Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertahankan dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan atau mengabulkan tuntutan 32 warga terkait pencemaran udara di Jakarta.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Khairul Reza (29), warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan, resah dengan kondisi polusi udara di langit Ibu Kota. Tak heran jika ia merasa terwakili oleh suara dan perjuangan panjang warga yang mengajukan tuntutan pencemaran udara di Jakarta.
Pada 17 Oktober 2022, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 374/PDT.G-LH/2019/ PN.JAK.PUS yang diterbitkan pada 16 September 2021. Dalam putusan PT DKI Jakarta Nomor 549/PDT.G-LH/2022/ PT DKI itu disebutkan, para tergugat yang meliputi Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Para tergugat terbukti lalai tidak menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akibat dari kelalaian itu, kualitas udara DKI Jakarta menjadi buruk sehingga menimbulkan kerugian dan berbagai penyakit bagi para penggugat dan warga.
Perjuangan lewat jalur hukum untuk mewujudkan ”langit biru” Jakarta dimulai sejak 4 Juli 2019. Sejumlah 32 warga negara melayangkan gugatan atas pencemaran udara Jakarta kepada tujuh tergugat, yaitu Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Kemenangan kembali warga Jakarta atas proses banding gugatan polusi udara ini menguatkan fakta bahwa udara bersih sejatinya adalah kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari warga DKI Jakarta.
Pada 16 September 2021, PN Jakarta Pusat menyatakan, lima dari tujuh tergugat telah melawan hukum. Hakim menghukum para tergugat tersebut untuk menjalankan sembilan poin putusan hakim sebagai upaya untuk mengendalikan pencemaran udara Jakarta. Lima tergugat itu adalah Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur DKI Jakarta.
Dari lima tergugat, hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak mengajukan banding. Adapun pemerintah pusat mengajukan banding ke PT DKI Jakarta. Dalam putusannya, PT DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.
Merespons putusan itu, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri berharap pemerintah mematuhi dan menjalankan tanggung jawabnya. Ia pun berharap pemerintah pusat dan daerah bersinergi dan bekerja sama dalam mengatasi pencemaran udara di Jakarta.
”Pemerintah jangan merasa kalah. Ayo kita sama-sama jaga lingkungan dan kesehatan udara,” kata Putri, Jumat (21/10/2022).
Jeanny Sirait dari Tim Advokasi Warga menilai langkah banding yang diajukan pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah gagal melihat gugatan warga sebagai upaya evaluasi pengendalian polusi udara di DKI Jakarta.
”Kemenangan kembali warga Jakarta atas proses banding gugatan polusi udara ini menguatkan fakta bahwa udara bersih sejatinya adalah kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari warga DKI Jakarta. Hal tersebut kembali diakui dengan tegas dalam putusan banding,” katanya dalam keterangan tertulis.
Kemenangan gugatan citizen lawsuit pencemaran udara (CLS Udara) mendapat dukungan publik dalam bentuk petisi dan dukungan media sosial. Namun, para tergugat dari pemerintah pusat memutuskan mengajukan banding pada Oktober 2021 ketimbang menjalankan putusan hakim. Menurut Jeanny, hal ini menyebabkan terhambatnya upaya penyelesaian masalah polusi Jakarta yang kian hari bertambah parah.
”Dibandingkan melakukan kasasi, lebih bijaksana bagi pemerintah memanfaatkan waktu yang ada untuk segera memastikan berjalannya perbaikan sistem pengendalian udara bersih di Jakarta dengan cepat, tidak boleh lagi ada penundaan,” kata Jeanny.
Tindakan nyata
Salah satu penggugat, Elisa Sutanudjaja, juga mendorong pemerintah pusat dan daerah agar segera mengambil tindakan nyata menyelesaikan masalah polusi udara.
”Langit yang kami lihat abu-abu. Lambat dan minimnya aksi negara dalam pengendalian dan penanggulangan pencemaran udara telah membuat saya, keluarga, dan banyak orang sakit kronis dan kritis. Perlahan tapi pasti pembunuh senyap ini akan turut serta memperburuk masa depan generasi muda dalam bertumbuh dan berkembang,” ujar Elisa.
Hingga saat ini, standar baku mutu udara ambien (BMUA) di Indonesia tercatat 55 mikrogram per kubik untuk harian dan 15 mikrogram per kubik untuk tahunan. Angka ini tiga kali lebih rendah dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu maksimal 15 mikrogram per kubik untuk harian dan 5 mikrogram per kubik untuk tahunan.
Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) menyebutkan, kualitas udara Jakarta kian memburuk sejak kemenangan gugatan CLS Udara tahun lalu. Data dalam satu tahun terakhir menunjukkan hanya ada satu bulan kualitas udara di DKI Jakarta mengalami perbaikan, yaitu nilai PM 2,5 pada Desember 2021. Polutan utama penyebab pencemaran udara menurun akibat musim hujan.
Namun, saat musim kemarau pada Juni-Juli 2022, data menunjukkan nilai PM 2,5 melonjak. Dari lima wilayah di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara, tak ada satu pun yang menunjukkan nilai rata-rata tahunan PM 2,5 sesuai rekomendasi WHO sebesar 5 μg/m per tahun. Kelima wilayah itu melampaui rekomendasi WHO hingga 7,2 kali lipat sehingga menempatkan Jakarta di posisi 1 kota terpolusi.
Tak berlebihan jika warga seperti Khaerul berharap pemerintah bisa menghadirkan kebijakan yang mendukung udara bersih. Di antaranya dalam hal penggunaan dan penataan transportasi publik yang lebih ramah lingkungan.