KNKT Ungkap Enam Faktor Pemicu Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air
Salah satu penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 adalah kepercayaan terhadap sistem otomatisasi penerbangan. Maskapai diminta membuat pelatihan bagi penerbang saat menghadapi situasi di luar kendali.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Nasional Keselamatan Transportasi menyimpulkan enam penyebab kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang menewaskan 62 orang pada 9 Januari 2021 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta. KNKT merekomendasikan sejumlah hal untuk diperbaiki maskapai.
Berdasarkan hasil investigasi KNKT yang disampaikan pada Kamis (10/11/2022), keenam faktor tersebut telah mengacu pada standar International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13. Standar tersebut menentukan bahwa jika salah satu faktor tidak terjadi, kecelakaan tidak akan terjadi atau dampaknya berkurang.
”Secara keseluruhan, memang ada unsur pilot atau penerbangnya di situ. Namun, hal itu hanya sebagai faktor yang berkontribusi. Kalau pesawatnya rusak tapi pilotnya menerbangkan dengan baik, mungkin juga tidak akan terjadi kecelakaan, begitu juga sebaliknya,” kata Ketua Subkomite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Nurcahyo Utomo, di Gedung KNKT, Gambir, Jakarta Pusat.
Keenam faktor tersebut meliputi perbaikan sistem autothrottle atau sistem otomatis kendali pesawat yang belum tuntas, terjadinya ketidakseimbangan daya mesin pesawat, dan keterlambatan sistem menonaktifkan autothrottle saat kondisi pesawat tidak seimbang. Selain itu, ada pula faktor terlalu percaya pada sistem otopilot, respons pilot yang tidak sesuai, dan belum adanya aturan pelatihan saat menghadapi kondisi di luar kendali.
Berdasarkan jadwal penerbangan, pesawat Sriwijaya Air SJ 182 lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 14.36 dan jatuh sekitar pukul 14.40. Melalui dua blackbox atau alat perekam penerbangan, KNKT menemukan, awalnya pesawat tersebut terbang menggunakan sistem autothrottle.
Namun, saat memasuki ketinggian 10.000 kaki (sekitar 3.000 meter), tuas pendorong kiri bergerak mundur, sedangkan tuas pendorong kanan tetap pada posisi. Hal itu mengakibatkan tenaga mesin kiri lebih kecil dibandingkan mesin kanan sehingga terjadilah ketidakseimbangan pesawat.
Selanjutnya, kondisi ini membuat posisi pesawat menjadi tidak stabil sehingga posisi pesawat miring dan berbelok ke kiri. Berdasarkan Electronic Attitude Direction Indicator (EADI), kondisi upset atau kondisi pesawat yang tidak sesuai seperti yang diinginkan, tidak disadari oleh pilot.
KNKT menduga, hal itu disebabkan kepercayaan pilot pada sistem autothrottle. Kondisi tersebut membuat pilot tidak memantau berbagai instrumen kemudi yang ada di kokpit pesawat.
”Komunikasi terkait keadaan throttle-nya yang tidak bergerak, itu tidak ada. Maka, kami memandang bahwa mereka tidak memperhatikan keadaan itu,” kata Investigator Kecelakaan Penerbangan KNKT, Ony Soerjo Wibowo.
Selanjutnya, saat pesawat kian miring ke kiri, pilot seharusnya mengarahkan kemudinya ke kanan. Namun, pilot justru mengarahkan tuas kemudi tetap ke kiri. KNKT menilai, pilot kurang memantau instrumen di kokpit yang membuat ia berasumsi bahwa pesawat miring ke kanan sehingga respons yang dilakukan tidak sesuai.
KNKT juga menemukan, maskapai belum melatih pilot saat menghadapi situasi di luar kendali sesuai aturan Upset Prevention and Recovery Training sehingga langkah yang diambil menjadi tidak tepat. KNKT juga menyampaikan tiga rekomendasi kepada Sriwijaya Air agar meningkatkan keselamatan penerbangan.
Pertama, Sriwijaya Air diminta untuk berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebelum melakukan perubahan prosedur terbang sesuai dengan buku panduan pabrikan pesawat. Kedua, meningkatkan jumlah pengunduhan data dalam Flight Data Analysis Programme (FDAP) untuk pemantauan operasi penerbangan. Ketiga, menekankan pelaporan bahaya kepada seluruh pegawai.