendala tata kelola dan kewenangan, keterbatasan anggaran, serta ketidakselarasan kebijakan pusat dan daerah.
Tujuh masalah strategis yang teridentifikasi oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang (TKPR) Jabodetabekpunjur itu ialah banjir, transportasi dan kemacetan, persampahan dan sanitasi, permukiman kumuh, pengembangan wilayah pesisir dan pantai utara, mitigasi bencana dan penataan kawasan hulu, serta penyediaan air baku dan air minum.
Sesuai kewenangannya dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, TKPR Jabodetabekpunjur mengusulkan tiga upaya. Ketiganya meliputi penyusunan rencana aksi untuk setiap masalah strategis yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan, inovasi dan alternatif skema pembiayaan, penajaman prioritas pemrograman dan penganggaran pada setiap pemangku kepentingan, serta sinergi investasi dan intervensi.
”Tujuh isu strategis ini butuh anggaran besar untuk penanganannya. Tetapi, postur anggaran DKI Jakarta menjulang tinggi, jauh dibandingkan wilayah tetangganya,” ucap Direktur TKPR Jabodetabekpunjur Wisnubroto Sarosa seusai rapat koordinasi di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Salah satu masalahnya, daerah tak leluasa memberikan anggaran ke daerah penyangga. Ini bisa disiasati dengan kerja sama dengan lembaga internasional atau swadaya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta sebesar Rp 83,7 triliun untuk tahun 2023. Jumlahnya jauh ketimbang wilayah lain yang berkisar Rp 3 triliun hingga Rp 7 triliun.
Wisnubroto menyebutkan, jauhnya perbedaan anggaran tersebut tampak dalam program pengendalian banjir dari hulu ke hilir. Programnya terkonsentrasi di DKI Jakarta meskipun seharusnya program diarahkan ke kawasan hulu.
”Salah satu masalahnya, daerah tak leluasa memberikan anggaran ke daerah penyangga. Ini bisa disiasati dengan kerja sama dengan lembaga internasional atau swadaya,” katanya.
Perbedaan anggaran yang signifikan juga tampak dari jomplangnya infrastruktur perbatasan Marunda di Jakarta dan Muara Gembong di Kabupaten Bekasi serta Kamal Muara di Jakarta dan Kosambi di Kabupaten Tangerang. Wilayah pesisir Jakarta lebih baik ketimbang tetangganya meskipun menghadapi masalah abrasi dan kemiskinan.
Selain banjir, pengelolaan sampah menjadi masalah krusial. Sekali lagi, Jakarta dengan anggaran yang lebih banyak bisa memanfaatkan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Kota Bekasi.
Sebaliknya, wilayah Kota Tangerang Selatan masih bergantung pada TPA Cipeucang dan Kabupaten Bekasi dengan TPA Burangkeng yang sudah melebihi daya tampung. Apalagi, sampahnya ditangani dengan sistem terbuka (open dumping) yang mencemari lingkungan.
Parsial
Tujuh masalah strategis di Jabodetabekpunjur tak bisa diatasi secara parsial. Dibutuhkan kerja sama antardaerah sebagai wilayah aglomerasi.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Afan Adriansyah Idris menuturkan, pihaknya tidak bisa sendiri menyelesaikan masalah strategis. Oleh karena itu, setiap tahun ada skema bantuan dana ke daerah penyangga untuk berbagai kegiatan, seperti pengendalian banjir, pengelolaan sampah, dan peningkatan kualitas jalan.
”DKI tak bisa bantu dalam jumlah besar karena ada keterbatasan untuk belanja daerah. Setiap daerah bisa juga optimalkan ruang kompensasi koefisien bangunan, kerja sama berdasarkan kebutuhan daerah, dan optimalkan lahan dari proyek nasional untuk usaha,” tutur Afan.
Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie juga menyampaikan hambatan untuk menuntaskan masalah tahunan yang sudah ada di depan mata. Ketujuh masalah strategis itu membutuhkan koordinasi untuk implementasi solusi.
”Pokok persoalannya, siapa mengeksekusi persoalan yang ada. Penataan ruang membutuhkan koordinasi kuat untuk kewenangan eksekusi,” kata Benyamin.
Ia mengusulkan ada badan pengelolaan sampah se-Jabodetabekpunjur. Dengan begitu, Kota Tangerang Selatan bisa menyiapkan anggaran untuk membayar biaya pengelolaan sampah sambil membenahi TPA Cipeucang.
Pelaksana Tugas Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono pada kesempatan yang sama turut kesulitan menyelesaikan masalah secara parsial. Wilayahnya membutuhkan bantuan dari daerah lain, misalnya, perbaikan jalan rusak imbas proyek strategis nasional dan normalisasi Kali Bekasi dari hulu di Bogor.
”Kali Bekasi seharusnya bisa meniru proyek Citarum Harum. Setiap sektor menjaga areanya lestari,” ujar Tri.
Antardaerah harus membuka diri. Terbuka saling mengisi dan tak ada ego sektoral supaya memudahkan penyelesaian berbagai persoalan.
Tri menambahkan, Kota Bekasi bekasi mempunyai lahan 150 hektar yang bisa dimanfaatkan sebagai pengelolaan sampah dari Jabodetabekpunjur. Tempat pengelolaan sampah itu bisa menerapkan teknologi modern supaya optimal.
”Bisa teknologi yang menghasilkan gas, listrik, atau briket untuk dijual ke pabrik,” katanya.
Ego sektoral
Selain tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri-sendiri, ego sektoral menjadi tantangan dalam kawasan Jabodetabekpunjur.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni menyebutkan, Jabodetabekpunjur dapat membentuk forum kerja sama antardaerah. Forum ini penting mengingat kawasan aglomerasi bersifat lintas batas yang memerlukan tata kelola secara bersama, terutama sinkronisasi perencanan dan penganggaran.
”Antardaerah harus membuka diri. Terbuka saling mengisi dan tak ada ego sektoral supaya memudahkan penyelesaian berbagai persoalan,” ucap Agus.
Penyelesaian masalah anggaran merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah dengan Daerah Lain dan Kerja Sama Daerah dengan Pihak Ketiga.
Agus menjelaskan, ada banyak ruang untuk pendaanaan atau bantuan antardaerah, bisa berupa hibah atau dana tanggung jawab sosial perusahaan. Akan tetapi, penting juga memadupadankan perencanaan, pengelolaan jaringan sarana perkotaan, dan lainnya untuk mendukung kebutuhan perkotaan.
Atas masukan tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto bakal mengevaluasi dan mengakomodasi berbagai suara untuk keputusan bersama.
”Masalah yang ada di depan bisa diselesaikan dengan orkestrasi atau kerja sama yang kuat,” ujarnya.