Pekerjaan Rumah Mengiringi Berkurangnya Hari Tidak Sehat di Jakarta
Ibu Kota masih berjuang memperbaiki kualitas udara ambien yang jauh di atas standar kualitas udara aman untuk kesehatan.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengendalian kualitas udara di Jakarta perlahan menunjukkan hasil. Terjadi penurunan jumlah hari tidak sehat dalam setahun, yakni turun dari 183 hari menjadi 90 hari pada tahun 2020. Namun, masih banyak pekerjaan rumah dan komitmen mengatasi kualitas udara ambien yang jauh di atas standar kualitas udara aman untuk kesehatan.
Dalam kurun 2012-2020, indeks standar pencemaran udara (ISPU) menunjukkan fluktuasi jumlah hari tidak sehat di Ibu Kota. Indeks itu mengukur PM 10, PM 2,5, nitrogen dioksida (NO2), sulfur monoksida (SO2), karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan hidrokarbon (HC). Dari 151 hari tidak sehat pada tahun 2012, jumlahnya naik menjadi 181 hari tidak sehat di tahun 2013. Hari tidak sehat itu kemudian menurun pada 2014 dan 2015, yakni 93 dan 64 hari, sebelum kembali naik. Kenaikan terjadi selama tiga tahun atau 2016-2018 dengan 93 hari, 110 hari, dan 187 hari. Selanjutnya, jumlah hari tidak sehat turun lagi menjadi 183 hari pada tahun 2019 dan 90 hari di tahun awal pandemi Covid-19. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyebutkan, pihaknya terus berupaya mengendalikan kualitas udara Jakarta. Salah satunya melalui Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara dan Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. ”Upaya terus dilakukan dan lebih agresif. Hasilnya, uji emisi kendaraan bermotor naik 35 kali lipat, ujarnya di Jakarta, Jumat (28/1/2022).
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, paling sedikit 26 hingga paling banyak 35.175 kendaraan bermotor mengikuti uji emisi selama 2005-2020. Jumlah uji emisi baru naik drastis mencapai 465.048 kendaraan bermotor pada tahun 2021.
Uji emisi menjadi penting karena jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sekitar 20,22 juta unit di tahun 2020. Rata-rata kenaikan jumlah sepeda motor sebesar 4,9 persen, mobil penumpang 7,1 persen, mobil beban 5,3 persen, dan bus 4,7 persen.
Di sisi lain, tren penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor itu ialah pelumas, solar, dan bensin. Ada kecenderungan penggunaan bensin naik menggantikan solar dan tren penggunaan bahan bakar yang semakin besar pada sektor transportasi ketimbang sektor manufaktur.
Asep menuturkan, pihaknya sudah menginventarisasi emisi bersama Vital Strategies, lembaga yang bergerak di sektor kesehatan publik. Dari inventarisasi data tahun 2018 itu didapatkan hasil sektor transportasi menjadi kontributor terbesar
polutan (NOx, CO, PM 10, dan PM 2,5, sedangkan kontributor SO
ialah sektor industri.
”Prioritas penanganan kami untuk kendalikan udara, mulai dari pejalan kaki, kendaraan ramah lingkungan, angkutan umum, dan terakhir kendaraan pribadi. Tujuannya, agar ada perubahan paradigma dan gaya hidup dalam bermobilitas,” tuturnya.
TantanganPengejawantahannya antara lain memastikan tidak ada angkutan umum berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi yang beroperasi di jalan, menyelesaikan peremajaan angkutan umum melalui program Jaklingko, mendorong partisipasi warga dalam pengendalian kualitas udara melalui pembatasan kendaraan atau ganjil genap, meningkatkan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum massal, dan menerapkan kebijakan jalan berbayar. Di sisi lain, menyusun grand design pengendalian pencemaran udara. Isinya berupa rencana aksi mengurangi polusi udara dengan target pengurangan pada tahun 2030. Kajiannya bekerja sama dengan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung dan konsultasi publik dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan.
Ririn Radiawati Kusuma, Indonesia Country Coordinator for Environmental Health at Vital Strategies, yang terlibat dalam Jakarta Clean Air Partnership 2021-2022, mengatakan, tantangan yang dihadapi ialah memperbaiki kualitas udara ambien yang jauh di atas standar kualitas udara aman untuk kesehatan.
Belum lagi masalah kenaikan sumber polusi udara yang modern dan masih adanya sumber tradisional yang persisten, aktivitas pengendalian prioritas tidak selalu cocok dengan sumber yang terbesar, aksi tingkat kota yang terbatas, kompleksitas dan biaya untuk pemantauan, dan fokus yang belum jelas serta polusi udara yang terjadi musiman.
”Itu semua tantangan di negara berkembang, seperti Indonesia. Harus berkomitmen dan fokus yang jelas sesuai kebutuhan dan tujuan,” katanya.