Sejumlah jenazah ditemukan di pintu air kali Jakarta akibat cuaca ekstrem. Daerah aliran sungai itu menjadi saksi bisu fatalnya dampak bencana banjir bagi masyarakat Jabodetabek.
Oleh
Ayu Octavi Anjani, ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Enam petugas Unit Pelaksanaan Kebersihan Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tengah membersihkan sampah di sekitar pintu air Kanal Banjir Barat, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Senin (17/10/2022). Dua ekskavator mengeruk tumpukan sampah yang menumpuk di pinggir aliran Sungai Ciliwung tersebut.
Di tengah hari itu, mereka menaiki pelampung panjang di sekitar pintu air kali Kanal Banjir Barat (KBB) demi mengeruk tumpukan sampah yang terjaring. Tidak hanya sampah, pelampung tersebut juga sering menjadi tempat tersangkutnya jasad manusia yang terseret arus.
Seperti pada Minggu (16/10/2022) pukul 08.00 lalu, jasad perempuan ditemukan mengambang dan tersangkut di antara sampah-sampah di pelampung tersebut. Dari hasil konfirmasi petugas yang menerima laporan warga, jasad itu adalah Adzra Nabila (21). Perempuan itu dikabarkan terseret arus saluran air Jalan Dadali RT 004 RW 005, Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (11/10/2022).
Kepala Polsek Tambora Komisaris Putra Pratama mengatakan, mahasiswi tersebut mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan dari kampus di tengah hujan deras. Ia mengendarai sepeda motor dan sempat menerobos jalan di samping gorong-gorong yang aliran airnya deras. Kuatnya arus air membuat Adzra terseret bersama dengan motornya ke saluran air.
Pencarian pun dilakukan tim pencarian dan pertolongan (SAR) gabungan selama beberapa hari. Naas, nyawa perempuan itu ditemukan tidak bernyawa di hari kelima ia menghilang. ”Kalau dihitung, jenazah terbawa arus sepanjang 70-80 kilometer. Jika ditarik garis lurus, mungkin sekitar 48 kilometer, tapi sungai itu berkelok-kelok,” kata Putra.
Pada hari yang sama saat jasad Adzra ditemukan, warga melaporkan temuan mayat bocah laki-laki berinisial GDM (8) yang mengambang di aliran Sungai Ciliwung, tepatnya di Jembatan Tongtek, Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Warga sekitar segera melapor kepada pihak berwenang, yang kemudian ditindaklanjuti oleh tim SAR gabungan.
Ramli Prasetio dari Humas Badan SAR Nasional (Basarnas) Jakarta menjelaskan, tim SAR gabungan sebelumnya sedang melakukan operasi pencarian terhadap anak yang tenggelam di Sungai Ciliwung, tepatnya di Perum Gaperi 1, Kelurahan Bojonggede, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Anak itu terpeleset ke sungai saat sedang mencari kepiting bersama dua temannya pada Sabtu (15/10/2022) siang. GDM yang tidak bisa menyelamatkan diri dan hanyut kemudian dilaporkan hilang. Sehari kemudian, jasad GDM ditemukan di lokasi yang berjarak sekitar 40 km dari lokasi awal ia hilang.
Di lokasi penemuan korban, tim melakukan pencarian dengan visual darat dan mengevakuasinya untuk dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, pada pukul 18.30. ”Tim berkoordinasi dengan pihak keluarga mengenai penemuan jenazah tersebut dan langsung bergerak menuju RSCM untuk memastikan itu adalah korban yang dicari,” kata Ramli.
Rizky Dwianto, Koordinator Rescue Basarnas Jakarta, mengatakan, mereka sudah sering menangani penemuan dan pengangkutan jenazah yang terseret arus akibat hujan lebat. Menurut dia, kebanyakan jenazah yang terseret arus berasal dari hulu dengan curah hujan tinggi, seperti Bogor, dan tersangkut di pintu air, seperti di KBB.
”Saat ini telah menemukan dan mengangkut lima jenazah di DKI Jakarta akibat hujan deras. Kalau di Bogor sudah ada lima kejadian,” kata Rizky.
Di KBB, mereka telah menemukan tujuh jenazah yang terbawa arus akibat hujan deras pada 2021 dan 2022 serta enam jenazah pada 2020.
Faktor alam dan kelalaian
Komisaris Untung Widodo, Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Polisi Air dan Udara Kepolisian Daerah Metro Jaya, mengatakan, kasus seperti itu banyak dilaporkan pada akhir atau awal tahun atau selama musim hujan. Sayangnya, mayoritas upaya pencarian yang kerap dilakukan tim SAR gabungan menemukan korban telah meninggal.
”Di sepanjang tahun, kami sering menerima laporan orang hilang dan hanyut di sungai ataupun di laut. Selama ini kami berupaya merespons laporan yang ada. Sebagian besar ditemukan identitas dan penyebab meninggalnya,” tuturnya saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta.
Hilangnya nyawa karena hanyut di sungai banyak disebabkan faktor kelalaian manusia, selain karena faktor alam, seperti curah hujan tinggi. Ia pun mengimbau masyarakat lebih berhati-hati atau menghindari aktivitas di luar rumah pada saat cuaca ekstrem. Ini terlebih di daerah rawan, seperti aliran sungai atau kawasan rentan longsor.
”Mungkin kalau sudah adanya peringatan mau ada bencana, misalnya longsor dan banjir, itu bisa meminimalkan adanya korban,” ujarnya.
Edukasi
Meski demikian, peneliti senior Pusat Studi Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Amien Widodo, menilai, sistem peringatan dini cuaca belum menjangkau seluruh masyarakat.
”Banyak yang enggak tahu atau tidak mendengarkan pengumuman BMKG akan adanya cuaca ekstrem mendadak. Banyak orang akhirnya tetap berkegiatan di sungai. Saat hujan besar datang, terjadi banjir yang menghanyutkan mereka,” ujarnya per telepon.
Ia pun menyarankan agar sistem peringatan dini cuaca ekstrem atau bencana dibuat lebih masif. Peringatan kedaruratan dengan cara konvensional, seperti membunyikan mendingan di lingkungan permukiman penduduk, bisa menjadi contoh. Kemudian, perlu adanya tim khusus untuk memonitor sungai, baik di hulu maupun hilir.
Antisipasi bencana di daerah aliran sungai juga penting untuk meredam dampak cuaca ekstrem. Lalu, cara mitigasi utama adalah dengan edukasi. ”Edukasi kepada seluruh elemen masyarakat, dari manula sampai anak-anak, juga kelompok rentan, serta kelompok difabel,” ujarnya.
Kepala Satuan Pelayanan Pusdatin Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Michael Sitanggang, dihubungi terpisah, mengatakan, antisipasi bencana oleh masyarakat perlu didukung banyak pihak.
”Peran lembaga keagamaan, misalnya tempat-tempat ibadah, untuk mengimbau warga untuk waspada cuaca ekstrem. Media sosial juga perlu dioptimalkan untuk berbagi informasi terkait cuaca ekstrem,” ujarnya.
Di tengah ancaman cuaca ekstrem karena perubahan iklim dan kerentanan sebagai daerah aliran air, sudah saatnya masyarakat Jakarta dan sekitarnya meningkatkan kesadaran akan bencana. Semua pihak harus lebih lantang mengingatkan adanya ancaman ini, agar tidak ada lagi saksi-saksi bisu yang menghilangkan nyawa warga.