Perlu usaha ekstra untuk meyakinkan masyarakat bahwa polisi akan dapat membersihkan Kampung Bahari di Jakarta Utara dari cengkeraman para bandar narkoba.
Oleh
STEFANUS ATO
·6 menit baca
Kampung Bahari di Tanjung Priok, Jakarta Utara, masih menyimpan misteri. Tatapan sinis, letusan petasan dari tengah permukiman, hingga warga yang bungkam, jadi sambutan awal ketika menginjakkan kaki di sana.
Letusan petasan bersahut-sahutan di tengah permukiman warga di wilayah Kampung Bahari, RT 013, RW 008, Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Tanjung Priok, Rabu (16/3/2022) siang. Bunyi petasan yang sekilas mirip letupan senjata api itu terjadi beberapa menit kemudian saat Kompas tiba dan berada di atas salah satu jembatan penyeberangan penghubung kampung yang terbelah jalur kereta rel listrik. Di tengah sahutan-sahutan letusan petasan, sejumlah remaja yang berada di pinggir area rel kereta api terus menatap tajam ke arah jembatan penyeberangan itu.
Jalur kereta api di Kampung Bahari itu, merupakan jalur kereta yang menghubungkan Stasiun Jakarta Kota dan Stasiun Tanjung Priok. Kampung Bahari merupakan permumikiman padat penduduk yang terbelah jalur kereta api.
Situasi di Kampung Bahari, relatif tak berbeda jauh dengan permukiman padat pada umumnya di Ibu Kota. Akses masuk ke tempat itu jika ditempuh dari Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, bisa dilalui melalui berbagai gang. Semakin ke dalam, lebar gang kian kecil dan hanya bisa dilintasi sepeda motor.
Kasat mata, warga beraktivitas seperti biasa. Ada yang memelihara unggas, berdagang makanan, hingga ada kelompok emak-emak yang asyik mengobrol di sudut-sudut gang. Namun, di balik aktivitas yang biasa itu, Kampung Bahari masih menyimpan misteri.
Usai mendapat sambutan letusan petasan, Kompas bergeser sekitar 500 meter dari titik pertama. Di sana, terdapat pelintasan sebidang yang hanya bisa dilalui sepeda motor.
Warga sekitar berjejer di tepi rel sembari menyaksikan puluhan petugas rompi oranye dari PT Kereta Api Indonesia tengah membongkar lapak-lapak liar yang berdiri di tepi rel. Warga sekitar irit bicara dan enggan diajak mengobrol saat menyinggung soal stigma kampung narkoba yang melekat di tempat mereka tinggal.
Seorang ibu berjilbab biru yang sempat ditemui Rabu siang, saat itu tengah mengawasi plang pelintasan sebidang. Dia awalnya dengan lancar menceritakan mengenai kondisi di area sekitar rel yang dulunya dipenuhi bangunan liar. Namun, perempuan bergincu merah muda itu tiba-tiba membisu dan bersuara layaknya tunawicara ketika meminta kesediaannya untuk mengobrol mengenai stigma kampung narkoba.
Kode yang mereka gunakan itu, nyalakan petasan kalau ada gangguan dari petugas. Saat ada bunyi petasan, mereka langsung tiarap (Endra E Zulpan)
Reaksi tak biasa warga itu sudah terjadi sejak Selasa (15/3/2022). Di wilayah RW 01, Tanjung Priok, Kampung Bahari, misalnya, warga rata-rata menolak jika diajak mengobrol soal kampung mereka yang mendapat stigma sebagai kampung narkoba. Salah satu warga yang menjual aneka minuman segar di beranda rumahnya, pada Selasa sore, awalnya dengan ramah bercerita kalau dirinya sudah tinggal di daerah itu sejak kecil.
Namun, sekitar lima menit berselang, perempuan yang diperkirakan berusia di atas 40 tahun itu, kemudian mengaku kalau dia orang baru di sana. Dia juga lupa nama wilayah RT dan RW-nya tinggal. Padahal, rumah warga itu berhadapan dengan balai RW.
Terlepas dari reaksi tak biasa warga sekitar, Kampung Bahari pada 9 Maret 2022 subuh digrebek Kepolisian Sektor Tanjung Priok, Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara, dan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari penggerebekan yang melibatkan 700 personel dari Polri, TNI, dan aparatur pemerintah daerah itu, 26 orang kemudian ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan sesaat usai penertiban, mengatakan, dari 26 orang yang ditangkap tersebut, 18 orang merupakan laki-laki dan sisanya perempuan. Polisi menemukan barang bukti sabu 350 gram, 1.500 butir ekstasi, dan beberapa jenis ganja sintetis. Selain narkoba, polisi juga menemukan senjata tajam, uang tunai Rp 35 juta, serta berbagai telepon seluler, hingga peralatan untuk menggunakan narkoba.
