Transaksi narkoba di Kampung Bahari, Jakarta Utara, masih terjadi dan dilakukan terang-terangan di depan mata. Warga pesimistis kampung mereka bisa bebas dari narkoba. Peredaran barang haram itu sudah telanjur mengakar.
Oleh
STEFANUS ATO, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
Gubuk mungil beratap terpal biru berdiri di tengah-tengah area pelintasan rel kereta api di wilayah Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejumlah pemuda di dalam tenda duduk berdesak-desakan. Sesekali mereka tertawa heboh dari gubuk setinggi sekitar satu meter itu.
Saat mendekati gubuk biru tersebut, pada Senin (17/10/2022) sore tiba-tiba ada teriakan. ”Woi, woi, woi,” teriak salah satu lelaki dari dalam tenda itu. Masih tak jelas maksud dari teriakan itu.
Sekitar 50 meter dari gubuk itu berdiri sebuah warung. Warung itu sejajar dengan gubuk biru atau berada di tengah-tengah tanah kosong pemisah dua jalur lintasan kereta rel listrik arah Stasiun Tanjung Priok atau arah sebaliknya, ke Stasiun Jakarta Kota.
Warung itu dijaga seorang ibu berbaju pink dan seorang perempuan berbaju hitam yang masih berusia sekitar 20 tahun. Perempuan 20 tahun itu berbaring sembari sibuk bermain gawai. Sementara ibu berbaju pink itu sibuk melayani pelanggan yang memesan kopi atau pesanan lain.
Di teras warung tersebut, ada sekitar lima pria yang sibuk memainkan gawai mereka. Dari pembicaraan sepintas yang terdengar, diketahui kalau mereka diduga sedang bermain judi online.
Warung itu juga di bagian depannya terdapat sebuah tanah lapang ukuran kecil. Di tanah lapang itu, terpakir sejumlah sepeda motor dan beberapa mobil.
Dari lima menit, kemudian berlanjut ke 10 menit berada di warung itu, sejumlah orang berboncengan sepeda motor dan terus berdatangan. Seusai memarkirkan kendaraan di area depan warung, mereka melangkah santai menuju gubuk biru tersebut.
Di sana, mereka terlihat menyerahkan lembaran uang. Pemuda di gubuk menerima lembaran rupiah itu dan membalasnya dengan menyerahkan barang lain yang tak terlihat jelas bentuk dan warnanya. Seusai saling memberi, para pengunjung gubuk pergi dari sana.
Datang dan perginya orang-orang dari gubuk itu kian mengundang penasaran. Ada apa di sana?
”Narkoba, Bang. Langsung saja ke sana. Santai aja, di sini aman,” kata H, seseorang yang bertugas menjaga sepeda motor para pengunjung yang terparkir di area warung itu.
H kemudian menjelaskan dengan yakin agar jika berkunjung ke sana lagi nantinya, tak ragu untuk langsung memarkirkan kendaraan di sekitar warung itu. Dia menyebut, kalau dirinya bertugas 24 jam.
”Orangnya kami, semua parkir di sini. Banyak kok, ada juga mobil. Di sini semua,” ucap H lagi.
H pun kemudian bercerita, kalau para pemuda di dalam tenda itu menjual sabu padat. Sabu di tempat itu dia sebut sebagai sabu dengan kualitas terbaik.
Harga sabu yang dijual di gubuk tersebut beragam ukuran dengan harga yang berbeda-beda. Satu butir sabu padat berukuran hampir setara dengan biji kacang tanah, dijual dengan harga Rp 1,5 juta.
”Kalau uang Abang hanya Rp 200.000 atau Rp 300.000 juga bisa. Tetapi, lebih kecil lagi. Semua ukuran, siap semua di sana,” katanya.
H menyebut kalau transaksi narkoba di gubuk itu berlangsung terbuka dan tanpa takut lantaran pihaknya sudah mengenal baik jadwal patroli polisi. Patroli polisi di area Kampung Bahari biasanya digelar saat pagi hari.