Kampung Bahari, kata Zulpan, selama ini jadi tempat untuk transaksi sekaligus menggunakan narkoba. Pengguna narkoba kalangan bawa biasanya membeli narkoba dan langsung dikonsumsi di sana.
Sebagian pembeli lain biasanya seusai membeli narkoba di tempat itu, memilih untuk membawa barang haram itu keluar dari kampung untuk dikonsumsi atau dijual lagi. Sebagian besar pembeli narkoba di kampung itu disebut rata-rata orang luar kampung.
Tempat ini strategis untuk kegiatan transaksi narkoba karena para pelaku cukup lihai dalam mengelabui petugas. Di saat ada petugas yang datang, para pelaku biasanya menyalakan petasan.
”Kode yang mereka gunakan itu, nyalakan petasan kalau ada gangguan dari petugas. Saat ada bunyi petasan, mereka langsung tiarap,” tutur Zulpan.
Selain kode petasan, para pelaku penjual narkoba (bandar) juga memasang kamera pemantau (CCTV) di gang-gang masuk ke kampung tersebut. Kamera pengawas itu terhubung dengan perangkat elektronik milik para bandar sehingga ketika ada petugas, pergerakan aparat sudah terlebih dahulu terpantau.
Transaksi malam hari
Kisah dunia hitam Kampung Bahari itu juga diakui salah warga yang sudah empat tahun bekerja sebagai tukang parkir. Menurut lelaki yang telah lewat separuh baya berinisial A (62) itu, sebelum Kampung Bahari digrebek polisi, lapak-lapak cukup banyak dan padat berdiri di tepi rel kereta itu.
Lapak-lapak itu berdiri tak jauh dari Stasiun Tanjung Priok dan berjejer sepanjang sekitar 500 meter. Lapak-lapak itu, sepengetahuan A, selama ini dijadikan sebagai tempat prostitusi.
"Tiap malam, tamu keluar masuk. Rata-rata ke sini cari cewek," kata lelaki yang sudah hidup di sana sejak 1978 itu, Selasa malam.
A tidak begitu tahu soal aktivitas transaksi narkoba yang ada di sana. Namun, dia mengaku berapa kali ditawar untuk jadi perantara antara penjual dan pembeli obat (narkoba).
Misalnya, satu bulan yang lalu, kata A, sekitar pukul 23.00 atau saat tengah malam, ada seorang lelaki yang datang dengan menggunakan sepeda motor ke tempat itu. Lelaki itu awalnya bertanya kepada A, tentang lokasi lapak yang menyediakan tempat prostitusi.
"Terus dia kasih saya uang lembar merah (Rp 100.00) sambil bisik, bantu saya cari obat. Saya tolak, saya mau kerja benar," kata A.
Polisi hadir
Kepala Kepolisian Sektor Tanjung Priok Komisaris Ricky Pranata Vivaldy, dihubungi terpisah, mengatakan, usai penindakan di Kampung Bahari, aparat terus melakukan pembersihan dengan membongkar gubuk-gubuk liar di sepanjang tepi rel kereta api di kampung tersebut. Polisi juga berkoordinasi dengan PT Kereta Api Indonesia selaku pemilik lahan untuk membersihkan tumbuhan liar termasuk hutan pisang yang tumbuh di area rel kereta api.
"Di malam hari, diduga (tumbuhan liar) jadi tempat atau sarang orang menggunakan narkoba di sana. Kemudian, selepas penindakan kemarin, pengamanan tetap siaga 24 jam," kata Ricky.
Jumlah personel yang siaga di Kampung Bahari setiap hari rata-rata 100 anggota Polri. Polisi juga tengah membangun pos pengamanan tetap yang ditargetkan rampung dalam waktu satu bulan.
Menurut Ricky, kehadiran pos polisi tetap itu bertujuan agar polisi selalu hadir di sana setiap saat. Polisi juga secara perlahan akan mendekati warga dan mengecek setiap rumah dan melakukan pendataan.
"Kami akan datang, kami akan kunjungi semua rumah di Kampung. Mudah-mudahan, dengan program mengetuk setiap pintu rumah, mendengar pendapat dari masyarakat, begal, tawuran, narkoba, sudah tidak ada lagi di Kampung Bahari," tutur Ricky.
Langkah dari polisi saat ini, yakni masih terus berupaya meyakinkan masyarakat kalau polisi akan selalu ada di sana. Sebab, warga setempat, sejauh ini ada kemungkinan masih diliputi ketakutan. Hal ini juga yang menyebabkan warga enggan untuk terbuka.
Ledakan petasan yang masih terdengar tiap kali orang asing mencoba memasuki kampung itu menjadi penandanya.