”Tetapi sudah satu bulan lebih, enggak ada patroli,” kata H. Lokasi gubuk biru itu letaknya hanya sekitar 300 meter dari pos polisi yang dibangun sejajar dengan gubuk tersebut atau berada dekat wilayah RW 007, Kelurahan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Kepala Kepolisian Sektor Tanjung Priok Komisaris M Yamin belum menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai terkait peredaran narkoba di Kampung Bahari. Saat dikonfirmasi pada Senin (17/10/2022) sore, M Yamin hanya meminta agar pertanyaan wawancara dikirim melalui pesan Whatsapp. Pesan itu belum berbalas hingga Senin pukul 20.30.
Terlanjur mengakar
Transaksi narkoba terang-terangan ini menunjukkan kalau upaya memberantas narkoba di tempat itu belum sepenuhnya mampu meredam peredaran narkoba di sana. Sejumlah warga pun tak yakin kampung mereka bakal bebas dari stigma kampung narkoba.
Menurut Z (38), salah satu ketua RT di Kampung Bahari, upaya antisipasi yang bisa dilakukan untuk tak terpapar narkoba adalah pergi dari sana. Jika masih memilih berada di tempat itu, hanya waktu yang bakal menjawab sejauh mana seseorang mampu bertahan.
”Hari ini saya masih kuat, saya masih bertahan, karena saya masih punya pekerjaan, punya usaha. Bisa saja suatu saat saya kehilangan pekerjaan dan usaha saya tidak lagi menguntungkan, siapa tahu. Saya bisa tergoda,” katanya.
Z tumbuh dan besar di tempat itu. Dia selama bertahun-tahun menjadi salah satu saksi teman-teman pergaulan, termasuk keluarganya sendiri, meninggal akibat overdosis, karier atau pekerjaan hancur, rumah tangga berantakan, hingga ada yang mendekam dipenjara karena narkoba.
Berbagai dampak buruk yang terjadi di sana tak serta-merta membuat warga sekitar berubah. Cengkeraman narkoba di tempat itu disebut telah mengakar dan terus menular.
Sulitnya memberantas peredaran narkoba di tempat itu terjadi lantaran sebagian warga di sana telah menjadikan barang haram itu sebagai mata pencarian. Warga yang rata-rata bekerja serabutan tak lagi mencari pekerjaan lain.
Menjual narkoba menjadi cara mudah demi mendapat uang dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. ”Ada yang kerjanya tukang pikul, dia sehari penuh atau 12 jam, upahnya mungkin hanya Rp 100.000. Kalau dia jual dua plastik klip (narkoba) dalam sehari saja, sudah setara dengan dia bekerja sebagai tukang pikul,” katanya.
Z menyebut, kalau Kampung Bahari sudah berulang kali mendapat berbagai pemberdayaan dari sejumlah lembaga, termasuk Badan Narkotika Nasional. Namun, program pemberdayaan itu tak ada satu pun yang berhasil.
”Program banyak sekali. Ada yang waktu itu budidaya lele, dikasih peralatan untuk buka bengkel, dan macam-macam. Tetapi, ditinggal semua dan kembali lagi,” tuturnya.
Kampung Bahari pada 9 Maret 2022, pernah digerebek aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara. Saat penggerebekan, polisi menangkap 26 orang dari berbagai kalangan usia yang menjual dan menggunakan narkoba.
Penggerebekan itu kemudian diikuti dengan pembersihan gubuk-gubuk yang tumbuh subur di dalam area rel kereta api. Gubuk-gubuk itu dibersihkan petugas PT Kereta Api Indonesia bersama Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara, dan aparat kepolisian.
Selain pembersihan, polisi juga membangun pos polisi di Kampung Bahari. Namun, setelah tujuh bulan berlalu, transaksi narkoba justru masih terjadi dan dilakukan terang-terangan di depan mata.